Semangat Muda – Tan Malaka (1926)

Sumber: Ditulis oleh Tan Malaka pada bulan Januari 1926 di Tokyo

Kontributor: Naskah ini dikirim oleh “Pacar Merah Indonesia “, diedit supaya sesuai dengan ejaan baru oleh Ted Sprague (May 2007)

Tulisan ini kembali hadir di tengah-tengah teman-teman pergerakan di Indonesia setelah 60 tahun hilang dari Indonesia, ditemukan kembali oleh sebagian kawan-kawan yang masih berusaha mencari tulisan-tulisan klasik dari jaman kejayaan gerakan buruh di Indonesia era 1920an, diharapkan akan menjadi tenaga tambahan karena gerakan di Indonesia yang masih kekurangan teori mengenai ke Indonesiaan walaupun mungkin dalam banyak hal telah berubah apakah itu sistem kapitalis dan juga mengenai kondisi masyarakat Indonesia. Hidup persatuan yang teguh dari semua kelompok yang anti Kapitalisme, Imperialisme dan NeoLiberalisme, Hidup persatuan antara gerakan kiri di Indonesia, hilangkan konflik lama yang akan merugikan gerakan buruh di Indonesia ……… MERDEKA 100%

Kontributor,

“Pacar Merah Indonesia”

———————-

 

Semangat Muda, yang ditulis pada tahun 1926, mengandung buah pemikiran Tan Malaka tentang bagaimana menjalankan organisasi revolusioner sesuai dengan kondisi Indonesia saat itu; yaitu dengan menggandeng perjuangan politik (nasional) dengan perjuangan ekonomi (kelas); dengan menyatukan perjuangan pembebasan nasional dengan perjuangan pembebasan Kelas Buruh. Terkandung di naskah ini adalah program nasional yang mengikutsertakan kaum borjuis kecil dan kaum taniIndonesia, yang notabene saat itu jumlahnya lebih besar dari pada kaum buruh, dengan kaum buruh sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan. Naskah ini sangatlah relevan sebagai pelajaran sejarah bagi gerakan di Indonesia saat ini, dimana gerakan anti-imperialis (anti modal asing) harus disatukan dengan gerakan pembebasan buruh sebagai sebuah kelas. Gerakan nasional dan gerakan kelas tidaklah boleh dilihat sebagai dua tahap yang terpisah, tetapi sebagai satu kesatuan; ini benar untuk Indonesia pada tahun 1926 dan terlebih benar untuk Indonesia saat ini.

Editor,

 

Ted Sprague

———————

 

 

 

 

 

Senjata Feodalisme dan Kapitalisme terutama Peluru dan Pedang.

Senjata Proletar Industri ialah Agitasi, Mogok dan Demonstrasi.

Sebulan Massa-Aksi di Indonesia sekarang lebih berguna dari 4 tahun Dipo Negoro­Isme.

Zaman Baru membawa Senjata Baru !!!!

 

Dicetak di Tokyo Januari 1926.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ISI BUKU:

I. KE ZAMAN KOMUNISME.             

1. Watak Zaman Bangsawan

2. Watak Zaman Hartawan               

3. Zaman Diktatur Proletar        

4. Taktik

5. Rusia

II. KEADAAN INDONESIA

1.    Ekonomi

2.    Sosial

3.    Krisis Ekonomi

4.    Krisis Politik

III. PROGRAM

1.    Program Nasional PKI & SR

2.    Keterangan Program

IV. ORGANISASI

1.    Maksud dan Sifat Organisasi

2.    Tentara Nasional

 

V. REVOLUSI

1. Peperangan dan Revolusi

2. Revolusi di Indonesia

3. Taktik di Indonesia

4. Massa Aksi di Indonesia

5. Rapat Rakyat Indonesia

6. Revolusioner Komunis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

I. KE ZAMAN KOMUNISME

Tiap-tiap pergaulan hidup di muka bumi ini, baik di Asia atau Eropa, baik dulu ataupun sekarang, terdiri oleh klassen atau kasta, yakni kasta tinggi, rendah. dan tengah.

 Menurut pikiran KARL MARX, maka timbulnya kasta tadi, yaitu disebabkan oleh perkakas mengadakan hasil, seperti cangkul, pahat dan mesin. Adanya kasta tadi pada sesuatu pergaulan hidup, menyebabkan, maka politik, Agama dan adat, dalam pergaulan hidup itu bersifat kekastaan atau bertinggi berendah. Ringkasnya perkara mengadakan hasil, menimbulkan kasta, dan kasta itu menimbulkan paham politik, agama dan adat yang semuanya bersifat kekastaan. Oleh sebab itu kata Marx lagi, semua sejarah dari semua bangsa, ialah pertandingan antara kasta rendah dan tinggi, antara yang terhisap dan yang menghisap, antara yang terhimpit dan yang menghimpit. Demikianlah pada Zaman Feodalisme atau Zaman Bangsawan, Kaum Hartawan yang terhimpit itu bertanding dengan kaum Bangsawan dan Raja yang menghimpitnya. Di Eropa pada tahun 1789 Kaum Hartawan di Prancis bisa mengalahkan Kaum Bangsawan dan mendirikan Peraturan Kemodalan seperti macam sekarang.

Dalam hal itu pertandingan belum lagi berhenti. Karena pada Zaman Kemodalan sekarang, pertentangan kasta makin tajam, ialah antara Kaum Buruh yang terbanyak dan tertindas itu dengan Kaum Hartawan, yang terkecil, tetapi terkaya dan terkuasa itu.

Berhubung dengan lebar dan dalamnya pertandingan dalam Zaman Kemodalan ini, maka kelak Kaum Buruh, kalau menang ia tidak saja akan memerdekakan dirinya sendiri, seperti dulu Kaum Hartawan, melainkan akan memerdekakan seluruh pergaulan hidup dan sekalian manusia. Dan oleh sebab Kaum Hartawan di seluruh dunia bersatu, maka haruslah pula Kaum Buruh seluruh dunia bersatu, buat manghancurkan musuhnya. 

1. Watak Zaman-Bangsawan

Pada Zaman-Bangsawan, maka perkakas di sawah dan ladang, hanyalah cangkul atau bajak. Di tempat pertukangan, pahat atau ketam yang semuanya diangkat dengan tangan. Hasil sawah, pertukangan dan pertenunan, cuma buat keperluan masing-masing orang atau masing-masing famili saja. Kalau ada berlebih dari keperluan itu, barulah dijual, supaya bisa membeli kain, cangkul atau bajak. Jadi perniagaan baru mulai timbul.

Ringkasnya pada Zaman-Bangsawan perkakas kecil, hasil sedikit dan buat keperluan masing-masing famili saja. Sisa keperluan satu-satu famili juga sedikit, sebab itu perniagaan masih lemah.

Beberapa tani, tukang dan saudagar pada Zaman Bangsawan berkumpullah mendirikan desa atau kota. Buat menjaga keamanan dalam desa tadi dan mempertahankan desa tadi pada musuh, maka mereka mendirikan Pemerintah Desa. Anggota biasanya terdiri dari orang yang tua, yang pandai, cerdik, berani dan mendapat kepercayaan dari orang banyak. Pangkat memerintah negeri akhirnya jadi turun menurun dari bapak ke anak. Sekarang penduduk desa sudah mulai terbagi atas kasta: Tani, Tukang, Saudagar dan kasta-memerintah, yaitu Bangsawan. Apabila desa tadi banyak berperang-perangan, maka makin besar kuasanya Kaum Bangsawan dan makin dalam kebangsawanan. Kemudian dua desa atau beberapa desa mulai mangadakan perserikatan buat mempertahankan diri kepada serangan dari luar. Urusan negeri dan peperangan sekarang jatuh di tangan seorang Bangsawan yang tetinggi, yang sekarang berpangkat Raja dan berkuasa lebih dari Bangsawan yang sudah-sudah. Makin banyak peperangan dan kemenangannya Raja itu, makin besar kekuasaannya turun menurun.

Negeri bertambah besar, kekuasaan makin tertumpuk kepada Raja dan Bangsawan, kekayaan makin tertumpuk kepada Kaum Hartawan serta kaum Buruh dan Tani makin terhisap dan tertindas.

Supaya Buruh dan Tani yang terbanyak itu, takluk saja kepada Kaum Raja dan Bangsawan, maka harus diadakan Agama, Didikan dan Adat yang bersifat kekastaan atau kebudakan.

Gereja atau mesjid jatuh di tangan Kaum Bangsawan juga, anaknya Rakyat diajar jongkok dan menyembah, sedangkan anaknya Raja serta Bangsawan diajar memukul, memaki dan menerjang.

Demikianlah wataknya Zaman-Bangsawan itu di India, di Jawa atau Tiongkok dan Jepang.

 

2. Watak Zaman Hartawan

Kira-kira 200 tahun yang lalu, kaum Hartawan di Eropa makin bertambah kaya. Pertukangan, dan pertenunan yang dulu kecil-kecil, dan buat keperluan masing-masing famili saja, sekarang sudah terkumpul pada satu pabrik. yang memakai beratus-ratus kuli. Perniagaan sudah jauh melewati batas desa atau negeri. Bank sudah meminjamkan kepada atau menerima uang simpanan dari seluruh penduduk negeri.

Tetapi, walaupun kekayaan Kaum-Hartawan sangat maju, kekuasaannya masih tinggal seperti dulu. Raja dan Bangsawan masih bisa ambil pajak sehekendak hatinya. Kemerdekaan Kaum-Hartawan buat mengirim barang dari satu negeri ke negeri lain sangat terhambat, karena barang-barangnya acap kali dipajaki oleh Bangsawan atau Raja. Juga Kaum Pendeta, yakni keturunan Bangsawan tak kecil keganasannya.

Buat merdeka mendirikan pabrik dan kirim mengirim barang, maka Kaum Hartawan mesti merdeka dalam urusan politik-Negeri.

Dengan pertolongan Tani dan Buruh, maka Kaum Hartawan pada tahun 1789 bisa menghancurkan semua kekuasaan Kaum Bangsawan dan Raja Prancis. Sekarang urusan ekonomi, dan politik luar serta dalam negeri sama sekali jatuh di bawah tangan Kaum Hartawan dan Wakilnya.

Sekarang Modal bisa tumbuh dan menjalar kiri kanan dengan leluasa. Dalam satu pabrik tidak seratus atau dua ratus, melainkan sudah sampai 30 ribu orang kuli kerja (Inggris, Jerman dan Amerika). Hasilnya dalam satu jam saja sudah beribu-ribu pikul. Mengangkutnya hasil tidak lagi dengan bahu, kerbau atau kuda, melainkan dengan kereta atau kapal yang cepatnya seperti petir. Dengan kelingking saja satu sekerup dibuka, mesin yang kuatnya sejuta kuda berputar dengan sendirinya saja. Kirim mengirim dan pesan memesan barang ke empat penjuru alam dijalankan dengan kawat atau radio. Dari Asia dan Afrika tiap-tiap hari diangkut barang-barang yang mesti dikerjakan dalam pabrik di Eropa, dan dari Eropa atau Amerika tiap-tiap jam berjalan kapal yang mengangkut barang-barang pabrik ke Asia dan Afrika. Ringkasnya mesin kerja dengan kuat dan cepat, Kuli terkumpul pada satu pabrik saja sampai beribu-ribu, pekerjaan teratur dari satu administrasi-pabrik dan dikerjakan bersama-sama, sedangkan perniagaan sudah internasional.

Tetapi seperti pada Zaman-Bangsawan ada pertentangan antara Kaum Bangsawan dan Kaum Hartawan, begitulah juga pada Zaman Hartawan atau Kemodalan ada pertentangan antara Kaum Hartawan dan Kaum Buruh serta Tani. Seperti Zaman ­Bangsawan mengandung Benih-Hartawan yang kelak akan menghancurkan Kaum-Bangsawan sendiri, demikianlah pula Zaman-Hartawan kita ini mengandung Benih Buruh yang kelak akan menghancurkan Kaum Hartawan.

Keyakinan ini kita Kaum Komunis tidak diperoleh dari limau-purut atau ujung jari, seperti tukang-tukang ramal, tetapi kita peroleh dari bukti yang nyata.

Pertentangan-pertentangan yang nyata dan tak bisa didamaikan pada Zaman-Kapitalisme atau Hartawan, ialah:

            I.       Hak-Milik. Pada Zaman-Hartawan, seperti juga pada Zaman-Bangsawan maka perkakas mengadakan hasil itu berpisah dari orang yang mengadakan hasil, yakni Kaum-Buruh. Sebab perkakas itu bukan kepunyaan Kaum-Buruh, melainkan satu atau dua orang Hartawan, maka hasil yang diadakan oleh Kaum-Buruh tidaklah kepunyaan Kaum-Buruh sendiri, melainkan kepunyaan yang memiliki perkakas, seperti: tanah, pabrik, kereta, kapal dan lain-lainnya. Kaum Hartawan tak bekerja, tetapi ia memiliki hasil. Kaum Buruh membanting tulang, tetapi tak memiliki hasil yang diadakannya sendiri. Sebabnya, maka dunia sampai terbalik begitu, ialah karena hak-Milik, yang pada semua negeri Bangsawan diaku sah oleh Wet (Bahasa Belanda untuk hukum – catatan editor) dan agama, sekarang dalam Zaman-Hartawan menjadi racun. Dengan alasan hak Milik itu, modal kecil menjadi besar, perusahaan kecil terpukul oleh yang besar dan tani kecil terpukul oleh tani besar, sehingga tukang-tukang kecil dan tani-­tani tidak lagi berpunya apa-apa. Kaum yang tidak berpunya ini, terpaksa menjual tenaganya pada Kaum Hartawan dengan harga seberapanya saja, asal bisa menolak bahaya lapar dan mati. Jadi sebab hak Milik tadi pergaulan hidup terbagi dua: l. Kaum Hartawan Sang tersedikit orangnya, tetapi memiliki Perkakas dan Hasil, dan 2. Kaum Buruh, yang terbanyak orangnya, yang sungguhpun mengadakan hasil tak memiliki hasil itu, karena ia orang upahan saja.

        II.       Anarkisme. Sungguhpun dalam satu pabrik ada teratur banyak dan caranya mengadakan basil, tetapi satu pabrik berpukul-pukulan dengan yang lain. Kalau satu negeri mempunyai misalnya 100 pabrik kain, maka tiap-tiap pabrik ada mengatur dan menentukan banyak hasil yang mau diadakan, buat masing-masingnya, tetapi yang 100 pabrik tadi tidak mengatur banyak hasil buat seluruh negeri, melainkan masing-masing mengadakan hasil buat memukul yang lain. Makin banyak hasil dapat makin murah harganya barang, sehingga lawannya terpukul dan jatuh. Kalau hasil tiba-tiba menjadi terlampau banyak, harga terlampau murah, dan pabrik tertutup, seperti teh, getah dan minyak di Indonesia baru-baru ini. Walaupun Rakyat perlu memakai hasil itu, tetapi yang punya tidak akan membagikan pada Rakyat, malah lebih suka membuang hasil itu, seperti Kapitalis-Gandum di Amerika pada tahun 1922. Jadi hasil yang diadakan oleh 100 pabrik tadi bukanlah buat negeri dan penduduknya, melainkan buat perniagaan dan pukul-memukul dalam perniagaan. Demikianlah Kaum Hartawan mengadakan hasil tidak rasional, yakni menurut keperluan orang banyak, melainkan anarkistis, yakni sesukanya saja, buat mencari untung.

     III.       Mesin. Buat pukul-memukul dalam perniagaan atau concurrensi, Kaum Hartawan memakai mesin baru. Dengan jalan begitu hasil dengan cepat menjadi berlipat ganda, sehingga harganya barang itu bisa murah sekali. Tuan pabrik yang masih memakai mesin tua, tidak bisa menghasilkan begitu banyak dan begitu cepat. Harga barangnya tinggal mahal, dan akhirnya ia jatuh. Tetapi mesin baru tadi mengurangkan tangan yang mengangkatnya, karena mesin itu bisa dijalankan dengan uap atau listrik saja. Berhubung dengan memakai mesin baru, beribu-ribu buruh dilepas, karena melimpah. Tiap-tiap negeri di Zaman Hartawan penuh dengan limpahan Buruh, yakni buruh yang dilemparkan dan tidak bisa dapat kerja. Limpahan Buruh ini, selalu bertambah-tambah, karena mesin baru tiba-tiba menaikkan hasil, dan tiba-tiba naiknya hasil tiba-tiba pula mendatangkan krisis yakni jatuh harga barang. Kalau krisis datang beribu, berjuta buruh dilepas. Ringkasnya Zaman-Hartawan penuh mempunyai perkakas (mesin), dan penuh mempunyai hasil, tetapi sebaliknya berjuta manusia tanpa pekerjaan dan hidup dalam kelaparan. Nyatalah sudah Kaum Hartawan tidak bisa mengurus keperluan Rakyat.

      IV.       Kasta. Pada Zaman-Hartawan satu kongsi perniagaan bisa maju dengan dua jalan: pertama dengan memukul, kedua dengan berkawan. Kalau satu kongsi mempunyai modal yang besar, tentu ia dengan sementara menurunkan harga barangnya, bisa menjatuhkan musuhnya. Tetapi kalau mereka sama-sama kuat, maka ia mencoba berserikat. Dengan perserikatan mereka mudah menaikan harga barang dengan sekehendak hatinya, karena tak ada persaingan lagi. Yang kerugian tentulah Rakyat juga, yang terpaksa membayar. Dengan jalan berserikat itu dua atau tiga maatschappy (perusahaan) menjadi sindikat. Sindikat ini kurang teratur lagi, karena masih banyak kepala yang mengurus, ialah kepala-kepala dari maatschappy (perusahaan) yang berserikat. Supaya urusan lekas, maka kepala yang banyak tadi ditukar jadi satu, sehingga perniagaan bertambah kuat, urusan rapi dan lekas, karena urusan ge-centraliseerd yakni mempunyai satu kepala saja. Inilah namanya trust. Trust ini bisa berserikat lagi dengan trust lain, seperti trust besi dengan trust arang, sehingga harga arang dan besi boleh dibikin sekehendak yang punya trust. Di Jerman umpamanya Stinnes tidak mempunyai satu, melainkan bermacam-macam trust, seperti arang, besi, kertas, kereta, kapal, Banken, kayu, dan sebagainya. Jadi pertama harga grondstof atau barang asli, yang perlu dikerjakan di pabrik bisa rendah sesuka Stinnes saja. Sebaliknya fabriekswaren atau barang pabrik boleh dia naikkan sesuka hatinya, karena pabrik, kereta, kapal dan surat kabar buat advertensi sama sekali jatuh ditangannya. Jadi semua kongsi, maatschappy (perusahaan) dan Sindikat jatuh di bawah combinatie-trust-Stinnes. Semua urusan ekonomi di Jerman hampir tergenggam di tangan satu manusia saja. Juga Bank dari kongsi kecil menjadi Sindikat, Sindikat menjadi trust dan Trust-Combinaties. Jadi semua urusan Bank jatuh di bawah kekuasaan satu manusia pula (Stinnes). Bank pada tiap-tiap negeri memberi pinjaman pada industri. Supaya ia dapat untung tetap, maka ia adakan kontrol pada industri tadi. Akhirnya industri jatuh di bawah kekuasaan Bank. Bank memberi pinjam uang pada negeri, sebab itu menteri pada suatu negeri kemodalan harus cocok dengan Direktur Bank. Begitulah semua menteri di Amerika mesti tunduk pada Bankir Morgan, Jerman pada Stinnes, Prancis pada lauchuer dan sebagainya. Bank pada suatu negeri acap memberi pinjaman uang kepada negeri lain. Supaya bunga terus diterima, Menteri luar harus menjaga keperluan itu, dan kalau perlu haruslah negeri luar itu dijadikan jajahan. Dengan jalan begitu barang jajahan bisa tetap masuk (kopi, gula, kapas, dll.) orang jajahan tetap beli barang pabrik (kain, mesin, dll.) dan bayar hutang. Nyatalah sudah, bahwa kemajuan kapitalisme mengumpulkan kekuasaan pada satu dua orang. Seorang Bankir menguasai industri negeri, pemerintah negeri dan koloni. Kaum modal pada sesuatu negeri semakin hari semakin bertambah kaya dan bertambah sedikit, kaum buruh bertambah banyak dan bertambah miskin. Pertentangan Hartawan dan Buruh bertambah tajam, sehingga puteran kasta yakni revolusi sosial tak bisa dihindarkan. Salah satu Hartawan atau Buruh mesti hancur.

          V.       Imperialisme. Anarkisme dalam hal mengadakan menyebabkan Kaum-Hartawan dalam sesuatu negeri satu dengan lainnya berpukul-pukulan dan hancur-menghancurkan. Walaupun mereka terhadap kepada negeri lain ada bersatu, tetapi anarkisme tadi juga menyebabkan beberapa negeri di atas dunia ini satu sama lainnya berpukul pukulan dan hancur-menghancurkan pula. Tiadalah satu negeri mengadakan hasil buat keperluan seluruh dunia, melainan buat perniagaan dan persaingan. Satu negeri yang perlu memakai barang jajahan buat pabriknya seperti kapas, getah, dan sebagainya mau sendiri saja memiliki barang asli atau grondstof itu. Ia sendiri saja mau memiliki negeri jajahan itu sebagai pasar barang pabriknya (besi, mesin, kain-kain, kertas dll.) dan ia sendiri saja mau meminjamkan uang pada jajahan itu, supaya ia sendiri saja pula mendapat bunga yang tetap. Berhubung dengan keperluan industri dan perniagaannya, maka ia sendiri pula mau menggenggam politik negeri jajahan itu. Politik imperialisme ini menyebabkan yang satu negeri berdengki-dengkian dan bermusuh-musuhan dengan negeri yang lain Hal ini menaikkan persiapan peperangan pada tiap-tiap negeri imperialisme dan akhirnya mengadakan peperangan dunia. Demikianlah peperangan dunia yang baru ini, yang memakan jiwa 10.000.000 manusia dan beribu juta harta disebabkan oleh pertentangan antara imperialisme Inggris dan Jerman. Sesudah Jerman kalah, maka timbul lagi sekarang pertentangan antara imperialisme yakni Inggris dan Prancis di Eropa dan lebih tajam lagi Jepang dan Amerika di Asia Timur. Nyatalah sudah, bahwa imperialisme tak bisa dibunuh selama kapitalisme dan anarkisme dalam hal mengadakan hasil masih tetap. Sebab itu peperangan dunia pada tiap-tiap waktu masih mengancam kita.

Kelima penyakit kemodalan yang kita sebutkan diatas ini tiadalah bisa sembuh, karena sudah terbawa oleh diri kemodalan sendiri. Penyakit itu lah yang menyebab­kan Kaum Hartawan bertambah penakut dan bertambah sedikit orangnya dan sebaliknya penyakit itu lah yang menyebabkan Kaum Buruh bertambah miskin, tetapi bertambah rajin kerja (sebab terpaksa) bertambah tertindas, tetapi bertambah revolusioner dan bertambah banyak orangnya. Krisis ekonomi dan politik bertambah dekat, artinya ini cuma revolusi sosial atau putaran-kasta sajalah yang bisa mengobati krisis itu, dan menghindarkan bala yang bisa menimpa seluruh manusia diatas dunia ini:

“Kaum Hartawan yang malas dan sedikit itu haruslah turun, serta Kaum Buruh yang terbanyak dan mengadakan hasil itu, harus memiliki hasil itu dan membagikan hasil itu buat kastanya sendiri dan sekalian orang yang kerja. Ringkasnya Kaum Buruh harus merebut kekuasaan ekonomi dan politik dunia”.

3. Zaman Diktator Proletar

Kaum Agama mengambarkan surga persis seperti kehendak nafsunya sendiri. Begitu juga Kaum Utopis, seperti Thomas More, Saint Simon, Fourier dan Robert Owen menggambarkan masyarakat yang sempurna di dunia ini persis seperti nafsunya masing-masing.

Kita Kaum Komunis tidak mengambil gambaran Komunisme itu dari nafsu seorang tukang mimpi atau ahli nujum saja. Kita tidak disuruh Karl Marx buat menghapalkan saja sifat-sifat Komunisme dan terus tinggal mendoa saja supaya Surga Dunia itu datang. Melainkan kita mendapat keterangan yang jelas dari Marx, bahwa kemajuan Feodalisme di dunia ini membawa kemajuan Kapitalisme, dan kemajuan Kapitalisme sekarang ini membawa kemajuan Komunisme. Sebagaimana Kaum Bangsawan sudah terpukul oleh Kaum Hartawan, begitu juga kelak Kaum Hartawan akan dikalahkan oleh Buruh. Kalahnya itu bukanlah pula oleh sebab-sebab yang mistik atau gaib­-gaib melainkan atas sebab-sebab yang nyata, yang bisa dilihat dan dirasa.

Tidaklah pula datangnya Komunisme itu tiba-tiba saja, seperti surga akan terkembang sesudah hari kiamat, tetapi berangsur-angsur, yakni seperti Zaman Kemodalan sendiri yang dulu datangnya juga berangsur-angsur. Dimana pertentangan sangat dalam, seperti di Rusia, maka putaran kasta Buruh dengan Hartawan itu akan disertai dengan banjir darah. Dimana pertentangan itu, selalu dikurang-kurangi, karena Kaum hartawan selalu kasih konsesi atau kemunduran, seperti bisa terjadi di Inggris, maka putaran kasta tadi, boleh jadi tidak berapa menuntut jiwa. Tetapi buat seluruh dunia putaran-kasta itu tiada akan terjadi dengan damai, seperti juga putaran kasta Bangsawan dengan Hartawan dulunya tiadalah terjadi dengan damai.

Tingkat yang mula-mula mesti kita tempuh di atas Zaman-Kemodalan ini ialah Diktatornya-Proletar. Bukanlah pada satu negeri saja seperti Rusia, tetapi buat di seluruh dunia. Pada tingkat Diktator-Proletar ini, semua Perkakas Hasil, seperti Pabrik Tambang, Tanah, Kereta, Kapal, Gudang-Gudang dll. dimiliki oleh Kaum-Buruh dan diserahkan pada negaranya Kaum Buruh. Semua urusan buat mengadakan hasil, jatuh di bawah pimpinan Kaum-Buruh sendiri, yang di jalankan oleh Wakil-Wakil yang dipilih oleh Kaum Buruh itu tidak lagi ditetapkan buat perniagaan dan mencari untung saja, tetapi terutama buat keperluan Rakyat. Anarkisme dalam hal mengadakan hasil akan hilang dan berganti dengan rasionalisme, yakni mengadakan hasil menurut keperluan Rakyat. Kaum buruh berhenti menjadi orang upahan yang dibayar sebagaimana suka si Kapitalis saja, karena Buruh sekarang sudah memiliki perkakas hasil yang diadakannya sendiri. Sepadan dengan itu Kasta-Buruh, sebagai Kasta upahan atau budak hilang dan berganti dengan Kasta Pekerja yang campur mengurus pekerjaannya dan memiliki hasil yang dikerjakannya. Oleh karena sekarang mengadakan hasil tidak lagi dengan sesukanya seorang Kapitalis buat perniagaan saja, maka hasil tak akan melimpah lagi, sehingga bisa mendatangkan krisis atau mesti menimbulkan politik merebut jajahan buat pasarnya barang limpahan itu. Jadi politik imperialisme akan hilang dan berganti dengan tukar-menukar barang, seperti barang Eropa dengan Afrika atau Asia, satu negeri dengan yang lain. Berhubung dengan hilangnya politik imperialisme, maka akan hilang pula militarisme dan hilang pula peperangan dunia buat merebut jajahan dan pasar.

Supaya Kaum Buruh aman dan sentosa memiliki perusahaan dan semua hasilnya perusahaan, maka haruslah ia merebut politik-negeri. Kaum-Hartawan dan budaknya dari Kasta Tengah atau Kaum Sosial-Demokrat haruslah diusir dari pemerintahan negeri. Kalau tidak begitu ia akan memogoki (saboteeren) semua peraturan yang baik buat Kaum-Buruh dan menunggu waktu yang baik, dimana ia bisa memakai laskar, armada, justisi, polisi dan bui buat menindas peraturan ekonomi kaum buruh, seperti yang kita rancangkan diatas. Bersama dengan Pemerintah-negeri, haruslah dengan sekejap Laskar, Armada, Justisi, Polisi dan Didikan dijadikan merah. Artinya itu, semua anggota ini, haruslah jatuh di bawah kekuasaan Kaum-Buruh dan seberapa bisa diisi dengan Kasta Kaum Buruh sendiri.

Dengan Pemerintah Merah, Tentara Merah, Polisi Merah, dan Didikan Merah, maka Kaum Buruh bisa menjaga peraturan mengadakan hasil dan haknya atas hasil itu, terhadap kepada musuh baik di dalam atau pun di luar negeri, yang tak putus akan mencoba merebut kembali kekuasaannya yang hilang itu.

Apabila sesudah bertahun-tahun Kaum Hartawan sama sekali hancur, seperti dulu juga Kaum Bangsawan sama sekali hancur, maka barulah lambat laum anggota-anggota Ekonomi Merah, Politik Merah, Didikan Merah dan Justisi Merah berhenti menjadi perkakas penginjak Kemodalan dan Kaum Hartawan, dan menjadi perkakas buat mendatangkan Komunisme. Pada Zaman Komunisme, kasta akan hilang, tindasan dan isapan akan hilang, kekayaan, kepintaran, pengetahuan, kesenian, dan literatur akan menjadi miliknya orang bersama.

Jadi Komunisme itu bukanlah ilmu batin, yang datangnya sesudah habis dibakar kemenyan sepikul, melainkan suatu peraturan buat pergaulan hidup yang sudah terkandung sendiri oleh pergaulan hidup yang sekarang ini. Lekas datangnya itu bergantung sebagian besar dari cakap dan kuatnya Kaum-Buruh Dunia, mendatangkan Diktator Proletar, yakni memerahkan peraturan ekonomi dan politiknya Kaum Hartawan yang ada sekarang.

 

4. Taktik

Pada Zaman-Feodalisme, maka Taktik buat mendatangkan pemerintah baru itu, yakni dengan ramal dan kemenyan. Seorang guru atau Kyai, tahu membaca dalam buku atau di ujung jarinya, kapan Ratu Adil atau Imam Mahdhi akan datang. Dengan jimat dan kemenyan, maka Kaum Revolusioner-feodal bisa mengalahkan musuh. Psikologi atau semangat semacam ini lahir dari keadaan cara mengadakan hasil juga. Pada Zaman-Feodalisme itu mengadakan hasil terutama dengan cangkul. Kalau tanahpun subur, si Tani rajin mencangkul, tetapi hujan tak turun-turun tentu padi tak dapat. Apa itu hujan, buat si Tani, yang belum pernah dengar Natuurkunde atau ilmu-alam adalah perkara kasih atau bencinya Tuhan. Dia bergantung kepada Tuhan itu, dan cara mendapatkan hujan tidak lain dari membakar kemenyan. Bukanlah seperti buruh-pabrik, yang sama sekali tak tergantung pada alam, malah memakai alam itu uap dan elektris kapan ia suka dan berapa ia suka. Sebab itu si Tani pasif atau penerima dan si Buruh aktif atau jalan. Sifat itu terbawa-bawa dan juga buat mendatangkan pemerintah baru, tak lain akal buat si Tani melainkan nujjum, jimat dan kemenyan.

Di antara Kaum-Buruh industri adalah tiga taktik yang terutama dimajukan: Anarkisme, Reformisme dan Revolusioner.

Taktik Anarkisme lahirnya pada pertengahan Abad yang lalu. Kaum Anarkis, percaya, bahwa kalau tiap-tiap pembesar Kaum-Hartawan di bom, diracun atau ditikam, maka mereka akan takut memerintah. Si Penindas akan hilang, dan Komunisme akan datang sendirinya saja. Jadi mereka tidak memakai tingkat Diktator Proletar seperti kaum Komunis, dan tidak memperdulikan organisasi massa-aksi atau aksi ramai-ramai yang teratur. Bahwa semuanya itu mimpi tak perlu dibentangkan disini. Kaum Hartawan dengan polisi, justisi dan tentaranya adalah sangat teratur dan mempunyai disiplin yang sangat keras. Dan kalau satu pembesar terbunuh, maka seribu lagi gantinya. Sebab itu, kalau Kaum-Buruh tak berkelahi teratur dan mempunyai disiplin yang keras ia mesti kalah. Anarkisme belum pernah menang. Cuma pada waktu Bakunin masih ada, disana sini di negeri yang achterlyk atau mundur kapitalismenya seperti di Selatan Jerman, di Balkan ia bisa bikin huru hara. Tetapi di negeri yang sudah maju kapitalismenya pada masa itu (tahun 1850) seperti Inggris, Bakuninisme sama sekali tak bisa dijalankan. Di Rusia sendiri pada tahun 1917 dan sekarang di Jerman Anarkisme sama sekali tak berarti. Sebab kaum anarkis tak mau mengakui aturan dan disiplin itu, maka ia tak bisa membikin perserikatan, malah mudah berpecah-pecahan, dan bertengkar-tengkaran. Sebab ia mengukur kemarahan Rakyat yang tertindas itu kepada yang menindas bukan dengan alasan ekonomi, melainkan dengan kemarahannya personal, maka ia mudah kena provokasi, dan terdorong, sehingga ia terisolasi dari orang banyak, dan akhirnya kalah.

Taktik Kaum Sindikalis, yang juga beralaskan Anarkisme yang terutama berpengaruh di sebelah Selatan Eropa dan Amerika Selatan pun tak bisa mencukupi kekuatan buat memerangi kemodalan zaman sekarang. Kaum Syndicalist itu anti-parlemen dan anti-politik. Sebab itu Kaum Syndicalist tak mau mengirim wakil ke parlemennya kaum Hartawan. Sebaliknya ia menyangka, bahwa Serikat Buruh itulah yang tertinggi. Sudahlah tentu dasar anti-politik dan anti-parlemen itu salah sekali. Dengan sikap begitu, Kaum-Buruh tak tahu akan politiknya Kaum-hartawan, sedangkan politik dan ekonomi itu bersanak sudara. Politik tidak lain dari gecon­centreerde ekonomi, artinya itu, politik ialah pusatnya urusan ekonomi. Apabila Kaum-Buruh akan menyia‑nyiakan politik, yakni pusatnya ekonomi kaum Hartawan itu, mereka akan mudah terjerat kaki dan lehernya.

Taktik Kaum Sosial Demokrat tak perlu kita uraikan di sini dengan panjang lebar. Mereka itu percaya bahwa Modal dan Tenaga (Arbeid) tak bertentangan. Begitu juga Hartawan dan Buruh bisa sama-sama jalan. Sebab itu Kaum Sosial Demokrat memasuki Parlemennya Kaum Hartawan. Mereka percaya, bahwa kalau kelak dengan jalam damai mereka bisa mengadakan wakil lebih banyak dari Hartawan, maka Hartawan akan kalah suara dan akan mundur saja. Sesudahnya itu perusahaan ekonomi boleh dijatuhkan ke tangan Buruh. Berhubungan dengan itu, maka Kaum Sosial Demokrat anti-revolusioner dan aksinya ialah merebut bangku Parlemen saja. Sepadan dengan keyakinan ini, maka Kaum Sosial Demokrat, dimana-mana sudah menjadi Kaum Penghianat. Pembunuhan jiwa Buruh yang 10.000.000 dalam peperangan besar baru lalu, ialah terjadi dengan bantuan Sosial Demokrat, yang selalu bantu Begrooting Kaum Hartawan dimana-mana. Di sekalian jajahan, Sosial Demokrat membantu politiknya Kaum Imperialist buat menindas bangsa Timur. Di Jerman, Ebert, Noske dan Scheidemann sudah merasakan, bahwa Parlemen itu tak mudah dijadikan anggota Kaum Buruh. Dimana dulu, Sosial Demokrat mendapat Meerderheid atau Suara Kelebihan dalam Ryksdag (Parlemen), sekarang mereka jadi boneka saja, dan pemerintah sama sekali jatuh di tangan Fasis. Oleh karena Sosial Demokrat pada tahun 1918-1923 tidak memerahkan Justisi, Kementerian, Laskar dan Polisi, maka anggota-anggota ini dengan rahasia mengumpulkan kekuatannya di bawah selimutnya Sosial-Demokrat. Oleh karena kaum reaksi Jerman sekarang di bawah Presiden Jendral bisa sembelih semua Sosial Demokrat, yang dulu tuannya itu.

Taktik Merah, atau taktik revolusioner tidak saja di Rusia sudah menjatuhkan kemodalan, dan bisa mempertahankan Soviet sudah lebih dari 8 tahun, tetapi dimana-mana di dunia, Eropa Barat, Amerika, Tiongkok, Jepang, India dan Indonesia sedang membingungkan yang berkuasa. Taktik merah tidak bersarang di jimat atau kemenyan, melainkan berurat pada keadaan hidupnya Rakyat yang tertindas. Kita tidak anti-parlemen seperti Kaum Syndicalist, tetapi tidak pula parlemener seperti si Pengkhianat Sosial Demokrat. Kita masuki Parlemen, buat membuka topengnya Kaum Hartawan dan Sosial Demokrat, tetapi sama sekali tiada mengharapkan hasilnya yang konkrit atau nyata dari aksi di Parlemen itu. Kita tahu, bahwa sebagian besar dari Buruh masih mengikut Sosial Demokrat dan percaya pada Parlementarisme. Sebab itu kita masuki Parlemen itu buat memecahkan dari dalam. Dalam pada itu kita lebih pentingkan mengatur kekuatan Buruh, Tani dan sekalian Rakyat yang tertindas di luar Parlemen. Semuanya aksi dan pertarungannya Buruh, Tani dan penduduk kota, baik ekonomi ataupun politik mesti kita campuri. Bukan buat menipu mereka dan memperdamaikan dengan Hartawan seperti laku Sosial Demokrat, melainkan buat membantu mendorong, dan kalau bisa menghancurkan Hartawan dan budak­budaknya. Menurut kekuatan kita dan Rakyat yang percaya pada kita, maka kalau bisa semua aksi ekonomi kita besarkan jadi mogok umum, kalau perlu ditambah dengan boikot dan demonstrasi. Dari mogok umum, boikot dan demonstrasi yang dilakukan di seluruh negeri itulah bisa lahir pemberontakan buat merebut politik negeri dan mendirikan Diktatornya Proletar.

5. Rusia

Seperti Pemberontakan Hartawan kepada Bangsawan di buka oleh Hartawan Prancis pada tahun 1789, begitulah Pemberontakan Buruh kepada Hartawan dimulai oleh Buruh Rusia kepada Hartawan disana. Seperti Revolusi 1789 di Perancis didahului oleh revolusi kecil di Inggris pada tahun 1650 (Cromwell), begitu pula diktator proletar di Rusia tidak sama sekali baru, karena sudah didahului oleh Komune Paris pada tahun 1870, pada percobaan 1870 Karl Marx, dan Lenin banyak mendapat pelajaran buat menyempurnakan diktaturnya Proletar.

Pada Revolusi Prancis kita bisa mempelajari, bahwa kemenangan Kaum Hartawan yang masih revolusioner itu turun naik. Republik-Hartawan yang didirikan pada tahun 1789 cuma bisa berdiri 5 tahun saja. Kemudian datang Napoleon yang akhirnya jadi Kaisar dan sesudahnya Napoleon jatuh maka berturut turut Raja keturunan Lodewyk XVI, (yang dipancung kepalanya oleh kaum pada revolusioner) bisa kembali memerintah. Barulah pada tahun 1849, maka Republik Hartawan bisa kembali lagi, yang walaupun sementara disambung oleh Napoleon III, sampai sekarang bisa terus berdiri. Jadi tidak kurang dari 60 tahun Prancis berkelahi dengan kalah menang buat demokrasi dan Parlemenarisme cara kemodalan. Dalam waktu Prancis berjuang dengan Bangsawan itu, maka berturut-turut negeri menjatuhkan Raja dan Bangsawannya seperti Belanda dan dimana-mana kekuasaan Bangsawan dan Raja di potong-potong seperti Jerman, Italia, Spanyol, dll. Ringkasnya berpuluh tahun Hartawan di seluruh dunia mesti berperang dengan kalah dan menang baru bisa menghancurkan Raja dan Bangsawannya sama sekali.

Ini pengajaran yang dalam artinya buat kita. Dunia Hartawan yang berpuluh-puluh kali lebih kukuh dari dunia Bangsawan tentulah takkan bisa kita hancurkan dalam satu hari.

Kita tahu, bahwa reaksi di seluruh dunia sekarang bertambah hebat. Karena kaum Sosial Demokrat pada tahun 1917-1923 berkhianat, maka Revolusi Rusia tak diikuti oleh negeri lain-lain. Kaum Reaksi di belakang baju Sosial Demokrat, yang dikemukakan di Jerman buat melindungi Kaum Hartawan bisa bernapas kembali dan mengumpulkan semua senjatanya, yang pada tahun 1918-1923 hampir sama sekali hilang dari tangannya. Sekarang di Jerman Kaum Reaksi sudah mengancam dengan pemerintah Fasis, yakni diktaturnya Kaum Hartawan. Kaum Hartawan tidak akan memakai Parlemen lagi melainkan tangan besi, seperti Mussolini di Italia. Hartawan akan lemparkan demokrasi, dan atur ekonomi dengan memaksa kaum buruh kerja, dengan gaji sedikit, dan waktu yang lama, dan menghancurkan semua pergerakan revolusioner, dengan jalan kasar. Begitu juga di Prancis, dimana ekonomi kusut, Fasis sudah siap. Di Inggris, dimana pada 2 atau 3 bulan lagi disangka akan datang frisis sekarang Fasis sudah mengasah-asah pedang kiri kanan dan mengumpulkan uang dan senjata. Di Amerika, dimana Kaum Komunis mulai maju, Klu Klux Klan, sudah jadi Fasis, dan selalu sedia akan menghancurkan pergerakan merah. Tentulah Fasis dapat sokongan dari Kaum Hartawan baik lahir ataupun batin.

Tetapi makin gelap jalan di muka, makin terang buat kita suluh yang di belakang. Sejarah menyaksikan kita, bahwa pertandingan kasta itu, bukanlah permainan, melainkan suatu kemestian pergaulan hidup dan suatu kewajiban sebagai manusia. Kalau musuh kita mengasah-asah pedang, maka jawab kita lain tidak hanyalah menegapkan barisan dan mempertajam senjata lahir dan batin. Pekerjaan yang sudah dimulai oleh Rusia dengan korban beribu-ribu jiwa, tiadalah boleh kita khianati dengan kelembekan atau dengan meninggalkan dasar yang sudah kita peluk.

Walaupun di kiri kanan ada reaksi, kita mesti terus menyusun tentara yang ada di negeri kita. Kalau kawan kita pada waktu yang di muka ini, baik di Rusia ataupun Eropa Barat dan Amerika dapat serangan, maka kita harus tidak mundur malah merebut kemenangan pada barisan yang kita duduki, yakni: di muka Rakyat Indonesia.

 

 

 

II. KEADAAN INDONESIA

1. Ekonomi

Adapun sifat kapitalisme di jajahan, seperti Indonesia dan Asia lain, adalah berlainan sekali dengan kapitalisme di Belanda dan Eropa lain. Disana lahir dan majunya kapitalisme itu terbawa oleh keperluan negeri sendiri, sedangkan di sini lahir dan majunya kemodalan itu terbawa oleh keperluan bangsa asing. Sebab itu di Eropa majunya kapitalisme itu dengan jalan menurut alam atau Organisch, sedangkan di Indonesia kunstamatig atau bikinan. Berpadan dengan hal itu, Kapitalisme di Eropa ada sehat dan sempurna, sedangkan yang di Indonesia verkracht atau terperkosa, seolah-olah sepokok kayu yang kena kelindungan.

Kapitalisme di Eropa membagi negeri atas kota dan desa. Di kota terdapat perusahaan atau industri dari kain, besi, batu, kertas dll. Sedangkan di desa terdapat gandum, sayur, sapi, domba dan hasil buat lain-lain makanan. Jadi dipukul rata kota memperusahakan barang pabrik dan desa mengadakan hasil tanah dan ternak. Bagian pekerjaan di kota dengan desa itu bertambah terang sekali pada negeri yang sangat maju permodalannya

Tentulah hasil pabrik di kota itu, gunanya, terutama buat penduduk kota sendiri. Sisanya itu ditukarkan dengan makanan yang dihasilkan oleh desa. Begitulah kain, pisau, perkakas rumah, baja, dll yang dibikin di kota ditukar dengan gandum, sayur, daging, dll yang dihasilkan di desa, yakni dengan sisa yang dimakan oleh penduduk desa. Pada negeri kemodalan yang belum terang imperialistis, dan sehat ekonominya seperti Amerika sebelum perang 1914-1918, maka jumlah harga sisa barang kota itu hampir sama dengan harga sisa hasil tanah di desa. Begitulah asal majunya kemodalan dan perusahaan, yakni dari pertukaran barang pabrik di kota-kota dan hasil tanah di desa-desa. Makin maju perusahaan di kota, makin banyak penduduk desa lari ke kota mencari pekerjaan, kepandaian atau kepalsiran, karena di kota terkumpul, pabrik, sekolah, bioskop, rumah komedi, dll.

Di Indonesia juga akan bisa begitu, kalau Belanda tak datang dan membunuh perusahaan kecil-kecil, buat membikin kapal, kain, barang-barang besi, seperti sudah ada di Tuban, Gresik, dll. Perusahaan kecil-kecil itu juga akan jadi besar, memakai uap dan listrik seperti di Eropa dan Amerika. Kota-kota Indonesia juga akan menarik penduduk desa dengan lekas dan bertambah hari bertambah maju penduduk, pabrik dan kaum buruhnya. Juga di kota Indonesia akan diadakan kain, bajak buat desa, dan desa-desa terutama hasilnya buat penduduk kota-kota Indonesia sendiri.

Tetapi sebab Belanda dengan hukum melarang membuat kapal dan membunuh perusahaan anak negeri dengan memasukkan barang pabrik yang murah harganya, maka kota dan desa kita jadi lain sifatnya dari kota di Eropa. Kota kita tidak ada yang menghasilkan, kain, bajak dan perkakas lain buat desa-desa, karena semua barang, ini dimonopoli atau diborong oleh Belanda. Desa kita tidak buat mengadakan hasil untuk penduduk kota, melainkan terutama buat tebu, teh, kopi, getah d. s. g. bukan buat keperluan negeri dan Bumiputera, melainkan buat untung si Pengisap yang tidur di Belanda. Sebab itu desa dan kota kita satu dengan lainnya tidak bergandengan dan tali bertali seperti pada suatu negeri yang sehat ekonominya, melainkan keduanya buat pengisi perut besar si Lintah Darat yang tidur di Belanda itu saja. Berhubung dengan hal ini, maka majunya kapitalisme di negeri kita jadi kunstmatig atau tak sehat.

Sebab perusahaan di negeri kita tidak buat keperluan anak bumi putera sendiri, maka barang yang perlu buat hidup kita, harus dibeli dari negeri lain dengan harga sesukanya orang lain itu saja. Dan oleh karena tanah di Jawa terdesak oleh kebun-kebun besar, maka beras, yakni nyawa kita, mesti datang dari negeri lain.

Demikianlah pada tahun 1922 Rakyat membeli barang kain yang masuk ada kira-kira F. 182.531.000. Di jajahan lain seperti India, Tiongkok dan Filipina barang pakaian sudah bisa dibikin dinegeri sendiri. Jadi disana uang Rakyat bayaran kain itu tinggal di negeri sendiri, sedangkan di Indonesia terbang kesakunya Lintah Darat Belanda. Harga beras masuk, walaupun beras Jawa nomor 1 kualitasnya di dunia dan bangsa Jawa memang pintar bertani pada tahun 1922 juga ada F. 74.947.000. Karena di Jawa hampir tak ada kapital dan saudagar anak negeri, seperti di jajahan maka untung perniagaan beras ini tidak satu peser jatuh di tangan anak negeri. Demikianlah untung perniagaan berhubung dengan import (barang masuk) yang pada tahun 1922 banyaknya ada F 696.300.000 itu hampir semuanya mengalir ke saku Lintah Darat Bangsa Asing.

Sudahlah terang, bahwa total export (harga barang keluar) yang pada tahun 1922 ada F.1.142.400.000 sama sekali dimakan oleh Lintah Darat Belanda yang memonopoli sekalian perusahaan besar-besar di Indonesia ini. Sedangkan di jajahan lain untung dari import dan export itu ada sebagian jatuh di tangan anak negeri, maka di Indonesia yang sangat subur dan kaya ini, semuanya keuntungan perniagaan dan hasilnya perusahaan dan tanah sama sekali terbang ke perutnya Lintah Darat yang tidur, palsir atau mondar-mandir di Belanda. Sisanya yang terlempar kepada bumiputera, gunanya sekedar buat hidup sebentar, seperti kuda atau kerbau, yang dipakai penarik kereta, juga mesti diberi makan.

Sebab kapitalisme Indonesia gunanya buat memenuhi keperluan bangsa asing, yang jauh tinggalnya itu, maka keadaan dan majunya kapitalisme Indonesia juga semata-mata menurut keperluan bangsa asing yang tinggal di negeri asing itu. Kromo mesti menyewakan tanah buat gula, getah dan teh dan jadi kuli Belanda mau dapat untung. Rakyat Indonesia tak bisa dapat pabrik kain, pabrik mesin dan kapal, sebab Belanda takut Twente dan perusahaan kain sana akan jatuh, dan juga saudagar-saudagar Belanda, pabrik kapal dan perusahaan-perusahaan kapal yang mengangkut barang import dan export dari Indonesia ke Belanda akan turut jatuh. Sebab itu Indonesia mesti tinggal jadi landbow-land atau negeri-pertanian tidak negeri perusahaan atau industri-land. Penduduknya mesti tinggal mundur (pasif) dan mudah ditindas. Tiadalah seperti pada negeri industri, yang mempunyai buruh yang lebih maju dan lebih aktif dan tak gampang ditindas. Selama Indonesia tinggal jadi jajahan, maka ia tak akan bisa memajukan ekonomi dan perusahaannya sebagaimana yang baik buat dirinya senriri, karena ia terpaut oleh Lintah Darat Belanda, yang tak memperdulikan nasib Rakyat Indonesia.

2. Sosial

Di negeri-negeri yang sangat maju kemodalannya, seperti Jerman dan Amerika maka Kaum Buruh itu jumlahnya ada kurang lebih 3/4 bagian dari seluruh penduduk negeri. Artinya itu ada 3/4 atau 75% dari penduduk yang tak berpunya apa-apa lain dari tenaganya dan tergantung hidupnya semata-mata dari modal besar.

Sepanjang ada bahwa perhitungan tahun 1905, maka di Jawa saja ada kira-kira 40% dari bumiputera yang proletar atau tak berpunya apa-apa. Kalau kita taksir sekarang, berhubung dengan bertambah majunya industri, angka itu sudah jadi 50%, maka dari penduduk tanah Jawa yang 36 juta itu ada 18 juta yang hidupnya tergantung dari perusahaan besar dan kecil. Tetapi di Sumatra, Borneo, Celebes, Daerah Ternate dan sebagainya yang jumlah jiwa kira-kira 18 juta itu masih sedikit kaum proletar. Hampir semua penduduk mempunyai tanah, modal kecil, perusahaan kecil atau perahu penangkap ikan. Kita pikir kita akan tak berapa salah menaksir (karena statistik yang sah belum ada ), bahwa kaum proletar di seluruh Indonesia pada masa ini ada kira-kira 18 juta, yakni kira-kira 34% dari penduduk yang 54 juta itu.

Tetapi di antara yang tak berpunya, Buruh Industri masih sangat sedikit. Di Jerman umpamanya, yang jumlah isi negeri hampir sama dengan Indonesia, yakni 60 juta ada kira-kira 2 juta buruh-pelikan (buruh pertambangan), sedangkan di Indonesia tak lebih dari 100.000, yakni seperdua puluhnya. Buruh kereta juga kira-kira 2 juta, sedangkan di Indonesia tak lebih dari 80,000, jadi kurang dari seperduapuluhnya di Jerman. Berjuta-juta buruh industri model baru, seperti pada pabrik membuat kereta, mesin, kapal, kain dll.  yang ada di Jerman, sama sekali tak ada di Indonesia. Jadi perkara banyaknya buruh industri, maka Indonesia, jauh kalahnya oleh Jerman, Inggris dan Amerika, juga kalah oleh Jepang dan India, dimana juga sudah terdapat buruh industri model baru.

Di Eropa, Amerika dan Jepang yang memiliki Pabrik, Tambang, Kereta, Kapal, Bank dll itu ialah bumiputera juga, Di Jajahan seperti India, Filipina dan Mesir sudah banyak bumiputera sendiri yang mernpunyai industri model baru, pertanian dan perniagaan model baru. Tetapi di Indonesia modal besar bumiputera bolehlah dikatakan tak ada. Betul di Jawa, lebih-lebih Sumatera di antara bumiputera ada yang mempunyai modal F.100.000 kebawah, tetapi ini masih kecil, dan urusan perniagaan atau perusahaan yang mempunya F.50.000.000, yang memiliki tambang, pabrik dan Bank seperti di Tiongkok, India atau Jepang, jadi kasta Hartawan bumiputera, memang di Indonesia tak ada. Sebabnya ialah karena dulunya Belanda dengan sengaja membunuh timbulnya modal anak negeri. Di Indonesia kasta-kasta itu terutama kasta-tani, kasta-buruh dan kasta tengah (ambtenar, saudagar, tani besar, kaum terpelajar d.s.g.) Di antara kasta-kasta ini, kasta inilah yang terbanyak dan kasta buruhlah yang terkuat dan makin hari makin kuat, karena kaum buruhlah yang geconcentreerd atau terkumpul dan ialah yang menjalankan industri, yakni nyawanya ekonomi, dan kasta buruhlah yang akan termaju pikiran dan wataknya dalam pergerakan ekonomi dan politik.

Dengan angka-angka saja belum bisa kita dengan sempurna memperbandingkan majunya buruh Indonesia dengan Eropa. Majunya itu terutama pula tergantung pada kualitas atau tingginya industri yang ada. Kita sudah terangkan di atas, bahwa Indonesia bukanlah industri-land melainkan terutama landbow-land, walaupun landbow atau pertanian di Indonesia dijalankan dengan perkakas yang model baru sekali.

Berhubung dengan itu, maka buruh Indonesia terutama bukanlah buruh industri malah buruh tani (gula, teh, getah dan sebagaianya). Yang buruh industri betul (minyak tanah, kereta, kapal) masih sedikit sekali. Perbedaan buruh pertanian Indonesia dengan buruh perusahaan di Eropa itu membawa perbedaan lahir batin pula. Proletar Indonesia masih muda, dan masih ada pertaliannya dengan familinya di desa-desa, dan acap kali masih mempunyai tanah di desa-desa. sedangkan proletar-industri Eropa sudah sampai ke nenek moyangnya terikat oleh pabriknya. Proletar kita masih mundur dalam pekerjaan teknik, masih percaya sama tahayul dan masih pasif. Proletar industri Barat sigap dan disiplin dalam pekerjaan, tak terikat oleh tahayul lagi, serta bersikap aktif dalam pikiran dan pekerjaan.

Begitulah pula kaum-tengah Eropa bersifat lain dari kaum tengah Indonesia. Di Indonesia sendiripun, berbeda pula satu kasta dengan kasta yang lain dan berbeda pula satu kasta pada satu pulau dengan kasta itu juga pada pulau lain di Indonesia. Seorang tani di Jawa umpamanya, yang selalu campur dengan pabrik gula, yang acap naik kereta tentulah berlainan sekali pikiran dan wataknya dengan seorang tani pemotong sagu di daerah Ternate, yang belum pernah seumur hidupnya melihat asap pabrik atau mendengar peluit kereta express. Ringkasnya perbedaan kemajuan industri pada satu negeri dengan negeri lain membawa perbedaan kualitas, yakni pikiran dan wataknya kasta-kasta di negeri negeri itu, seperti Buruh Eropa dengan Buruh Indonesia, Tani Jawa dengan Tani di daerah Ternate.

3. Krisis-Ekonomi

Walaupun Indonesia sangat kaya, dan pertanian serta perusahaan dijalankan dengan cara model baru sekali, tetapi bumiputera selalu dalam kemiskinan dan urusan uang (staatsfinancien) sudah lama selalu dalam krisis. Walaupun pada waktu perang yang baru lalu, modal-besar mendapat untung berlipat ganda dari waktu normal atau biasa, tetapi sebab harga barang naik dan gaji tinggal sedikit, maka kemelaratan Rakyat malah bertambah dari yang sudah-sudah. Pada penghabisan perang, urusan uang kalang kabut, sehingga hampir mendatangkan bangkrutnya negeri.

Sebab yang dalam, yang mendatangkan kesengsaraan dan krisis itu, walaupun kapital-besar mendapat untung berlipat ganda, terutama sekali, karena untung itu baik langsung atau tak-langsung semuanya mengalir ke Eropa. Langsung karena tiap-tiap tahun berjuta-juta uang dikirim ke Eropa, buat membauar bunga modal (dividenten) yang masuk di industri, kereta, pelikan dan kapal tak langsung, yakni dengan jalan perniagaan (export dan import), yang sama sekali dimiliki oleh bangsa asing juga.

Walaupun Pemerintah Indonesia sekarang (ambtenar, serdadu, Justisi, armada, polisi d.s.g.) gunanya bermata-mata buat membantu dan membesarkan modal asing serta sebaliknya penindas dart, pengisap bumiputera buat modal besar itu, tetapi uang buat pengisi perutnya Pemerintah itu, yakni pajak, tiadalah dibayar oleh Kaum-Modal Belanda sendiri, melainkan oleh bumiputera juga. Jadi Rakyat Indonesia tidak saja membiarkan harta, tenaga dan kemerdekaannya dirampok oleh Kaum Modal Belanda, tetapi mesti membayar gaji hambanya kaum modal itu, yaitu Gubernur-jendral, Resident, Regent, Wedono, Commissaris van Politie, Jendral, Major dan beribu-ribu hamba yang lain-lain.

Sebab Modal-Belanda tak mau membayar gaji hambanya itu dari kantongnya sendiri, dan buat penambah Modal-Besar di Indonesia, maka Pemerintah Belanda terpaksa meminjam uang ke lain negeri. Sampai tahun 1923, maka banyaknya uang pinjaman itu sampai F. 1476.662.000. Dengan bunga 5%, maka saban-saban tahun mesti dibayar bunga kepada negeri lain F.6.471.641. Bunga itu tentulah tiada dibayar dari gaji Guberner-Jendral atau untungnya Colijn, melainkan dengan pendapatan Rakyat juga. (Semua angka-angka ini kita petik dari Handbook of the Netherlands East-Indie, yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiri)

Uang masuk atau inkomsten, yakni terutama buat gaji hambanya pemerintah pada tahun 1921 ada F.769.700.000 tetapi uang keluar atau uitgaven, yakni yang dimakan oleh hamba-hamba tadi ada F.1.055.200.000. Jadi dapat kekurangan F.285.500.000. Kekurangan itu tinggal terus menerus, tiap-tiap tahun.

Buat pengobat krisis ini, maka Kaum-Modal Belanda memilih hambanya Guberner-Jendral  Fock.

Sebab Fock ini dulunya ia mengaku liberal, maka buat penutup malunya sebagai liberal ia mula-mula pura-pura mau menolong Rakyat Indonesia. Ia berjanji mau memaksa Modal-Gula memperbaiki nasib buruh dan tani gula dengan ongkos Modal Gula sendiri. Lagi pula ia mau memaksa Modal Besar menolong Rakyat membayar pajak yang besar itu, supaya kekurangan pajak tadi bisa tertutup dan rakyat dapat kelonggaran

Tetapi sesudah Modal Gula menyepak kembali, maka tuan Fock diam saja. Dan apabila Colijn, yakni Raja Minyak menjawab “Tutup mulutmu, kalau tidak kamu saja boikot, dan pabrik minyak kami tutup”, maka tuan Fock yang liberal tadi lebih suka memihak kepada gajinya yang beribu-ribu itu, dari pada memihak kepada Rakyat atau kepada paham liberalismenya. Malah ia lebih menjilat ke atas dan lebih menendang ke bawah.

Keatas: Gaji ambtenaren yang besar-besar di naikkan, laskar, armada dan polisi dibesarkan.

Kebawah: Pajak dinaikkan, buruh dilepas dan diturunkan gajinya, uang-keluar buat pendidikan, dan kesehatan Rakyat diturunkan.

Walaupun Fock sedikit menaikan cukai dari barang masuk dan ke luar tetapi saudagar Belanda yang mempunyai barang-barang itu dengan mudah bisa menaikkan harga barang-barangnya, yang mesti dibayar oleh Rakyat yang membelinya juga (minyak, kain, korek-api d.s.g.)

Rumah-Gadai, yang dipunyai oleh pemerintah sendiri menaikan untungnya pula dengan jalan menaikan isapan (Renten) pada Rakyat yang miskin juga. Sekarang ini menurut keterangan buku-buku, Rakyat Indonesialah yang tertinggi sekali membayar pajak di dunia ini.

Di negeri-negeri lain di Timur seperti India, Filipina dan Tiongkok, bumiputera sendiri ada mempunyai perusahaan, pertanian dan perniagaan besar, sehingga untungnya juga tinggal dalam negeri sendiri, dan sebagian dari untung itu dipakai buat membayar pajak negeri. Tetapi di Indonesia pikulan uang sama sekali tertimpa pada Rakyat-Melarat, yang makin tahun bertambah miskin, karena semuanya untung mengalir ke sakunya Lintah Darat yang tidur di Den Haag atau Zorgvliet.

Makin besar Pemerintah-Indonesia meminjam uang kepada bangsa lain seperti Amerika dan Inggris, makin berkuasa Modal Asing di Indonesia, makin habis tanah ditelan oleh Modal-Asing itu, makin besar uang yang mengalir ke negeri sebagai bunga dan dividen uang pinjaman itu, dan berhubung dengan itu makin dalam kemelaratan Rakyat dan makin hebat pula krisis ekonomi yang akan datang.

Selama semua untung dari modal-besar, baik langsung atau tak langsung sama sekali mengalir ke luar negeri, selamanya itu Krisis ekonomi Indonesia tak bisa diobat. Betul sekarang, Fock hampir bisa mengadakan balans-begrooting atau sama-berat uang masuk dan uang-keluar, tetapi balance itu semata-mata memperberat pikulan Rakyat, dan wujudnya langsung akan memperjauhkan yang memerintah dari yang terperintah dan memperdalam krisis-politik.

4. Krisis Politik

Di Filipina, India dan Mesir, oleh karena adanya Tani-Besar, Kapitalis besar dan Saudagar Besar dari bumiputera sendiri, maka dalam waktu krisis politik, kaum imperialist bisa memadamkan atau mengurangkan krisis politik itu, dengan jalan konsesi, yakni memberikan sebagian dari kekuasaan itu kepada bumiputera. Disana kaum modal asing mempunyai banyak sama keperluan ekonomi dengan modal bumiputera. Kalau pada suatu jajahan, dimana Imperialisme itu masih autokratik (yakni memungut semua kekuasaan) Rakyat bergerak menuntut kemerdekaan, seperti di India pada tahun 1918-1923, maka kaum imperialis memukul pergerakan itu dengan konsesi politik. Imperialisme Inggris memberi 1/2 atau 3/4 Parlemen, dimana Kaum-Modal bumiputera boleh mengirimkan wakilnya. Oleh karena kaum-tengah dan intelektual pada negeri yang ada mempunyai nasional-capital hampir semuanya memihak pada nasional kapitalis itu, maka mereka itulah yang terpilih menjadi anggota dari 1/2 atau 3/4 Parlemen tadi. Oleh karena keperluan Modal-Asing dan Modal Bumiputera banyak bersamaan, maka buat modal asing itu tak besar bahayanya, kalau sebagian dari politik negeri terserah pada wakilnya modal kulit hitam. Oleh karena kaum buruh dalam pertandingan buat keperluannya tak bisa membedakan Modal hitam dan Modal putih, maka Kaum Tengah dan intelektual, yang mempertahankan modal hitam itu terbawa-bawa mempertahankan modal putih seperti C. R. Das pemimpin Partai-Swaray di India. Dengan konsesi politik itulah di India Inggris menarik Kaum intelektual, yakni pemimpin pergerakan Rakyat ke dalam Parlemen dan dengan jalan kompromi itulah ia sering-sering mengundurkan revolusi.

Menurut pemandangan kita, atas dasar Marxisme, maka di Indonesia, sebab tidak ada nasional-kapital, Modal Belanda tak bisa memberi konsesi-politik yang berarti. Ia harus sendirinya memerintah atau dengan bumiputera yang memang terang budaknya.

Kaum cap Budi-Utomo (B.O.), Serikat-Islam (S.I.) dan Nasionale Indische Partij (N.I.P) yang dulu terpikat oleh suara merdunya Van Lim­burg Stirum, sekarang kita harap sudah yakin, bahwa mereka yang mau tinggal jadi Wakil Rakyat Indonesia tak bisa kerja bersama-sama dengan Wakil Modal Belanda di Volksraad, dan Volksraad tak bisa jadi 1/2 Parlemen, seperti di India atau 3/4 Parlemen seperti di Mesir dan Filipina. Volksraad mesti tinggal semata-mata buat Kapital-Asing, dan anti seluruh Rakyat. Tetapi oleh karena Nasionalis atau Islamis dinegeri kita tak sepeser mengerti Marxisme, yakni kea­ daan dan kedudukan kasta-kasta di Indonesia dan ber­hubung dengan itu politiknya kasta, maka mereka tentu masih bingung, tak mengerti apa-apa, apa sebab Dr. Tjipto, Tjokro dan Muis disepakkan, sesudah dipakai oleh Limburg Stirum pada waktu Krisis-politik tahun 1918. Kita kaum Komunis yang memboikot Volksraad pun belum pernah mengadakan pemandangan kekastaan yang jelas dan terang, kenapa Volksraad Indonesia tak bisa menjadi Parlemen, selama Keadaan Sosial d inegeri kita masih tetap seperti sekarang.

Pemandangan kita di negeri jajahan lain, seperti India di atas sudah sebagian memberi keterangan. Di Indonesia tak ada Kasta-Landlords (Tuan Tanah) atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan kekayaannya. Kasta saudagar-besar dan Modal-Besar sama sekali tak ada. Sebab itu kaum intelektual, yang di negeri kita baru mulai timbul belum mempunyai kasta bumi­putera tempat mereka berlindung. Sebab itu kaum intelektual kita masih pasif. Karena didikannya di sekolah imperialis, mereka tak mengerti, bahwa kasta mereka mesti mencampurkan diri ke kasta Buruh dan tani, karena kasta-kasta inilah di Indonesia yang bisa merebut kemerdekaan.

Oleh karena Kasta Modal Bumiputera di indonesia tak ada atau masih sangat kuno dan lemah serta kasta-intelektualnya pasif, maka kalau Modal Belanda mau memberi 1/2 atau 3/4 Parlemen, haruslah ia memberi hak-politik dan Suara Memilih Wakil kepada Buruh dan Tani. Kepada kasta-kasta kedua inilah ia harus memberi konsesi dan dengan Rakyat melaratlah ia harus membagi kekuasaan politik.

Ini namanya contradictio determinis, artinya itu membantah diri sendiri. Masakan yang menindas bisa memberi 1/2 atau 3/4 senjata kepada yang tertindas, seperti si Penyamun akan memberikan pistolnya kepada yang disamunnya. Dengan segera yang disamun akan membunuh yang menjamun.

Semua Hukum dan Kekuasaan yang ada di Indonesia sekarang, ialah buat membantu dan membesarkan Modal Asing dan sebaliknya buat menginjak Rakyat Indonesia. Kalau Rakyat yang sama sekali terinjak itu diberi hak politik, yakni senjata buat mengubah, atau menghapuskan Hukum-Negeri tentulah tak satu Hukum akan tinggal buat mempertahankan Modal Asing itu. Kalau di Indonesia ada kasta Modal Bumiputera yang kuat, Kasta-Terpelajar yang kuat pula, tentulah kasta-terpelajar ini bisa ditipu oleh Modal Asing dengan 1/2 atau 3/4 sampai 7/8 Parlemen. Dengan politik menipu kaum-terpelajar (kaum mana terutama di jajahan sangat dipercayai oleh Rakyat), kaum imperialist. Belanda akan bisa menipu Rakyat yang mengikut kaum-intelektual itu dan meundurkan revolusi. Tetapi di Indonesia sebagian besar dari Rakyat ialah Tani, Buruh dan Saudagar kecil-kecil yang sama sekali tak bersamaan keperluannya dengan Modal Asing, malah sama sekali bertentangan. Sebab itulah Belanda takkan bisa memberi konsesi-politik yang berarti kepada Rakyat kita.

Pertanyaan di negeri kita tidaklah revolusioner atau evolusioner, melainkan bagaimana kita harus mengadakan program-merah, taktik-merah, organisasi-merah, agitasi-merah dan aksi-merah, supaya Rakyat kita dengan lekas dan dengan sedikit kerugian jiwa bisa lekas lepas dari tindasan dan isapan Modal Belanda.

Sikap Merah kita ini menjadikan cemas dan ketakutannya Kaum Modal Belanda, dan kecemasan serta ketakutannya itu membesarkan, laskar, armada, polisi dan resisir pula. Hal yang terakhir ini seterusnya menaikan pajak pula dan kenaikan pajak mendalamkan dendam kesumat Rakyat Indonesia pada pemerintah asing ini pula. Demikianlah satu bersangkutan dengan yang lain dan hasilnya memperdalamkan krisis ekonomi dan politik juga. Ringkasnya sikap merah kita tidak saja berguna, buat mendidik Rakyat Indonesia dalam politik, tetapi juga memperdalam pertentangan antara si Penghisap dan yang Terisap, sebab itulah mencepatkan datangnya kemerdekaan.

 

III. PROGRAM.

Diatas kita sudah mencoba menerangkan, bahwa krisis atau pertentangan ekonomi & politik di Indonesia sangat tajam. Pertentangan itu, lebih-lebih, kalau kelak dicampuri oleh hal-hal lain, seperti bahaya kelaparan atau penyakit, pada tiap-tiap waktu bisa melahirkan revolusi.

Keyakinan ini tiadalah kita peroleh dari satu dalil atau nujum. Juga tidak, dari ilmu kebangsaan cap N.I.P yakni karena yang memerintah berkulit putih dan yang terperintah berkulit hitam, yang memerintah berwatak Barat dan yang terperintah berwatak Timur. Warna, watak atau Agama itu tak perlu mendatangkan revolusi. Kalau umpamanya di Indonesia ada kasta­ hartawan bumiputera yang kuat, walaupun kasta ini beragama berkulit putih dan berwatak Timur, tetapi dengan konsesi 1/2 sampai 7/8 Parlemen, revolusi itu tiap-tiap kali bisa dihindarkan. Betul warna, agama dan watak itu bisa menambah tajamnya pertentangan yang sudah ada, tetapi tiada bisa menjadi hoofd-factor atau hal yang terpenting dalam sesuatu pemberontakan. Yang bisa mendatangkan revolusi di Indonesia kita ini sewaktu-waktu ialah karena pada krisis ekonomi dan politik, yang dipertajam oleh perbedaan watak, warna dan agama, tak ada kasta-hartawan bumiputera, yang bisa memperdamaikan yang memerintah dengan yang terperintah.

Sebab kita tahu, bahwa kemodalan Belanda besok atau lusa mesti jatuh, maka haruslah kita dari sekarang mengadakan peraturan ekonomi & politik, ialah program yang cocok dengan kastanya partai kita, yakni partai Rakyat melarat, yang tergambar pada P.K.I dan S.R.

Betul sesuatu program revolusioner, yakni kehendak sesuatu golongan atau kasta, tak berarti, kalau tak ada pergerakan revolusioner dari kasta itu sendiri. Tapi betul pula, bahwa sesuatu pergerakan revolusioner yang tidak mempunyai basis teori, atau lantai yang berdiri atas teori akan mati sendirinya saja. Lihatlah Budi Utomo, S.I dan N.I.P. Ketiganya, dulu, mula-mulanya revolusioner. Tetapi tidak satu yang bisa menggambarkan maksudnya dengan terang. Betul juga sebab jatuhnya ketiga partai itu karena tak mempunyai disiplin, tetapi sebab yang terutama sekali ialah mereka tak bisa membuat program yang kukuh

Juga partai kita, walaupun di sana sini lebih terang melahirkan kehendaknya dari partai yang lain 2 di Indonesia, belum pernah memformulasi atau menetapkan program dengan secukupnya. Apabila kita mau tinggal memegang pimpinan revolusioner atas Rakyat melarat di Indonesia, maka haruslah sekarang kita memaklumatkan kehendak kita, dalam perkara ekonomi, politik, sosial d.s.g.

Adapun program itu tiadalah bisa kita gali dari dalil yang keluar lebih dari 1300 tahun dahulu, seperti pahamnya Haji Agus Salim, karena peraturan negeri pada zaman yang belum mempunyai pabrik, Bank dan kereta api itu berbeda sekali dengan keadaan negeri kita sekarang. Tiadalah pula bisa program itu kita timbulkan dari sentimen atau perasaan kebangsaan saja Kaum N.I.P. Akhirnya tiada pula bisa disalin dari programnya sesuatu partai komunis di Eropa atau Amerika dimana keadaan ekonomi, politik dan sosial berbeda sekali dengan keadaan di Indonesia. Melainkan kita harus memakai geest atau semangatnya Marxisme, buat mendirikan program yang cocok dengan keadaan di negeri kita. Jadi cuma metode atau cara mendirikan program itu saja bisa Marxis atau Komunis tetapi material atau perkakas mendirikan itu ialah Indonesia.

Berpadanan dengan itu, maka watak program kita haruslah:

a)    Cocok dengan kekuatan kita. Tuntutan kita tak boleh terlampau jauh, supaya kita jangan lekas dilabrak oleh musuh, baik diluar atau didalam negeri, Sebaliknya pula kita tak boleh mengadakan peraturan ekonomi & politik yang mundur, dimana Rakyat akan tinggal terhisap dan tertindas. Berapa jauhnya tuntutan kita itu, sebagai partai internasional, kita juga mesti memikirkan keadaan internasional. Artinya itu, revolusi dunia, boleh jadi tiada lama lagi akan pecah. Tetapi boleh jadi juga lebih lama dari kita kehendaki sendiri, Kalau revolusi-dunia besok pecah, tentu kita besok pula bisa dapat pertolongan lahir dan batin (perkakas mesin, kepandaian buat industri d.s.g) dari buruh Eropa dan Amerika. Kita dalam hal ini tak akan celaka, kalau segera mendirikan Diktator-Proletar yang sempurna, yang sepadan dengan keadaan Kapitalisme Indonesia. Tetapi kalau revolusi dunia lama lagi akan pecah, dan kita besok mendirikan Soviet-Republik, maka kita yang terletak di antara imperialisme Inggris, Amerika dan Prancis ini dan terpisah sekali dari kaum Buruh revolusioner di Rusia, Eropa dan Amerika, dengan lebih lekas dan lebih kuat dari pada Rusia akan dikepung dan dilabrak oleh imperialisme itu. Sedangkan Republik biasa saja (demokratis) sudah akan bisa menggojangkan seluruh Asia, apalagi kalau nama Republik itu dimerahkan pula. Tidak bisa dibantah lagi bahwa, walaupun Indonesia terutama landbouw-land, tetapi hidup kita sudah sama dengan industrieel land seperti Eropa. Ekonomi sudah hampir sama sekali bersifat internasional, karena hasil industri dan landbouw kita seperti gula, minyak-tanah, karet, kopi, kina, dll sama sekali tergantung dari perniagaan di luar negeri kita dan pasar-pasar di luar Indonesia. Sebaliknya pula semua keperluan hidup Rakyat Indonesia seperti kain, perkakas dan beras sama sekali datang dari negeri lain. Kalau Inggris atau Amerika besok tak mau mangaku kemerdekaan kita, artinya itu tak mau berniaga dengan kita, maka sehari kita tak bisa mengurus ekonomi. Berhubung dengan itu sebentar kita akan jatuh. Jadi jauhnya program kita haruslah sepadan dengan kekuatan kita yang ada dan cakap menentang musuh lari atau tersembunyi, baik didalam ataupun diluar negeri. Program itu haruslah satu lantai yang kukuh buat berjalan sendiri (kalau revolusi dunia belum datang) atau buat berjalan bersama-sama dengan dunia (kalau revolusi dunia sama datang dengan kemerdekaan Indonesia).

b)    Bisa menaikkan derajatnya Rakyat Indonesia. Kaum-Buruh Indonesia haruslah memiliki perkakas hasil yang besar-besar, seperti pabrik, ondernemingen (bahasa Belanda untuk ventures atau perusahaan – catatan editor), tambang, Kereta, Kapal dan Banken. Mereka haruslah betul-betul berkuasa dalam hal menentukan, membuat dan membagikan (produksi & distribusi) hasil negeri. Mereka haruslah berkuasa betul dalam hal politik negeri. Perhubungan antara tuan dan budak, seperti yang masih ada di Eropa (kecuali Rusia) Amerika dan Jepang, yakni negeri-negeri yang kapitalistis pelan, haruslah dihapuskan. Untung yang berjuta‑juta yang sekarang tiap-tiap tahun mengalir kesaku Lintah Darat Belanda, di Den Haag, haruslah tinggal di Indonesia sendiri. Uang, ini boleh dipakai buat Didikan dan Kesehatan Rakyat, buat membantu Kaum Tani dan saudagar kecil dan Tukang-Tukang dengan jalan Koperasi dan terutama buat mendirikan industri model baru di Indonesia, seperti industri pembuat kapal, kereta, mesin-mesin dan perkakas lain-lain, pabrik kain, kertas dan membangun electrische-centrale (bahasa Belanda untuk pembangkit tenaga listrik – catatan editor) dari sungai-sungai dan danau-danau di Indonesia. Dengan perbutan demikian, maka niscayalah lama lambat seluruh Rakyat Indonesia, Buruh , Tani, Tukang dan pelajar akan maju derajatnya dalam hal ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan atau peradaban.

c)     Bisa menarik Indonesia ke zaman industrialisme model baru. Bahwa perusahaan besar-besar, kepunyaan modal asing perlu dan bisa dimiliki kaum-Buruh, itu sudahlah terang. Perlu, karena dengan jalan begitu, hasil boleh diatur dengan rasional, yakni menurut keperluan Rakyat, bukan lagi buat di Lintah Darat di Eropa. Bisa, karena perusahaan besar-besar itu semuanya kepunyaan Modal-Asing, yang memperoleh harta itu dari Rakyat Indonesia juga dan tiadalah ada Kaum-Hartawan bumiputera yang cukup kuat buat melawan politik nasionalisasi Kaum-Buruh. Dengan pertolongan uang pada tukang, saudagar-kecil dan tani di Indonesia, dan dengan memberi pertolongan kepada mereka mendirikan Koperasi Negara, Pemerintah Baru di Indonesia bisa membesarkan dan mengumpulkan perusahaan kecil-kecil yang terpancir-pancir dan bisa membawa semua perusahaan kecil-kecil itu ke bawah pimpinannya. Semua perusahaan kecil, lama lambat akan hilang, sebab terbawa di bawah pengaruh Pemerintah-Baru (Republik-Indonesia), atau kalah bersaing dengan perusahaan Republik yang besar-besar. Kalau daya upaja yang tersebut diatas ditambah lagi dengan daya upaja mendirikan perusahaan yang model baru, maka dengan segera Indonesia, yang begitu mundur sekarang industrinya, sesudah beberapa lama akan menjadi negeri industri model baru di dunia penduduknya akan bertambah maju dalam segala hal dan politiknya juga akan memeluk seluruh alam atau menjadi internasional.

d)    Bisa Mengadakan kerukunan seluruh Rakyat melarat. Kerukunan itu perlu tidak saja buat merebut kemerdekaan dari imperialisme Belanda, tetapi juga buat mempertahankan kemerdekaan itu keluar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang). Walaupun Kaum-Buruh kita terkuat dari kasta-kasta lain di Indonesia, tetapi ia sendirinya saja tentu sukar merebut kemerdekaan buat seluruh Indonesia, seperti juga buat Sumatra, Borneo, Celebes d.s.g, dimana industri dan kaum buruh baru mulai datang. Di Jawa sendiripun buruh industri yang betul-betul masih sedikit. Ringkasnya, walaupun buruh bisa termuka dan bisa memberi pimpinan pada seluruh Rakyat melarat dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi ia mesti mendapat pertolongan dari, tani, saudagar, student, serdadu dan tukang. Haruslah seluruh Rakyat tertindas di Indonesia terikat dalam satu “tentara‑kemerdekaan”. Tetapi ikatan itu harus berdasar ekonomi. Tani, atau tukang, tak bisa lama diikat dengan paham kebangsaan cap N.I.P. atau B.0. atau dengan agama cap S.I. saja. Ikatan semacam itu tidak bisa kukuh, karena tak mengandung kekuatan lahir melainkan perasaan saja. Ikatan itu cuma bisa kekal, kalau berdasar ekonomi jani, kalau tani, tukang dan saudagar dalam persahabatan dengan buruh itu betul‑betul mendapat keuntungan lahir dan batin (ekonomi, politik dan sosial). N.I.P. dan B.0. takkan bisa memperbaiki nasib kaum melarat, sebab kalau Indonesia di bawah pimpinan mereka menjadi merdeka, maka perusahaan besar-besar akan jatuh di bawah Angenent, Veynschenk, Raden Mas ini, atau Raden itu. Pun S.I tak akan bisa juga karena sesudah negeri merdeka urusan ekonomi sama sekali akan jatuh di bawah Kyai, Haji atau Syeikh, seperti di Mesir Arab, Turki atau India. Tetapi kalau P.K.I. dan S.R. yang merebut kekuasaan, ia bisa menaikan derajat si Kecil karena lebih dulu mereka menghapuskan hak-Milik pada perusahaan besar-besar dan menghapuskan kasta Hartawan. Sebab kasta-buruh di Indonesia bukan Kasta-Penghisap, maka ia kelak bisa mengadakan perserikatan yang kukuh dengan segala golongan yang terhisap dan tertindas oleh imperialisme sekarang.

e)    Bisa membangunkan semangat revolusioner seluruh Rakyat Indonesia, dengan kekal. Betul perasaan kebangsaan dan Agama bisa menbangunkan kebencian kepada Penindas dan mendatangkan kerukunan pada Rakyat, tetapi kebencian dan kerukunan semacam, sangat negatif dan sementara. Sebentar menjadi dingin, seperti pepatah Minangkabau: Panas-panas tahi ayam. Tetapi satu Program yang mempunyai lantai teori yang kokoh dan mudah dimengertikan pada Rakyat, bisa mendatangkan keyakinan yang tetap, karena keyakinan semacam ini berhubung betul dengan hidup dan pikirannya hari-hari, dan bisa memberi jawab pada soal-soal ekonomi, politik dan sosial. Dari keyakinan semacam itulah saja bisa timbul kemauan yang keras buat mempraktikkan cita-cita yang terpeluk oleh Program itu. Sebab itu Program yang kukuh itulah saja yang bisa membangunkan dan menetapkan semangat revolusioner dari seluruh Rakyat Indonesia sampai maksudnya sampai.

 

 

 

 

 

 

III. PROGRAM

1. Program Nasional P.K.I & S.R.

A. Ekonomis

1. Nasionalisasi atau memindahkan Pabrik dan Tambang (seperti pabrik gula, kina, kelapa, semen dan tambang arang, emas, timah d.s.g.) ke tangan Pemerintah Rakyat Indonesia.

2.    Nasionalisasi Tanah dan Kebon, seperti Gula, Getah, Tebu, Kopi, Kina, Kelapa, Indigo d.s.g.

3.    Nasionalisasi Transportasi dan Komunikasi (Kereta, Kapal, Telegraf dan Telepon).

4.    Nasionalisasi Bank, Perusahaan dan lain-lain Anggota-Perniagaan.

5.    Electrificatie perusahaan, dan mendirikan industri model baru dengan pertolongan Negara, seperti buat pakaian, kereta, kapal, mesin d.s.g.

6.    Mendirikan Koperasi-Rakyat dengan pertolongan Negara. Memberi perkakas dan pertolongan pada Kaum Tani, buat memperbaiki pertanian.

7.    Emigrasi atau memindahkan sebagian penduduk Jawa dengan ongkos Negara, ke pulau-pulau di luar Pulau jawa.

8.    Membagikan Tanah-Tanah kosong pada proletar-tani, dan memberi pertolongan pada Tani itu buat mengerjakannya.

9.    Menghapuskan sisanya feodalisme (Yogya, Solo d.s. g) dan Tanah Partikuler, serta membagikan tanah-tanah ini pada Tani-Tani Miskin dan Proletar Tani.

B. Politik.

1. Kemerdekaan Indonesia yang sempurna (absolut) pada saat ini juga.

2. Mendirikan Federasi-Republik dari kepulauan Indonesia.

3. Memanggil Rakyat-Rakyat Indonesia yang mewakili seluruh Golongan dan Rakyat Indonesia pada saat ini juga.

4. Memberi hak-Memilih yang sempurna pada Rakyat Indonesia (lelaki & perempuan) pada waktu ini juga.  

C. Sosial.  

1. Gaji minimum.

2. Kerja 7 jam dan memperbaiki nasib kerja dan hidupnya Kaum Buruh.

3. Perlindungan Kerja (Arbeidsbescherming) Kaum Buruh dengan mengakui hak buat mogok.

4. Mendapat sebagian Untung dari Perusahaan yang besar-besar.

5. Mendirikan Rapat-Buruh (Arbeidersiaden) pada perusahaan besar-besar.

6. Menceraikan Negara dengan Agama, dengan mengakui Kemerdekaan Agama seluas-luasnya.

7. Memberi hak-hak ekonomi, politik dan Sosial pada semua penduduk Indonesia lelaki dan perempuan.

8. Nasionalisasi Gedung besar-besar, mendirikan rumah-rumah baru, dan membagikan tempat tinggal buat Buruh-Negara.

9. Membunuh penyakit menular dengan sekuat-kuatnya.  

D. Didikan.

1. Didikan dengan diwajibkan dan ongkosnya Negara buat semua penduduk Indonesia sampai berumur 17 tahun, didikan mana memakai bahasa Melayu sebagai bahasa utama dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terpenting.

2. Menghapuskan  peraturan dan asas Didikan sekarang dan mendirikan peraturan dan asas baru, yang praktis, yang langsung berhubung dengan industri yang ada dan yang akan didirikan.

3. Memperbanyak dan memperbaiki sekolah Pertanian Pertukangan dan Perniagaan dan menambah serta memperbaiki sekolah tinggi buat Personel Teknik dan Administrasi yang tinggi.  

E. Militer  

1. Menghapuskan Laskar yang imperialistis sekarang dan mendirikan Laskar Rakyat buat mempertahankan Republik Indonesia.

2. Menghapuskan hidup di tangsi dan peraturan yang menghina Kaum-Serdadu, memberi izin tinggal di kampung dan di rumah yang dibikin buat mereka, penganggapan yang lebih baik dan menambah gaji Kaum Serdadu Rendah,

3. Memberi hak leluasa buat Organisasi dan Pertemuan kepada Kaum Serdadu.  

F. Polisi dan Justisi.  

1. Memisahkan Pemerintah dari Polisi dan Justisi.

2. Memberi hak-sempurna kepada tiap-tiap Pesakitan, buat mempertahankan diri di muka Hakim, dan melepaskan seorang tertuduh dalam 24 jam, apabila keterangan dan saksi kurang cukup.

3. Semua Perkara, yang wettig (mempunyai cukup dasar hukum) mesti diperiksa dalam 5 hari pada tempat yang umum, teratur dan patut.  

G. Aksi-Program.  

1. Menuntut 7 jam kerja.

2. Minimum Gaji dan perbaikan Kerja dan Hidupnya Kaum Buruh.

3. Mengakui Federasi Serikat Buruh dan hak Mogok.

4. Mengatur Tani buat hak-ekonomi dan politik.

5. Menghapuskan Punale Sanctie (pidana terutama atas penolakan untuk melakukan pekerjaan dan melarikan diri – catatan editor).

6. Menghapuskan hukum-hukum dan peraturan-peraturan buat menghambat pergerakan politik, seperti Exorbitante-Stakings-Pers (sensor media – catatan editor) dan Onderwyswetten dan mengaku hak leluasa buat bergerak.

7. Menuntut hak membikin demonstrasi. Massa demonstrasi (ramai-ramai) di seluruh Indonesia buat melawan Tindasan Bergerak dan Pajak dan buat melepaskan semua pemimpin Rakyat yang dibui dan mengembalikan semua pemimpin Rakyat yang dibuang, massa aksi mana harus dikuatkan oleh Mogok-Umum dan Massa-ongehoorzaamheid (tak menurut perintah pemerintah).

8. Menuntut menghapuskan Volksraad (dewan penasehat untuk Netherlands East Indie yang dibentuk oleh Belanda – catatan editor), Raad van Indie (Council of Indies atau Dewan Hindia yang dibentuk untuk mengawasi Gubernur-Jendral VOC – catatan editor) dan Algemeene Secretarie (Seketratis Jendral – catatan editor) dan memanggil Rapat Rakyat (Nasional Assembly) dari mana nanti akan dipilih Anggota Menjalankan Hukum (Komite Eksekutif), yang bertanggungan kepada Rapat Rakyat.

2. Keterangan Program.

Program diatas, ialah buat seluruh Rakyat Indonesia, yaitu Kasta-Proletar dan Non-Proletar atau yang tidak Proletar, seperti Kasta Tukang, Saudagar Kecil, Tani, pelajar d.s.g yang semuanya menghendaki Kemerdekaan sebagai Bangsa dan melawan Imperialisme Belanda. Sebab di Indonesia tidak sampai 1% penduduk yang membenci pada Indonesia Merdeka dan cinta pada Pemerintah Belanda, maka Program Nasional ini tidak salah namanya, karena betul memeluk hampir semua penduduk Indonesia.

Oleh karena di Indonesia Kasta Buruhlah yang terkumpul atau geconcentreerd (terkonsentrasi), maka ia lah pula yang bisa memberi pimpinan pada kasta-kasta yang lain-lain yang cerai berai itu. Pada Program ini kita melihat, bahwa Buruhlah yang termuka dalam hal tuntutan. Terutama tuntutan ekonomi (A), Sosial (C), dan Aksi (G), sebagian besar semata-mata buat keperluan Kaum Proletar. Tetapi dalam tuntutan Politik (B), Didikan (D), Pengadilan (F), keperluan Buruh banyak bersamaan dengan non-Proletar, sebab itu bisa dicampurkan. Umpamanya semua tuntutan politik (B. dari 1-4) sama sekali boleh dipakai buat non-proletar. Tuntutan ekonomi seperti A. 5, 6, 7 dan 8 bolehlah dikatakan terutama buat non Proletar. Sedangkan tuntutan F dari 1-3 semata-mata buat kasta yang tidak boleh kita lupakan dan lengahkan ialah Kaum-Serdadu.

Walaupun pada Program Nasional, yakni buat seluruh Native atau penduduk Indonesia, semua tuntutan kita jadikan satu, tetapi dalam propaganda dan agitasi tentulah, tuntutan yang terutama buat Kaum Buruh tidak boleh kita pakai buat kaum Tani. Umpamanya tututan nasionalisasi pabrik tentulah buat kaum Tani tidak sepenting perkara pertanian dan koperasi. Jadi dalam agitasi dan propaganda kita mesti pilih tuntutan yang konkrit atau yang nyata dan dirasa buat masing-masing kasta. Kadang-kadang kita pentingkan betul tuntutan ekonomi seperti pada kasta Buruh dan Tani, kadang-kadang kita pentingkan politik seperti pada penduduk kota dan Kaum Pelajar, kadang­ kadang perlu kita terangkan sikap kita terhadap kepada agama, seperti di Solo, Yogya, Aceh, Banjarmasin.

Semua tuntutan yang diatas tentulah yang umumnya saja. Berpuluh-puluh tuntutan kecil-kecil buat Buruh, Tani dan Pelajar atau Tukang, di Jawa atau Sumatera d.s.g pada kitab ini tak bisa kita tuliskan. Program Nasional haruslah pendek dan memeluk dasar dari tuntutan yang terutama saja. Tetapi plaatselyke Organisaties dan plaatselyk Beleid atau kecakapan pada masing-masing tempat tak boleh melupakan tuntutan yang plaatselyk dan penting buat satu kasta atau golongan. Umpamanya buat Kaum Militer boleh lagi ditambah beberapa tuntutan. Begitu juga buat Buruh Gula, buat Pelabuhan, buat Tani di d jawa, Sumatera dan Borneo, buat saudagar kecil di mana-mana negeri, buat pemancing ikan di Madura, Ternate d.s.g, pimpinan pada masing-masing tempat mesti mengadakan tuntutan, sehingga seluruh penduduk Indonesia mempunyai Program buat mengubah nasib masing-masing kasta atau golongan.

Semua tuntutan itu haruslah konkrit atau dirasa, pendek dan terang. Dari tuntutan bersifat semacam inilah bisa datang keyakinan dan bisa lahir aksi revolusioner.

 

 

IV. ORGANISASI.

Adapun perkara organisasi pada suatu jajahan, seperti Indonesia adalah suatu perkara yang sangat sukar dan penting sekali. Dari pada kuatnya organisasi kita itulah bergantungnya, bisa atau tidakkah kita kelak memecahkan organisasi musuh yang sangat teratur tiu. Berhubung dengan Organisasi kitalah kelak bergantungnya, bisa apa tidakkah kita merebut Kemerdekaan, baikpun sebagai Bangsa ataupun sebagai Kasta.

Tiadalah bisa kita putuskan semua persoalan Organisasi itu dengan perkara Agama, sehingga barang siapa sudah “dikekahkan” dan pandai menyebut “syahadat” bolehlah diikat di dalam satu perkumpulan. Tiada perduli apa yang satu Saudagar Besar dan yang lain buruh atau tani melarat. Atau dengan persoalan Kebangsaan, sehingga barangsiapa mempunyai kulit hitam atau setengah hitam bisa masuk ke dalam satu Partai politik. Tak perduli apa yang satu Tuan Tanah dan yang lain tak berpunya apa-apa.

Kita harus menyusun serdadu buat merebut kemerdekaan itu menutut keperluan masing-masing, yang sama keperluan hidup dalam satu organisasi pula, karena buat memperbaiki keperluan hidup itulah manusia dari tiap-tiap Sejarah dan tiap-tiap bangsa bergerak dan mengorbankan nyawanya. Oleh karena si Kapitalis bertentangan keperluannya dengan si Buruh, baikpun mereka “Indier” cap N.I.P. ataupun kaum-Islam cap S.I, seperti macan bertentangan keperluannya dengan sapi, oleh karena itulah mereka dari dua Kasta itu tak boleh disusun dalam satu barisan. Kalau mereka sementara bisa bekerja bersama-sama buat menendang musuh, seperti di Indonesia, haruslah mereka disusun dalam berlain-lain barisan. Oleh karena kita Marxis percaya, bahwa semua pertandingan di dunia terbawa oleh tindasan dan kemelaratan, maka sebab itulah kita terutama bersandar atas Kaum Tertindas dan Melarat.

Walaupun kita internasionalistis, tiadalah bisa kita mengambil saja Organisasi Buruh di Eropa atau Amerika dan tanpa kritik, menanam Organisasi itu di negeri kita. Organisasi-pindahan semacam itu akan mati sendirinya saja, seperti gandum Eropa, kalau dipindahkan ke Indonesia niscaya akan mati juga. Kita harus dengan semangat Marxisme, memeriksa keadaan ekonomi, sosial dan kebudayaan di negeri kita, memeriksa banyak, kuat dan kualitasnya kasta-kasta yang ada di Indonesia dan menyusun tiap-tiap Kasta yang terhimpit pada masing-masing Barisan dan menyusun semuanya Barisan dari semuanya Kasta itu pada Tentara Nasional, buat memecahkan musuh dari dalam ataupun luar negeri.

1. Maksud dan Sifat-sifat Organisasi

Maksudnya Partai Revolusioner di Indonesia ialah buat menendang Musuh dan mempraktikkan atau melakukan Programnya. Jadi Cara dan Sifatnya bekerja haruslah sepadan dengan Maksudnya itu, dan sepadan pula dengan Tempat dan Keadaannya bekerja. Artinya yang terus ialah sepadan dengan tingkat dan tajamnya perkelahian dan sepadan dengan pulau, kota atau desa tempat kita mengadakan aksi. Berhubung dengan itu, maka aksi kita pada waktu reaksi belum kurang ajar dan Rakyat masih lembek berlainan den­ gan aksi kita, kalau reaksi kurang ajar dan Rakyat bangun dan tetap hati. Dan lagi aksi yakni cara dan sifatnya kerja kita itu di Jawa lain dari di Sumatera atau Ternate, di Surabaya lain dari di Cicalengka atau Magelang, dimana industri masih lemah.

Makin plastis atau liat seperti rotan Cara dan Sifat kerja kita itu, makin besar pengaruh Partai kita di seluruh Indonesia dan makin dekat Maksud kita. Supaya kita bisa memimpin seluruh Rakyat Indonesia yang tertindas itu, haruslah kita lebih dahulu bisa memimpin Partai kita sendiri yang sebagai Avant-Garde atau Pasukan Muka dari Rakyat yang Revolusioner  itu.

Sebab itulah maksudnya Organisasi kita, terutama buat mengatur pimpinan yang sempurna, yakni menyusun dan mendidik kekuatan yang bisa memberi pimpinan kepada seluruh Rakyat.

Pimpinan itu baru bisa sempurna, kalau perhubungan atau kontak dengan Rakyat sempurna pula. Tanpa kontak satu Partai tak bisa memberi pimpinan, karena ia terlampau maju di muka atau terlampau tinggal di belakang Rakyat.

Supaya hubungan dengan Rakyat Melarat rapi sekali, maka Organisasi kita memeluk dasar Demokratis Sentralisme. Artinya ini Sentralisasi Pekerjaan yang dilakukan dengan semangat demokratis atau sama rata. Jadi semua anggota Revolusioner dan semua anggota Revolusioner, seperti P.K.I, S.R, Serikat Buruh, JOI, d.s.g, masing-masingnya harus bekerja menurut kekuatan masing-masing, pekerjaan mana mesti teratur dan terkumpul. Bedanya Partai kita dengan Partai Sosial Demokrat, yakni beda bekerja. Pada Partai Sosial Demokrat yang bekerja itu cuma pemimpinnya, tetapi anggotanya pasif saja. Sebab itulah Partai Sosial Demokrat sangat birokratis. Semua anggota menurut saja apa perintah pemimpinnya, sama betul dengan demokratisnya Parlamentarisme Kaum Hartawan, yang juga terbagi atas Menteri yang aktif dan mengerjakan sekalian pekerjaan dan anggota Parlemen, yang kerjanya mengomong saja. Pada Partai Komunis semuanya anggota harus bekerja, kecil atau besar (propaganda, kursus, membagi surat kabar, buku, mengerjakan administrasi d.s.g menurut kecakapan masing-masing), sehingga demokrasi atau sama rata kita artinya “sama rata bekerja.” Sifat Demokratis Sentralisme itulah yang bisa menghilangkan birokratisme, dan ialah yang mendidik pimpinan sampai kuat dan plastis.

Disiplin itu, ialah nyawanya suatu pergerakan revolusioner. Dalam pergerakan S.I sudahlah cukup kalau seorang bersumpah “demi Allah demi Qur’an,” buat menjadi anggota. Dalam pergerakan N.I.P sudahlah cukup kalau orang yang mau jadi anggota itu mengaku azas N.I.P. Sesudahnya ia bersumpah, atau sesudah ia mengaku dasar itu ia boleh tidur nyenyak, dengan tiada dapat gangguan apa-apa dari partainya. Tetapi buat pergerakan kita “mengaku Program” itu belum lagi setengah kewajiban seorang anggota.

Partai komunis tiadalah menghendaki “pendeta Komunis” yang hapal programnya dari muka sampai ke belakang dan dari belakang sampai ke muka. Partai kita mau aksi atau perbuatan, aksi yang tetap dan benar yang berpadanan dengan azas dan maksud kita. Kalau pada waktu sebelum revolusi seorang anggota tiada mengeluarkan aksi apa-apa, maka tiadalah bisa kita harapkan yang dia pada waktu yang penting tiba tiba saja akan mendapat semangat yang aktif, seolah-olah mendustakan dirinya sendiri pada waktu biasa. Ringkasnya Partai kita menuntut aksi yang tetap dan benar, besar atau kecil dari tiap-tiap anggota. Kalau seorang anggota tiada mencukupi perintah Partai, mengerjakan pekerjaan yang dikira berpadanan dengan kekuatan anggota itu, maka lebih baik ia keluar saja dari pada tinggal dalam Partai dan memberi contoh yang buruk pada kawan‑ kawannya yang lain. Tetapi disiplin kerja atau arbeid­disipline semacam itu, tentulah pula tidak dalam satu hari saja bisa kita jatuhkan. Kita periksa dulu keadaan satu Seksi atau Lokal dan perkara menjatuhkan “disiplin kerja” itu harus ditimbang betul-betul dengan pemimpin-peminpin yang sudah lama kerja. Tetapi disiplin itu haruslah segera dijatuhkan pada seorang anggota yang mengkhianati partai, juga pada seorang anggota yang tiada mempertahankan.

Serdadu revolusioner itu ialah serdadu yang mengerti dan mufakat dengan Program partainya, yang selalu bekerja sepadan dengan kekuatannya dan selalu menjaga kesentosaan partainya terhadap kepada musuh di dalam atau di luar partainya.

Agitasi. Seperti seorang Penambang menceraikan emas itu dari tanah dan lumpur, maka kita mengeluarkan aksi Kaum Tertindas itu dari peri kehidupan mereka itu juga. Perkakas kita buat mengeluarkan aksi itu ialah Agitasi. Dari dalam, betul dan kuatnya Agitasi itulah bergantung datangnya Aksi.

Membuat Agitasi itu tiadalah dengan “Assalamualaikum atau dalil-dalil” cap Haji Agust de Groote …… dengan tiada menyelesaikan persoalan hidup si Kromo hari-hari, atau kalau menyelesaikan ia tiada berani menarik si Kromo kepada aksi. Juga tiada seperti N.I.P yang agitasinya tiada pula lebih jauh welsprekendheid (lancar) atau mahirnya bicara tentang darah Indier dan wataknya Indier. Kita Kaum Komunis tak pula boleh berlaku seperti Kaum Syndicalist, yang menyangka, bahwa kalau kita campur menuntut hak Kecil-kecil ada berlaku kompromistis, dan cuma berharap, seperti kaum Utopis, bahwa Aksi Rakyat itu kelak datangnya akan sama sekali tiba-tiba saja. Tidak pula seperti si Pengkhianat Kaum Sosial Demokrat yang campur menyelesaikan persoalan si Kecil itu ialah buat menarik mereka, supaya ia memilih Kaum Sosial Demokrat jadi anggota Parlamen, atau supaya Kaum Buruh masuk jadi anggota Partai Sosial Demokrat. Kita Kaum Komunis menyelesaikan persoalan si Kromo, supaya mendapat kepercayaan dari mereka, bahwa kita betul-betul mau menolong mereka. Begitulah kita mendapat kontak dengan mereka dan bisa menarik mereka kepada aksi yang teratur.

Agitasi itu haruslah konkrit atau nyata sekali. Haruslah ia bersandar atas hisapan dan, tindasan si Kecil hari-hari. Di antara Buruh, tentulah perkara gaji, lama kerja dan penganggapan-lah perkara yang ter penting. Tiadalah perkara ini boleh kita singkirkan, melainkan kita dengan segala kepintaran memberi jawab, yang bisa memberi kepercayaan dan menimbulkan aksi kaum Buruh. Pada penduduk kota-kota, dimana non-proletariers yang terbanyak itu, selalu diojak-ojak oleh Tuan Tanah, Pemungut Pajak, Tuan Rumah, d.s.g. perkara pajak dan perkara sewa rumah itulah perkara yang penting buat peri hidupnya Rakyat. Begitulah pula pada desa-desa, baik di Jawa, Sumatera atau Celebes perkara tanah dan pajak itulah sangat dirasa oleh penduduk negeri. Dalam hal ini tiadalah boleh kita memangku tangan dan seperti seorang Pendeta menunjuk ke kitabnya, serta berkata: “Kalau Komunisme datang semuanya itu akan hilang. Apalkanlah Komunisme supaya Zaman Keselamatan itu lekas datang. Rajinlah saudara mengunjungi Kursus kami. Kami tak suka main pakrol-pakrol, karena itu semua kompromis. Tahanlah lapar dan sakit sampai Komunisme datang.” Kita ulang lagi, apa saja tindasan Rakyat kita mesti memperlihatkan kepintaran buat memberi oplossing atau jawab, mesti mempunyai keberanian buat berdiri di muka, menuntut Haknya Rakyat, yang tertindas. Seperti si Penambang akan mendapat emas dengan memasukan tangannya kedalam lumpur begitulah pula kita harus bisa membawa Rakyat ke dalam Aksi, kalau kita campuri kesakitan dan siksanya hari-hari.

Dari aksi kita hari-hari itulah kita bisa memperoleh kepercayaan, pengaruh dan kontrak yang kekal, dan dari aksi kecil-kecil itulah bisa lahirnya aksi yang besar. Marxisme itu bukanlah ilmu “hapalan” melainkan satu pedoman buat aksi, atau satu richtsnur tot handelen (guide to action)

Legal atau Illegal yakni Terbuka atau Tertutupnya, kita bekerja semuanya bergantung kepada keadaan bekerja. Kita suka bekerja legal, karena dengan jalan umum itu Program dan Taktik kita lekas diketahui oleh seluruh Rakyat. Tetapi kalau terpaksa, kita mesti teruskan propaganda dan Agitasi kita dengan jalan tertutup. Walaupun kita dipaksa berjalan tertutup, kita harus memakai dengan segala kekuatan dan kecakapan segala jalan buat mendapat kontak dengan Rakyat. Tidak boleh kita geisoleerd (terisolasi) atau terpisah dari Rakyat.

Di Eropa Barat kita melihat pada waktu sebelum perang, Partai yang terbuka itu, tak bisa sama sekali bekerja tertutup seperti Partai kita di Rusia. Sebabnya ialah karena di Barat sangat tebal demokratisnya negeri, jadi orang bisa mendorong kiri kanan dengan mulut. Tetapi di Rusia Partai revolusioner harus bekerja di bawah tanah. Sebab itulah kalau Revolusi datang dan Partai revolusioner di Barat itu terpaksa bekerja tertutup ia tidak bisa jalan seperti Partai kita di Rusia yang tahu kerja, baik terbuka atau pun tertutup.

Partai yang selalu kerja tertutup itu, ada mengandung bahaya, sama sekali akan kehilangan kontak dengan Rakyat melarat. Sebab itu ia akan tidak tahu, bagaimana perasaan Rakyat, dan kalau ia tiba-tiba keluar, Rakyat tidak mengikut, atau kalau Rakyat melarat tiba-tiba memberontak, Partai yang tersembunyi dan kehilangan kontak tadi, belum lagi siap.

Contoh Partai Konspirasi atau Rahasia, yang tak mempunyai kontak itu banyak di negeri Timur, seperti. Afdeeling B satu contoh yang baik. Sesudah anggotanya disumpahi setinggi langit, maka ia boleh kelak menunggu “alamat” dari Alam dan menunggu perintah dari pimpinan yang tertinggi, kapan mesti keluar. Alamat buat keluar itu, tiadalah hal yang nyata yang beralasan ekonomi atau politik melainkan, barang yang gaib-gaib yang kita kaum Komunis pada masa ini tak bisa mengerti lagi. Anggotanya tak bekerja dengan sadar, memakai anggota ekonomi dan politik Rakyat yang ada dan diaku sah oleh Pemerintah buat mendalamkan aksi, melainkan bekerja menambah iman. Tiba-tiba ia ketahuan oleh pemerintah, dan kalau pemimpinnya di hukum berat, Rakyat tercengang, karena ia memang tak tahu apa-apa.

Kalau kita mengatakan kita mesti kerja tertutup, maka maksud kita bukanlah mesti meninggalkan pekerjaan yang praktis hari-hari dan kita lakukan kerja tertutup itu ialah karena terpaksa, seperti sekarang kita sudah terpaksa menutup sebagian dari pekerjaan. Bukan karena kita takut melainkan karena kita tidak bodoh dan mau diprovokasi, yakni berkelahi sebelum siap betul. Pada masa Afdeeling B tak ada hal yang penting yang menyebabkan anggotanya perlu bersumpah gelap-gelap, karena S.I mempunyai pengaruh berjuta-juta. Kalau S.I mempunyai pimpinan yang pantas atau ditolak maju berterang-terangan oleh Pasukan S.I. sendiri, dan dalam S.I. sendiri, sebagai Linker-Vleugel atau Sayap Kiri, maka 2 atau 3 biji Belanda, yang tersesak karena ada peperangan (1914-1918) itu gampang dikirim ke pulau Merak.

Kalau kita Kaum Komunis terpaksa bekerja tertutup, maka kita mesti tetap tinggal bersambung dengan Rakyat. Anggota kita mesti tinggal mengurus anggota-anggota yang masih diaku Sah oleh yang berkuasa. Kalau Serikat Buruh umpamanya tak diaku, maka kita lari ke koperasi, kalau inipun tak diakui kita lari lagi ke Serikat Kematian, dan seterusnya, sampai “saat” kita datang, yakni kalau seluruh Rakyat keluar bergerak. Bekerja dalam Organisasi yang di aku sah oleh pemerintah itu perlunya bukan saja buat mengetahui stemming atau suaranya Rakyat, tetapi juga buat mendidik pemimpin-pemimpin kita berbicara dan mengatur Organisasi. Sehingga kalau Pemberontakan datang kita tidak kekurangan Orator, yakni tukang pidato, Agitator dan Organisator yang cakap, pemuka-pemuka mana perlu sekali buat merebut dan mempertahankan Kemerdekaan ke dalam dan ke luar Negeri.

Partai Komunis berdiri atas Massa-Aksi, yakni Aksi beramai-ramai dan Massa-Aksi ini bersamping kepada demonstrasi. Demonstrasi-politik, dijalankan dengan tuntutan politik. Kalau yang menuntut cukup kuat dan gembira, maka hak-politik itu boleh direbut dengan kekarasan.

Pada sesuatu demonstrasi, kontak atau Perhubungan dengan Rakyat (Buruh, Tani, Tukang, Saudagar dan pelajar) haruslah teguh betul. Perhubungan itu baru bisa teguh dan boleh dipercaya, kalau Pimpinan demonstrasi itu ada mempunyai cukup wakil dari semua Kasta yang tersebut diatas. Suara semua Wakil Kasta itu mesti didengar betul oleh urusan demonstrasi, kalau tidak demonstrasi itu bisa terlandpur atau ketinggalan. Sebab di Italia dan Inggris umpamanya pada waktu sesudah perang Partai kita, yang dikhianati oleh Sosial Demokrat itu tak cukup mengadakan Wakil dari Serikat Buruh, jadi tak cukup mengadakan kontak dengan Buruh, maka ia jadi kalah, Di kedua negeri itu kita sudah bisa merebut politik negeri, sebab Buruh sudah luar biasa kegembiraannya (di Inggris 1-2 juta Buruh Tambang 3 bulan mogok). Tetapi Partai Politik Komunis disana tak cukup mendapat Suaranya Kaum Buruh itu, sebab tak cukup Wakil di dalam Partai.

Supaya demonstrasi di Indonesia berhasil, haruslah kelak di Sentral Pimpinan Revolusioner diadakan Wakil dari semua Pulau dan semua Kasta di Indonesia. Begitulah suara dari segenap pihak boleh di ukur dan kita tak mudah ketinggalan seperti di Italia atau Inggris dulu itu dan tak pula mudah terlanjur seperti pada Aksi bulan Maret di Jerman 1921.

Demonstrasi itu menuntut Pimpinan yang plastis dan Korban yang banyak. Pimpinan mesti selalu tahu, apa demonstrasi mesti diperkencang lagi dengan Pemogokan atau Boikot. Dalam masa itu Pimpinan, Surat Kabar, dan Perhubungan surat menyurat mesti ditempat yang rahasia, yang tak bisa diketahui oleh musuh.

Sebelum demonstrasi keluar, haruslah dibicarakan lebih dahulu tempat Demonstrator yang keluar dari semua penjuru kota atau desa mesti bertemu, apa tuntutan yang penting buat masa itu, apa perspektif atau Hasil demonstrasi kelak, kapan dan bagaimana mesti dibubarkan. Bersama-sama dengan beribu­ribu dan berjuta-juta Demonstrator itu ada tersembunyi Pimpinan, sebagai Staff umum atau Sidang Pimpinan, yang cukup mendapat kabar dari mana­mana dan pada tiap-tiap saat bisa memberi perintah kepada pemimpin-pemimpin yang ditaruh dipenjuru yang penting-penting, buat memimpin sekalian pasukan demonstrasi tadi.

2.          Tentara Nasional.

Berapa susahnya mengadakan Organisasi yang tetap pada suatu jajahan seperti Indonesia, sudahlah bisa dibuktikan oleh sejarah pergerakan Indonesia, sendiri dalam kira-kira 17 tahun yang terakhir ini, Organisasi B.O cuma tergantung diawang-awang saja, sama sekali tak mempunyai pengaruh diantara Rakyat. N.I.P dan S.I yang diembus dengan “kebangsaan” dan “Agama” sekarang sudah kosong karena pompa angin tak bisa kerja begitu lama. Organisasi itu mesti berurat pada ekonomi dan Kasta, baru ia bisa tumbuh dengan tetap. Tetapi kita mesti bilang terus terang, bahwa sampai sekarang pada partai kita sendiripun belumlah jelas dan konsekuen, bahwa “Keadaan ekonomi dan Keadaan Kasta di Indonesia” itulah yang menjadi kriteria atau ukuran dalam pertimbangan kita buat mengadakan Organisasi. Di jajahan lain-lain seperti Mesir, India d.s.g dimana ada Nasional Kapital yang kuat dan pergerakan Nasionalisme yang revolusioner, maka dalam golongan Kaum Komunis sendiri adalah timbul pertimbangan, apakah tidak baik, jangan mendirikan Partai Komunis sendiri, melainkan memasuki Partai Nationalis yang revolusioner yang ada, dan dari dalam, sebagai Linksche Vleogcl atau Sayap Kiri, menumpu pergerakan Nasionalisme itu sampai ke Revolusi. Alasan pihak ini, yakni, dimana Buruh diatur oleh Kaum Komunis berpisah dari Kaum Nasionalis, seperti sudah dilakukan di Mesir dan India, disana pergerakan Nasionalis jadi mundur. Jadi kata pihak ini, selama pergerakan Nasionalisme masih revolusioner, biarlah Buruh Industri, yang menang pada tiap-tiap jajahan jadi pasukan muka pergerakan revolusioner, diatur oleh Kaum Nasionalis, dan kita Komunis cuma menolong saja dari dalam dan menjaga supaya pergerakan jangan jadi lembek. Maksud yang pertama toh, kata pihak ini seterusnya melemparkan “imperialisme.”

Disini tak tempatnya buat memeriksa pertimbangan ini lebih jauh. Tetapi kita boleh mengambil pengajaran dari pertimbangan itu, bahwa pada satu jajahan pergerakan nasionalisme itu buat melemparkan imperialisme satu faktor atau hal yang sangat penting, yang tiada boleh kita putuskan dengan dogma atau “kajian hapalan” saja.

Sebaliknya pula kita tidak boleh menunjuk ke bangkai S.I dan N.I.P dan berkata : “Nah, kan perlu lagi dihidupkan bangkai bangkai ini.”

N.I.P dan S.I mati karena ada mempunyai sebab yang dalam sekali, ialah karena tak ada Nasional Kapital yang kuat di Indonesia, yang bisa memberi inspirasi atau semangat buat mendirikan Program yang kokoh, Organisasi yang teratur serta Taktik yang tetap, seperti di Mesir dan India. Oleh karena pemimpin-pemimpin B.O, N.I.P, & S.I seperti Dauwes Dekker, Tjipto, Tjokro Aminoto dan Salim terpaut oleh Kasta dan didikan mereka, ia tak pernah sampai ke kasta Kaum Buruh. Mereka tak bisa mengerti, bahwa di Indonesia Kasta inilah yang kuat karena geconcentreerd (terkonsentrasi) dan dari Kasta inilah bisa datangnya inspirasi dan pimpinan buat merebut kemerdekaan.

Sebaliknya pula kita Komunis tak pula boleh memandang Indonesia sabagai Negeri industri, seperti Jerman atau Inggris, dan memikir bahwa Kebangsaan dan Agama dalam pertarungan kemerdekaan sama sekali tak ada artinya. Dan berhubungan dengan hal ini cukuplah kalau di Indonesia kita adakan Satu Partai Komunis saja.

Sikap inilah kira-kira yang dipeluk oleh pihak yang mau menghapuskan S.R pada Konferensi bulan November 1924 di Yogya. Yang dijadikan alasan, ialah :

“Kaum borjuis kecil di Indonesia selalu kalah, juga dalam perjuangan dengan imperialisme Belanda, yang tergambar pada B.O, N.I.P & S.I. Sebab itu S.R yang juga kumpulan borjuis kecil tak akan bisa menang.”

Demikianlah kira-kira isinya Referaat Hoofdbestir. Kalah atau menangnya borjuis kecil di Indonesia buat kita pada masa ini perkara “puur philosophisch” (filosofi murni) artinya perkara timbang menimbang dengan tiada akan mendapat keputusan. Tetapi bukanlah kesimpulan atau putusan kalah menangnya itu sekarang yang terpenting buat kita, melainkan akuan, yang tak dibantah, malah terbawa oleh Referaat tadi sendiri, yakni Kaum borjuis kecil masih selalu berkelahi, jadi masih revolusioner.

Inilah yang terpenting buat kita, dan hal ini memang apriori atau sudah termasuk ke dalam pikiran. Kaum Borjuis Kecil, di mana-mana mau menjadi Borjuis Besar atau Hartawan-Besar. Pada Zaman Bangsawan, Borjuis kecil Indonesia terhambat oleh Raja dan Bangsawan kita, sebab itu ia acap berperang dengan Bangsawan itu. Pada Zaman kita mereka terhambat oleh imperialisme Belanda, sebab itu ia sekarang melawan imperialisme Belanda. Perlawanan ini sudah terbawa oleh alam dan tak akan habis, selama keadaan kasta-kasta masih tetap. Ringkasnya sekarang dalam himpitan imperialisme Belanda, borjuis kecil kita yang kira-kira 70% banyaknya dan tak berapa bedanya tertindas dari Kaum Buruh Industri akan tinggal revolusioner.

Berhubung dengan akuan diatas ini maka persoalan kita seharusnya, sebelum imperialisme Belanda belum kalah, ialah:

Bagaimana kita mesti mengatur P.K.I. yang kuat sebagai Avant-Garde atau Pasukan-Muka dari pergerakan revolusioner Indonesia ?  

Bagaimana kita mesti menyusun Kaum Non-Proletar, sebagai Reserve atau Pasukan Pembantu pergerakan revolusioner ?  

Bagaimana kita mesti menarik Landstorm atau Laskar dalam waktu tersesak, dari seluruh Rakyat Melarat ?

Bagaimana kita mesti mengadakan perhubungan antara P.K.I dan S. R. sebagai Partai Non-Proletar ?  

Inilah persoalan kemerdekaan di Indonesia. Kita mesti mengaku, bahwa Non-Proletar saja tanpa Kaum Buruh susah mengalahkan Belanda. Sebaliknya pula Kaum Buruh tanpa pertolongan 70% Non-Proletar tidak pula mudah akan menang. Sedangkan di Jerman, dimana 75% dari penduduk negeri sama sekali buruh Industri model baru, pada tahun 1923, yakni waktu yang terpenting sekali buat revolusi, kita dengan segala daya upaja mendekati Kaum Borjuis Kecil. Juga di Rusia kemerdekaan kita peroleh dan kita pertahankan dengan Kaum Tani besar kecil yang banyaknya 80% itu, jadi dengan borjuis kecil juga.

Berhubungan dengan 4 persoalan yang diatas, maka kita sangka pertimbangan buat mengadakan Satu Partai, yakni P.K.I saja buat seluruh Indonesia ada salah. Kita pikir di kota besar-besar seperti Betawi, Semarang dan Surabaya pun sekarang mesti dilakukan Partai Kembar, yakni P.K.I dan S.R. Dengan politik Satu Partai, baik di seluruh Indonesia ataupun buat kota-kota besar, kita pikir, pertama kita bisa tinggal kecil (sectarisme) atau kedua besar, seperti perut kemasukan angin.

Kecil, karena sudah kita terangkan, bahwa Indonesia tidak negeri industri betul melainkan landbouw-industri. Sudah pula kita perlihatkan, bahwa kota-kota kita bukan pusatnya industri (kain, besi, mesin, kapal d.s.g). Penduduknya kota-kota kita, terutama non-proletar, seperti tukang-tukang, dobi, saudagar kecil-kecil seperti penjual cendol, satai d.s.g. atau Buruh Halus, seperti guru-guru, jongos, clerk d.s.g. Yang buruh tulen di kota-kota kita masih sangat sedikit, kalau diperbandingkan dengan jumlah penduduk. Lagi pula mereka bukan buruh industri produktif yakni buruh yang mengadakan hasil (kain, besi, dll), melainkan buruh pengangkut, seperti kereta, kapal dan tram, yang kecakapannya juga kurang dari buruh industri betul. Tiadalah seperti di Berlin, London atau New York, dimana, kalau tutup pabrik pukul satu berbunyi kita melihat sampai 1.000.000 Buruh Pabrik, yang muka, tangan dan pakaiannya berkilat-kilat dengan minyak mesin, berduyun-duyun meninggalkan pabrik. Ini belum ada! Malah belum seperti Bombay, dimana buruh kain saja terkumpul 150.000. Atau di Calcutta yang mempunyai 300.000 buruh model baru, seperti buruh pelikan (tambang), kain, mesin, kereta, kapal dll. Betul ada beratus ribu sudah terkumpul di perusahaan gula, tetapi mereka itu buruh tani. Yang buruh pabriknya baru sedikit, dan sebab disini ada pabrik gula, disana 50 KM lagi berdiri pabrik lagi, jadi sebab sangat terpencar-pencar, maka kita susah pula mengatur mereka.

Ringkasnya betul buruh kita (kereta, kapal, gula, minyak d.s.g.) lebih kuat dari non-proletar, karena mereka menjalankan perusahan negeri, tetapi kita jangan overschatten (overestimate atau melebih-lebihkan), melebihi perhitungan kekuatan kita. Kalau kita bersandar semata-mata pada buruh tulen dengan mengadakan Satu Partai, serta menghilangkan S. R. maka Partai kita akan sangat kecil.

Kalau ia dijadikan besar, maka terpaksa ia menarik jadi anggotanya saudagar-saudagar cendol, nasi, rujak d. s. g. Inilah namanya verwatering (mengencerkan), lebih santan dari pada air dan seperti SI akan segera jatuh kegemukan saja. Tidak boleh tidak elemen borjuis kecil itu, kalau masuk Partai Komunis, walaupun ia “menghapalkan” program kita, akan membawa semangat dan wataknya borjuis kecil (adat, logika, dan sifatnya). Betul kursus dan didikan bisa membangunkan semangat revolusioner, tetapi sebagai Marxis kita mesti tahu “bahwa keadaan itulah yang menentukan semangat” atau de mate­rieele onderbouw bepaalt den geestelyken bovenbouw. Cuma kaum Utopis dan Dogmatis yang percaya, bahwa dengan “menghapalkan” saja satu ilmu bisa jadi orang bersifat baru. Betul bisa satu atau dua orang yang bukan golongan buruh bisa menjadi Komunis, tetapi sebagai kasta, Kaum borjuis kecil tak bisa dilompatkan menjadi Komunis Revolusioner. Dan sebab di Indonesia borjuis kecil itu memang masih terpaut oleh semangat revolusioner (sebab belum pernah menang) sebab itulah kita gampang menyangka, bahwa sebab dia revolusioner itu ia Komunis. Inilah bahaya yang ada kalanya kelak bisa masuk ke dalam badan PKI sendiri, yang bisa memecahkan diri dari dalam.

Bagaimana, kalau kita dirikan Satu Partai buat seluruh Indonesia dari kaum Buruh, dan non-proletar kita susun dalam Serikat Buruh?

Serikat Buruh saja tak cukup buat mereka, karena mereka borjuis kecil di negeri kita juga mempunyai cita-cita politik. Siapapun di kota-kota atau desa-desa, apapun juga pekerjaannya ia mau merdeka sebagai bangsa. Jadi kita harus mengadakan politik yang sepadan dengan kehendak mereka itu. Koperasi, Serikat Buruh atau Serikat Tani tak mencukupi cita-cita politik, lebih-lebih dari penduduk kota dan setengah kota.

Lagi pula, kalau kita mau mengadakan Serikat Buruh buat borjuis kecil di kota besar-besar seperti Betawi, Semarang, Surabaya d.s.g. di kota-kota klas dua seperti Sumedang, Pekalongan, Palembang, Banjarmasin d.s.g, berapa ribu Serikat Buruh mesti kita bikin, buat mengikat saudagar kecil-kecil, jongos, tukang penatu d.s.g, Ini dalam praktiknya mustahil!

Kita tidak saja di desa-desa dan kota-kota klas dua mesti mengadakan Organisasi politik yang memenuhi cita-cita 70% dari penduduk kita, tetapi juga di kota­kota besar seperti Betawi dan Surabaya, dimana borjusi kecilah yang terbanyak dan industri produktif sama sekali belum ada. Baru kalau Partai Komunis bersamping dengan Organisasi, yang memeluk beribu-ribu anggota, yang pada segenap waktu bisa dijalankan bersama-sama, baru kita bisa mengadakan aksi politik umpamanya demonstrasi yang berarti. Walaupun kita cuma dua atau tiga ribu, tetapi kalau kita dalam Aksi politik sebagai Avant-Garde dikelilingi oleh beribu-ribu Proletar & Non-proletar sebagai reserve, dan disukai oleh seluruh Rakyat yang tertindas sebagai Landstorm, kita bisa menang.

Berhubung dengan pertimbangan kita diatas, maka buat menjawab 4 pertanyaan tadi buat Indonesia Organisasi yang berikutlah yang sepadan dengan keadaan kita

1.    Diadakan Partai-Kembar (PKI & S. R.), pada pusat ekonomi, politik dan Pergerakan, seperti di Betawi, Semarang, Surabaya, Bandung, Padang dan Medan, pada pusat ekonomi (industri) seperti Cepu, Kediri, Pelaju, Belitung, Pangkalan Brandan, Sawah-Lunto, Balik Papan d.s.g, pada pusat politik, seperti Palembang, Kota-Raja d.s.g., pada pusat pergerakan, baik kereta atau kapal, seperti lain yang sudah tersebut diatas juga Banjarmasin, Makasar, Cilacap, Cirebon d.s.g. yakni menurut pertimbangan yang lain-lain (seperti di Balik Papan sudah cukup PKI saja).

Anggota PKI terutama mesti dari Buruh industri, seperti dari bengkel, baik kereta ataupun pelabuhan, Buruh Cetak, Pabrik gula, minyak­tanah, tambang arang, minyak d.s.g. Golongan inilah yang mesti jadi ruggegraat atau tulang punggungnya P.K.I.

Kursus mesti dikencangkan, tetapi isinya mesti praktis dan berpadan dengan keadaan dan aksi di Indonesia. Program dan Agitasi, dikencangkan betul, ialah yang berhubungan dengan industri dan negeri. (Lihat Program Nasional!).

Kontribusi dipertinggi dan disiplin diperkeras. Dalam semua Aksi seperti Pertemuan, Mogok dan demonstrasi anggota P.K.I mesti dimuka.

2.    Diadakan S.R. saja, selainnya dari tempat yang tersebut diatas (1) di seluruh Indonesia, di kota-kota klas dua, seperti Sumedang, Magelang, Paja Kumbuh, Pontianak, di pelabuhan klas dua, di desa-desa dan gunung-gunung sampai masuk ke dalam hutan seperti Puruk Tjau di Borneo. Tak ada tempat yang boleh di lupakan.

Anggota S.R boleh dari sembarang kasta, asal mengakui dasar revolusioner, yakni mau mengusir imperialisme Belanda (jadi berbeda dengan N.I.P, B.O & S.I ). Student, saudagar, tukang, tani dan penjual ini atau itu, beragama Islam, Kong Hu Tju atau Kristen; yang suka sama kebangsaan, agama atau anarkisme, pendeknya semua yang benci kepada Tindasan Imperialisme bolehlah berdiri di bawah bendera S. R.

Kursus haruslah berhubungan betul dengan “keadaan dan cita-cita mereka. Perkara kemerdekaan sebagai Bangsa Nasional yang merdeka, perkara sewa rumah, Pajak, pendidikan dan perkara yang lain, yang terasa betul oleh penduduk kota tak boleh dilupakan. Dalam kesusahan hari-hari, baikpun dengan pakrol-pakrol si Kecil di kota atau desa yang tak berhak apa-apa itu mesti ditolong oleh S. R.

Kontribusi mesti serendah-rendahnya, karena maksud kita yang terutama, supaya menarik mereka ke bawah pengaruh dan ke dalam aksi kita. Juga disiplin tidak bisa begitu keras, karena hal ini sudah terbawa oleh watak mereka. Jadi maksud kita yang terutama ialah mengumpulkan semua golongan yang tak senang hati di bawah Imperialisme Belanda dan memimpin mereka dalam segala aksi.

3.    Dengan Perantaraan P.K.I, kalau krisis ekonomi dan politik datang kita bisa menarik terutama, segala Buruh industri yang ada, baik yang sudah diatur dalam Serikat Buruh ataupun yang belum di atur. Dalam Pemogokan atau demonstrasi PKI. akan memberi pimpinan yang langsung atas semua golongan Kaum Buruh di Indonesia.

Dengan perantaraan S.R, semua penduduk kota, seperti klerk, tukang, penjual ini atau itu, pelajar d.s.g dan semua penduduk desa dan gunung akan menarik dengan Tuntutan yang pantas ke dalam Aksi, seperti Boikot dan demonstrasi buat melawan Krisis ekonomi atau politik dan merebut Kemerdekaan. Jadi P. K. I. & S. R. keduanya mesti menjadi Organ atau Anggota buat seluruh Rakyat Indonesia merebut Kemerdekaan.

Teranglah sudah maksud kita bahwa kedudukan P.K.I dan S.R bukan kedudukan Bovenbouw (atas) dan Onderbouw (bawah), yang di kursus atau tak di kursus atau tinggi berendah (memang kita dengan semua Rakyat melarat mau ke zaman persamaan, bukan?), melainkan kedudukan dua kasta tertindas, tetapi berlainan keperluan dan sifatnya, oleh sebab mana mereka harus di atur dalam dua pasukan. Sebab Buruhlah yang terkumpul dan memegang perusahaan negeri yang terutama serta non-proletar terpencar-pencar, maka dari buruhlah bisa datang Aksi yang tetap, Ideal atau cita-cita yang tetap, Program yang tetap dan Senjata yang tetap (Mogok). Berhubung dengan itulah ia di Indonesia bisa memberi Pimpinan yang tetap revolusioner. S.R berdirinya bukanlah karena internasional (memang ini dulu pelawan semangat N.I.P) atau karena tak beragama (memang ini mengandung dan melawan semangat S.I) melainkan karena ia berdiri atas kasta non-proletar yang bersifat revolusioner. Kasta dan semangat revolusioner itulah yang menjadi kriteria atau ukuran di S.R, dengan tiada melanggar Agama atau Kebangsaan, malah mufakat, kalau Agama dan Kebangsaan itu ada memperkuat keyakinan dan semangat Revolusioner.

4.    Karena Buruhlah kasta yang terkumpul, dan ialah yang mempunyai senjata yang tertajam, yakni mogok, maka ialah pula yang mesti memberi pimpinan politik buat merebut kemerdekaan Indonesia.

Walaupun Seksi atau Lokal diatur dengan Partai Kembar, tetapi Sentral tentu mesti satu, supaya urusan, agitasi dan aksi bisa satu pula. Supaya semua golongan di Indonesia bisa diperhatikan keperluannya, maka pada Sentral Pimpinan Revolusioner di Betawi, seberapa boleh kelak mesti diadakan wakil dari semua pulau, dan semua kasta yang terutama seperti Buruh, Pelajar, Tani dan Penduduk kota. Buat memperhatikan kepulauan Indonesia yang begitu besar tentulah belum cukup 5 atau 6 orang duduk di Sentral Pimpinan.

Supaya agitasi buat seluruh Indonesia dirasa betul oleh semua golongan haruslah Sentral Pimpinan Revolusioner, membedakan agitasi buat satu negeri dengan yang lain (Jawa dengan Sumatera atau Celebes, Padang dengan Jambi); dan satu golongan dengan golongan lain (Buruh dan Tani atau Pelajar dengan Penduduk kota). Berhubung dengan hal ini pekerjaan di Sentral pimpinan haruslah dibagi-bagi (verdeling en specialiseeren van arbeid) (partisi dan spesialisi kerja).

Supaya pimpinan tinggal revolusioner, jangan seperti S.I atau N.I.P, haruslah baik di Sentral Pimpinan ataupun di Seksi atau Lokal, S.R yang mayoritas atau terbanyak ialah pemimpin Komunis. Dengan jalan begitu, kita menjaga supaya pergerakan Indonesia tinggal proletaris dan tak menjadi oportunistis atau reformistis, yakni lembek seperti S. I. dan N. I. P.

Demikianlah Sentral Pimpinan Revolusioner di Indonesia, yang mengikat semua Seksi P.K.I & S. R, semua Serikat Buruh, Koperasi, dan mengikat JOI dan Rakyat-Scholen, yang menaruh semangat proletaris dan revolusioner, menunggu datangnya saat, dimana ia dengan Massa-Aksi kelak akan merebut hak ekonomi dan politik.

Oleh karena Massa-Aksi itu cuma bisa dijalankan dengan Massa, yakni beramai-ramai, maka haruslah P.K.I yakni pemuka Kaum Buruh dan S.R yakni pasukan Muka Kaum Non-Proletar menambah anggotanya dengan berlipat ganda. Kalau S.I pada waktu baiknya bisa mengumpulkan sampai 1 atau 2 juta anggota (betul belum seperti anggota sekarang), dan menurut laporan pemerintah sendiri sampai 5 atau 6 juta simpatisan, yakni yang mufakat dengan S.I, maka kalau Taktik, Program dan Agitasi kita benar dalam waktu di muka ini sekurangnya kita mesti dapat laskar buat PKI 10.000 dan buat S.R 500.000. Juga anggota dari Serikat Buruh yang terutama seperti V.S.T.P, S.P.P.L, S.P.L.I dan S.G.B haruslah berlipat ganda banyaknya. Di Jambi, Palembang, Banjarmasin, Aceh d.s.g mesti ada koperasi-koperasi yang kuat. Demikianlah pula JOI harus memperbanyak anggota dan Seksinya. Di Betawi, Semarang dan Surabaya bersamping dengan P.K.I yang bisa mempunyai 1000-2000 anggota S.R bisa mendapat 10-20.000 anggota. Kalau sudah bisa kita mengadakan Tentara Nasional sebesar ini tidak saja Imperialisme Belanda segenap waktu bisa hancur, tetapi juga imperialisme Asing tak akan gampang menentang Tentara yang sebesar itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

V. REVOLUSI.

1. Peperangan dan Revolusi.

Sebermula maka kemajuan Pergaulan itu diatur oleh hukum yang juga menguasai seluruh alam (hewan dan tumbuh-tumbuhan), yang dinamai Hukum Evolusi dan Revolusi. Kedua hukum ini sebetulnya satu, karena tak ada bedanya dalam sifat, melainkan berbeda cepatnya bekerja.

Seperti suatu sungai harus mengalir ke lautan, demikianlah juga pergaulan hidup kita ini menuju ke zaman persamaan, kesentosaan dan peradaban. Seperti sungai itu mengalirnya di tempat yang datar dengan tenang, demikianlah pergaulan hidup kita, kalau tak kuat kasta yang menghambat maju dengan sentosa. Berhubung dengan itu, maka kekayaan, kepandaian dan peradaban maju dengan tiada di rasa.

Tetapi seperti sungai yang terhambat majunya oleh gunung akan menebus gunung itu, demikianlah pula Pergaulan Hidup, yang terhambat majunya oleh satu Kasta atau Bangsa yang menindas, akan memecahkan Kasta dan Bangsa itu.

Baik dengan damai atau perkosa, Evolusi atau Revolusi Pergaulan Hidup kita tetap maju.

Sebagian dari kemajuan itu terjadi dengan peperangan. Satu Bangsa memerangi yang lain, dan menghimpit bangsa yang lain itu dengan alat senjata peperangan. Kemudian, maka bangsa yang menang itu bertambah kaya, bertambah kuasa dan bertambah pandai, sedangkan yang kalah bertambah miskin, serta bertambah bodoh. Nietsche, seorang filsuf atau Pemikir Jerman, menjunjung tinggi Uebermensch, atau Dewa dalam bukunya “Also Sprach Zarathustra” (Begitulah sabdanya Nabi Zoroaster) dan dalam “Die Willie Zur Macht” (Nafsu merebut Kekuasaan), dimana ia menggambarkan dengan giat sifat-sifat yang perlu dipakai oleh seorang panglima perang dan pembesar negeri. Buku-buku itu dibaca oleh Kasta Opsir di Jerman di medan peperangan yang baru lalu ini dalam asap meriam dan hujan pelor dengan segala keyakinan.

Nietsche, ialah Nabi-Imperialisme, yang menyangka, bahwa peradaban itu mesti terbawa oleh kemenangan suatu bangsa atas bangsa yang lain. Inilah filosofi imperialisme, yakni Kultur Paksaan, Peradaban Militerisme & Peperangan, serta Peradaban bunuh membunuh sesama manusia dengan maksud hendak menindas dan memeras bangsa yang lemah. Nietsche ialah Zenith atau puncak Peradaban, yang tergambar oleh Arjuno, Iskandar Zulkarnain, Napoleon dan Wilhem II.

Selamanya ada tindasan, selamanya itulah pula ada rasa kemerdekaan. Cacing pun, yang diinjak bergerak kiri kanan, lebih-lebih manusia yang terinjak itu akan berusaha melepaskan dirinya dari injakan itu. Si Bengis Nero, menguatkan majunya Kaum Kristen. George III mengadakan Washington, yang melepaskan Amerika dari tindasan Inggris. Tsarisme di Rusia mengadakan Bolshevisme. Inggris di India melahirkan Pergerakan Boikot dan Swaray, demikianlah tak akan putus putusnya.

Peperangan buat Kemerdekaan tiadalah untuk menindas bangsa lain, melainkan buat melepaskan tindasan. Satria Kemerdekaan-Bangsa, tiadalah seorang Penindas, seperti Caesar, Napoleon dan Wilhem II, melainkan manusia yang berhati suci, berfikiran jernih dan yang setia kepada yang tertindas. Phoseon di Griek L’Ouver­ture pemimpin budak Negro, Garibaldi di Italia dan Rizal di Filipina, semuanya Satria, laksana gambaran Kemerdekan, Kesucian, Keberanian serta Kecintaan hati. Laskar Kemerdekaan, walaupun biasanya miskin dan tiada bersenjata, lebih kuat dari pada Laskar Imperialisme, karena dasar dan makudnya lebih tinggi. Disiplin laskar Kemerdekaan tiadalah pula perbudakan, seperti pada Laskar Imperialisme, melainkan kegiatan yang suci.

Tindasan feodalisme di Prancis, melahirkan pemikir baru, yang wujudnya mau melepaskan tindisan satu kasta dari kasta yang lain.

Voltaire dan Rousseau, dengan pena yang maha tajam memecahkan Feodalisme itu dan melahirkan fikiran baru, buat zaman yang baru pula, yakni: “Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan.”

Kaum Satria baru lahir pula, yakni buat menjalankan buah pena pemikir tadi. Mirabeau, Madame Roland, Danton, Robespierre dan Marat, ialah satria zaman baru, zaman mana kita masuki dengan banyak darah dan air mata mengalir. Satria Prancis tadi belumlah insaf, bahwa Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan itu sekarang diperkosa oleh Kapitalisme.

Pemikir baru mesti berdiri pula. Marx dan Engels, melahirkan pikiran dan pertandingan baru: “Kaum Proletar seluruh dunia bersatulah” Tidak lagi satu kasta dalam satu negeri, melainkan Kasta Hartawan diseluruh dunia haruslah dihancurkan oleh Kasta Proletar seluruh dunia, supaya datang Kemerdekaan dan Komunisme.

Lenin, Trotsky, dll sejawatnya di Rusia sudah memperlihatkan, bagaimana besar kekuatan Kaum Proletar itu. Sekarang di seluruh dunia Kaum Proletar sedang mengatur kekuatan buat perkelahian yang lama, sukar dan bengis itu.

Imperialisme boleh bersiap mengadakan kapal perang, meriam, kapal terbang, kapal selam, bom dan gas beracun. Bangsa jajahan di Timur dan Kasta Buruh di dunia boleh sementara dihisap dan ditindas, dan tiada apa kalau miskin dan tak bersenjata. Bangsa jajahan dan kasta Proletar ada mempunyai senjata yang lebih tajam dari pada peluru dan bom, yakni kerukunan.

Kalau Bangsa di jajahan dan Kaum Proletar mengerti, serukun dan mau, maka tentara imperialisme itu akan pecah dari dalam sendirinya karena yang memegang sekalian senjata itu ialah Kaum Proletar juga.

Inilah senjata kita Kaum Revolusioner yang terutama sekali: Otak, Pena dan Mulut.

Serdadu Revolusi, ialah serdadu yang mengerti serta yakin, dan kalau saatnya sudah sampai, maka dengan perkataan dan tangan saja ia bisa menjatuhkan musuh berapapun besarnya.

Revolusi bukanlah peperangan imperialisme, yang dilakukan buat bunuh membunuh dan rampas merampas. Revolusi ialah satu pertarungan lahir dan batin, dimana satu Bangsa Tertindas atau Kasta Tertindas, melahirkan dan mengumpulkan sifat-sifat manusia yang termulia untuk maksud yang tersuci.

2. Revolusi di Indonesia.

Objektifnya, yakni hal keadaan negeri di Indonesia sudahlah lama masak buat Revolusi. Lepasan-Kerja (pemecatan – catatan editor) terjadi hari-hari, dan tentara Kaum Buruh yang tak kerja (werkeloozen) belum pernah sebesar sekarang. Gaji Kaum Buruh banyak dikurangkan, walaupun harga barang-barang masih tetap tinggi. Pajak sudah lama melewati kekuatan Rakyat kita.

Walaupun ekonomi dan politik dalam krisis, tetapi Rakyat belum lagi matang revolusioner, artinya itu belum sempurna siap dan bergerak sendirinya merebut dan memegang urusan ekonomi dan politik Negeri. Kesadaran Rakyat kita dalam hal politik, sungguhpun sangat cepat majunya, baru dalam permulaan, sebab itu masih satu persoalan besar, apakah ia cukup kuat dan giat buat menentang musuh di dalam dan di luar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang) pada pertarungan yang tentu hebat dan lama sekali. Rakyat Indonesia, yang belum pernah sedikitpun mempunyai hak politik, karena, dari dulunya terhimpit oleh despotisme dan imperialisme, tentulah tiada bisa dibangun kan dalam dua tiga tahun saja. Perkumpulan politik kita mesti dilipat ganda banyak dan kualitas anggotanya pada masa ini juga. Berhubung dengan itu agitasi mesti lebih dalam dari pada yang sudah-sudah. Pun Serikat Buruh belum lagi cukup mempunyai banyak dan kualitasnya anggota, buat merebut ekonomi dan politik Negeri dan kelak menguruskan hasil dan pembagian hasil itu (produksi dan distribusi) serta mempertahankan negeri terhadap musuh di dalam dan di luar negeri.

Wataknya kelak Revolusi di Indonesia bolehlah sekarang kira-kira kita gambarkan. Tiadalah akan seperti di Marokko umpamanya, dimana ekonomi masih sangat mundur sekali. Oleh sebab disana pencarian hidup teutama pertanian kecil (bukanondernimingen) dan bergembala, maka tiadalah ada keberatan Abdul Karim buat menarik Tani dan Gembala itu lari ke gunung-­gunung, buat meneruskan peperangan dengan Prancis dan Spanyol. Sebab negeri sangat besar dan penduduk sangat sedikit (luas Marokko saja, yang terletak ditepi gurun Pasir itu ada 4 1/2 Jawa, tetapi penduduk cuma 1/6 dari Jawa, sehingga Jawa ada 27 kali serapat Marokko dan kalau Jawa sekarang penduduknya serapat Marokko isinya tidak 36 juta melainkan 1 1/3 juta) dan pencarian hidup gampang sekali, maka perang gerilya, yakni perang lari-larian bisa diteruskan bertahun-tahun. Tetapi Jawa yang mempunyai isi negeri yang nomor satu rapatnya di dunia itu, dimana tak ada tempat lagi buat berlindung seperti Abdul Karim, dimana industri sudah sampai ke Trust dan Syndikaat, dimana hasil sama sekali tergantung pada pasar di luar negeri, dimana tiap-tiap tahun mesti masuk beras seharga F.75.000.000, jadi dimana ekonomi negeri sudah sama sekali berdasar kapitalistis dan internasional, tentulah tak setahun bisa menjalankan Karim-isme atau Dipo Negoro-isme. (Pada masa DipoNegoro penduduk Jawa baru 5 juta).

Oleh karena di India ada Kasta Hartawan bumi putera yang kuat, maka juga pergerakan politik selamanya  ini  bisa nasionalistis tulen. Artinya itu, cuma buat mengusir pemerintah Inggris dan mengisi pemerintah itu dengan Wakil dari Hartawan bumi putera. hak Milik akan tinggal tetap, dan berhubung dengan itu perusahaan yang besar-besar tiada akan jatuh di tangan Buruh industri. Buat Rakyat Kemerdekaan di India itu tak akan berapa menambah hak ekonomi dan politik. Dalam perkelahian menentang Imperialisme Inggris, politiknya Kaum Nasionalis India semata-mata buat memakai Rakyat dan Buruh sabagai serdadu buat maksud Kaum Hartawan. Oleh karena senjata mogok, buat dilawankan kepada Inggris, juga berbahaya buat kapital nasional sendiri, maka Ghandi melarang Kaum Buruh mogok. Senjata yang bisa dipakai oleh Kaum Nasionalis di India ialah Boikot saja, karena boikot itu mengenai perusahaan dan perniagaan Inggris dan membesarkan perusahaan dan oerniagaan Hartawan Bumi Putera.

Tetapi di Indonesia senjata mogok itu bisa dipakai seluas-luasnya, karena tak ada kapital nasional yang bisa dikenai. Mogok umum di Indonesia bisa dan mesti disertai oleh demonstrasi umum, karena pergerakan politik kita bukan untuk satu golongan kecil, yakni dari hartawan saja, melainkan untuk rakyat melarat yang terbanyak itu. Rakyat Indonesia, kalau sudah merebut kekuasaan politik, bisa mengubah nasibnya dengan lekas dan bisa menasionalisi sekalian perusahaan yang besar-besar (kebon, pabrik, tambang, kereta, kapal, dan bank) yang sekarang di tangan hartawan Belanda. Bersama dengan ini, maka kelak nasib buruh dan Rakyat akan segera bisa menjadi baik.

Berhubung dengan hal diatas, maka Revolusi Indonesia kelak akan berbeda betul dengan pemberontakan Marokko dan pergerakan di India (Non-Cooperation clan Swaray). Revolusi Indonesia tiadalah akan semata-mata untuk menukar kekuasaan Belanda dengan kuasaan bumi putera (Peperangan Kemerdekaan bangsa), tetapi juga untuk menukar kekusaan hartawan Belanda dengan Buruh Indonesia (putaran-sosial).

Jadi pergerakan kita sekarang, ialah nasionalis sosial, dan berpadanan dengan itu perkakas bertarung ialah perkakas militer (Karim-isme) bercampur dengan perkakas ekonomi dan politik, yakni mogok, boikot dan demonstrasi.

Mana kelak yang lebih kuat diantara perkakas militer dan perkakas ekonomi dan politik itu, buat seluruh Indonesia, yang mempunyai pulau-pulau yang tiada sama kemajuannya, tiadalah bisa kita putuskan dengan sepatah perkataan saja.

Di Jawa, sebagai sentral ekonomi Indonesia tentulah Karim-isme cuma sebagian bisa dilakukan, yakni kalau perkakas mogok, boikot dan demonstrasi sudah segenap waktu bisa dipakai. Artinya itu, kalau perkumpulan politik (P.K.I & S.R) dan Serikat Buruh sudah siap betul. Sungguhpun begitu, Kaum Serdadu tak sekejap boleh dilupakan. Karena, kalau kelak buruh dan Rakyat bisa merebut semua kota-kota di pesisir, tetapi benteng-benteng Bandung, Ambarawa dan Malang masih setia pada pemerintah, maka Belanda bisa lekas mendatangkan pertolongan dari luar Indonesia (Negeri Belanda, Inggris dan Amerika). Seperti dulu Spanyol, sesudah 3/4 di usir oleh Filipina, tiba-tiba menjual Filipina kepada Amerika, begitu juga kelak Belanda, kalau sudah 3/4 terusir, akan mencari akal busuk. Sebab itu benteng-benteng di Jawa, dimana kelak Belanda lari berlindung, mesti kita persatukan dengan Rakyat merah. Dan kelak kita tak boleh menjatuhkan palu terakhir dan menjalankan Karim-isme (kekuatan militer) sebelum kumpulan politik dan buruh matang betul dan kaum serdadu mengerti betul akan maksud kita.

Di luar Jawa, dimana industri masih mundur Karim-isme bisa dilakukan. Tetapi kita mesti jaga lebih dahulu supaya Jawa sudah siap dengan senjatanya, yakni mogok, boikot dan demonstrasi. Kalau belum siap dan Karim-isme diluar Jawa dijalankan, maka pergerakan kita semacan itu akan sia-sia dan bisa lama memundurkan aksi.

Meskipun begitu, kalau sekiranya Karim-isme itu di Sumatra, Borneo, Celebes atau Ternate bisa dijalankan dengan lama dan kuat sekali, maka Belanda mesti akan dapat kesusahan besar. Tentu ia segera akan memukul pergerakan politik dan Serikat Buruh di Jawa, tetapi sebab ia terpaksa menaikkan pajak, semangat revolusioner akan tetap naik di seluruh Indonesia.

Kita tahu, bahwa Anarkisme di mana-mana, sebab kapitalisme sudah sangat teratur, tak bisa menang. Anarkisme di India sudah masyur bertahun-tahun, tetapi tetap tinggal kalah. Di Mesir sangat memukul pergerakan yakni sebagai provokasi, yang memberi senjata pada Inggris buat melarang sama sekail pergerakan politik (sesudah pembunuhan Sir Lee Stac). Pergerakan Anarkisme malah sangat mengacaukan dan melemahkan pergerakan Buruh di Jepang. Tetapi walaupun kita sama sekali tak mempunyai pengharapan akan mendapat Kemerdekaan Indonesia dengan jalan Anarkisme, berhubung dengan sikap pemerintah, Anarkisme di Indonesia bisa timbul. Selama Rakyat masih bisa mendengar pembicaraan nasibnya, protes dan maksud kita, selamanya itu mereka bisa ditahan sampai ke Aksi Teratur. Tetapi kalau pemerintah menutup Kawah Pergerakan, maka api revolusioner itu akan meletus di lain tempat: “Umpamanya gula akan habis terbakar. jembatan akan runtuh, Lokomotif terguling dan Belanda terbunuh dimana-mana.” Bukan karena kemauan P.K.I, melainkan kemauan Rakyat yang sudah putus asa, dan lari dari organisasi kita.

Walaupun pemberontakan Indonesia ada mengandung watak kebangsaan, tetapi, sebab ekonominya Jawa dan sebagian dari Sumatra sudah sangat maju kapitalistis dan internasional, maka Revolusi kita akan berwatak nasionalis-sosial, yakni campuran pergerakan kebangsaan dan kekastaan.

Berhubung dengan wataknya Revolusi di Indonesia itu, maka walaupun Karim-isme atau perang gerilya dan Anarkisme (sebab kapitalisme masih muda) kelak menjadi “aanvulling” (tambahan – catatan editor) atau tempelan dari pergerakan revolusioner, tetapi kemerdekaan Indonesia terletak terutama pada massa aksi yang teratur: “mogok, boikot dan demonstrasi.”

Walaupun berapa juga verleidelijk atau menggodanya Karim-isme dan Anarchisme (lebih-lebih kalau reaksi mengamuk!) kita tidak boleh diprovokasi dan menyimpang dari jalan yang betul, melainkan tetap mendidik sampai Rakyat bisa memegang senjata Massa aksi yang maha tajam itu.    

3. Taktik di Indonesia.

Dalam daya upaja memecahkan imperialisme Belanda ini tak perlu kita berpusing kepada memikirkan Sosial Demokrasi, seperti Partai kita di Eropa dan Amerika. Stokvis c.s di negeri kita tak berani berhubung dengan rakyat, seperti juga di lain-lain negeri jajahan Kaum Sosial Demokrat sama sekali jadi ekornya imperialisme.

Cuma kita mesti menjaga, supaya di dalam partai kita, semangat kelembekan Sosial Demokrat tak bisa masuk.

Taktik kita terhadap kepada revolusioner kebangsaan dan agama ialah menarik mereka kedalam S.R Tiadalah ada salahnya, kalau kita kelak mengadaan Nasional-Platform, yakni Barisan Revolusioner yang memeluk sekalian Partai revolusioner besar kecil yang ada sekarang ini dan memimpin Barisan itu menjatuhkan imperialisme Belanda.

Taktik kita ke dalam negeri, terutama menarik sekalian golongan yang tiada bersenang hati di bawah Belanda. Kita mesti berusaha keras mengatur buruh dan tani gula yang banyaknya barangkali lebih dari 1.000.000 itu. Buruh Kereta yang 80.000, buruh dan tani teh, kopi, coklat, jati, getah yang tentu tak kurang dari 1.000.000 pula, buruh minyak tanah yang kira-kira 40.000, tambang arang, emas, timah yang lebih dari 50.000 itu, buruh pelabuhan yang kira-kira 100.000 dan kuli kontrak yang 300.000 itu. Juga tiada boleh dilupakan Kaum Pelajar yang di sekalian jajahan jadi pasukan-muka pergerakan. Di Jambi, Palembang, Padang, Banjarmasin bumi putera yang berada itu, perlu koperasi buat mempertahankan diri terhadap kepada kapitalis besar. Penduduk kota nomor satu dan kota nomor dua dan desa-desa harus semua ditarik ke dalam S.R. atau P.K.I. Disebabkan oleh bermacam-macam hal, maka masih sangat sedikit dari semua golongan yang di atas terikat oleh organisasi kita. Kita percaya, berapa pun besarnya reaksi dengan segala kecakapan pada waktu di muka ini kita akan bisa melipat ganda anggota P.K.I & S.R, Serikat Buruh, JOI d.s.g. Sedangkan Ternate suatu pulau kecil saja ada kalanya bisa menarik anggota 13.000 dan berkontribusi beratus rupiah. Kita sama sekali tak akan heran, kalau dijalankan betul, Jawa, Sumatra, Borneo, Celebes, Ambon dan Bali besok atau lusa akan memeluk beratus ribu anggota, yang bisa membayar cukup dan tetap.

Kalau kita tidak bisa mengadakan organisasi yang bisa memeluk sekalian Kasta dan sekalian pulau terberai-berai itu, maka pekerjaan melemparkan Imperialisme itu adalah satu percobaan yang sangat sia-sia. Belanda bisa lari dari satu tempat ke tempat yang lain buat berlindung dan mencari kawan. Jawa akan bisa di adu dengan Sumatra, Menado dan Ambon sama Rakyat Islam d.s.g. Sebab itu taktik kita yang terpenting sekali ialah mempersatukan semua pulau dan Kasta dengan Program Minimum, yang dirasa oleh semua penduduk Indonesia.

Kalau kita bisa mempersatukan seluruh Indonesia dan mengadakan disiplin yang keras, barulah kita bisa memikirkan merebut kemerdekaan dan barulah bisa mempertahankan kemerdekaan itu terhadap kepada Inggeris dan Amerika.

Inggris tentu tak suka Indonesia akan menang. Pusat armada di Singapura (satu negeri di Indonesia juga), gunanya buat mempertahankan dan melebarkan jajahan Inggris di Asia. Dalam waktu peperangan, maka Singapura mudah diperhubungkan dengan Australia, India dan HongKong. Kalau di Indonesia pecah revolusi, maka perhubungan dengan Australia akan terancam. Inilah hal yang bisa dijadikan alasan oleh Inggris buat menolong Belanda dan memakai Volkenbond buat membetulkan politik Inggris. Lagi pula berjuta-juta ada Kapital Inggris di kebon getah, teh dan terutama di Minyak Tanah, sehingga Koninkelijke Petroleum Maatschappij itu bolehlah dikatakan perusahaan Inggris. Akhirnya kemerdekaan Indonesia akan sangat disukai oleh Tanah Malakka dan India dan dengan lekas akan menggoncangkan seluruh jajahan Inggris, lebih berbahaya dari segala macam pergerakan revolusioner di Eropa.

Kita tahu bahwa ketika Amerika memikir-mikir mau memberikan kemerdekaan pada Filipina, yang sudah lama matang buat Zelfbestuur (managemen swadaya – catatan editor) itu ia dapat tegoran dari Prancis, Inggris, Jepang dan Belanda. Alasan negeri-negeri imperialis, itu akan menyebabkan semua jajahan akan lebih keras menuntut kemerdekaannya dan akhirnya kekuasaan bangsa putih di Asia akan jatuh. Sebab itu terhadap kepada kemerdekaan Indonesia semua Imperialis mesti akan bersatu.

Walaupun Amerika menamai dirinya demokratis, buat kita tak kurang bahayanya. Pada tahun yang sudah dia terpaksa membeli getah dari luar negeri F.1.500.000.000. Harga ini F.1000.000.000 lebih mahal dari 2 tahun terlampau. Sebabnya ialah karena Inggris yang menguasai 70%. dari semua getah di dunia bisa dengan sekehendak hatinya menaikan harga itu, sehingga Amerika mesti membayar berlipat ganda. Supaya ia lepas dari monopoli Inggris, maka Amerika berdamai dengan Belanda. Boleh jadi pada waktu paling di muka ini berjuta-juta modal Amerika akan masuk ke Indonesia buat menambah kebun getah.

Jadi ringkasnya Inggris dan Amerika (juga Jepang) semuanya cinta pada Indonesia dan semuanya mau menduduki. Kalau kita merdeka, tetapi tak cukup bersatu, maka seperti Tiongkok, kaum perampok itu akan mudah adu-mengadu kita sama kita. Negeri kita akan cerai-berai, diperintahi atau dipengaruhi oleh beberapa imperialis. Dengan segera kita yang tiada mempunyai armada ini, kalau pikiran dan maksud tak satu akan hancur.

Sebaliknya kita tak boleh ngeri, asal mengerti, bahwa diantara satu imperialis dan yang lainnya, yang semuanya mengancam kita itu ada pertentangan keperluan. Politik kita kelak haruslah arif bijaksana mengenal pertentangan itu sewaktu-waktu dan memperdalam pertentangan itu supaya satu sama lainnya si perampok itu berkelahi dan kita terpelihara.

Kalau saatnya itu kelak sudah sampai, dan kita betul bersatu, maka nakoda kapal kemerdekaan itu, wajiblah dengan segala keyakinan, keberanian, ketetapan hati dan kepintaran menentang ribut topan di dalam dan di luar negeri, serta awas akan batu karang yang tersembunyi yang setiap waktu bisa menghancurkan kapal kemerdekaan itu.

4. Massa Aksi di Indonesia..

Apabila kira-kira 30 tahun yang lalu Bonifacio mendapat jawab dari Rizal, bahwa Filipina tak bisa membuat Revolusi, karena tak mempunyai kapal dan bedil, maka Bonifacio dengan marah berkata: “Bliksem (petus!). Dimana dia baca?”

Dr. Jose Rizal, ialah seorang intelektual, yang dibuang oleh Spanyol ke sebuah pulau kecil. Ketika Dr. Rizal akan ditembak, sesudah diadakan tuduhan yang palsu, maka Bonifacio, yang memimpin Katipunan, yakni satu perkumpulan rahasia, mengirim wakil dengan rahasia sekali menemui Dr. Rizal, meminta, apakah ia mau lari dari penjara dan apakah ia mau memimpin Katipunan dalam revolusi kepada Spanyol. Dr. Rizal menjawab seperti diatas. Mendengar jawab itu Bonifacio menyindir dengan marah, bahwa tak ada buku sejarah, yang mengatakan, bahwa bangsa yang miskin dan tertindas itu mesti lebih dahulu menyiapkan kapal dan bedil buat revolusi.

Bonifacio ialah seorang Proletar tulen. Tetapi sebab sangat rajin belajar sendiri, ia cukup mengetahui revolusi di Eropa dan Amerika. Oleh sebab keberanian, kesucian serta ketetapan hati ia mendapat pengaruh dalam rahasia di seluruh Filipina luar biasa sekali. Sudah lama ia bercerai dari La Liga Filipina (Persatuan Filipina) yang didirikan oleh Dr. Rizal, karena perkumpulan ini sudah terang kompromis dan lembek sekali. Tetapi sebab Rizal guru dari Bonifacio dan tinggal diseganinya sebagai pemikir dan satria yang luar biasa, ia sudi menyerahkan pimpinan Katipunan yang dibikinnya itu kepada Dr. Rizal.

Apabila akhirnya Dr. Rizal dengan tuduhan palsu ditembak, maka seluruh rakyat Filipina meratap dan berniat membalas dendam. “Kalau Rizal seorang yang begitu besar, sehingga sangat disegani oleh Profesor di Eropa, yang tiada bersalah apa-apa ditembak lagi, siapakah yang bisa bekerja buat kemerdekaan Filipina?” Inilah pertanyaan yang lahir dalam pikiran Bumi Putera lelaki dan perempuan.  

Sekaranglah datangnya saat buat Bonifacio akan memperlihatkan kepercayaannya atas massa atau Rakyat Filipina. Di Balintawak dekat dalam rahasia sekali Bonifacio mengumpulkan anggotanya dan dengan “bolo” (pedang) sekerat saja mereka menyerang tentara Spanyol yang teratur dan kuat itu. Beribu-ribu Rakyat mengikut panggilan Katipunan dengan bolo atau tanpa bolo. Dalam beberapa pertemuan dengan serdadu Spanyol, Rakyat Filipina, yang tak bersenjata itu merebut dengan tangan saja senapan serdadu Spanyol. Pada tiap-tiap medan peperangan berpuluh dan beratus senapan direbut, sehingga akhirnya cukup Rakyat mempunyai senjata api buat melawan Spanyol.

Tiada lama antaranya, maka bendera Rakyat yang karena miskinnya dibuat dari kain robek-robek saja terkibar di sebagian besar dari kepulauan Filipina. Hanyalah benteng Manila saja yang belum jatuh.

Banyak lagi contohnya massa aksi, yakni aksi Rakyat, kalau betul sudah matang revolusioner, baik di Eropa ataupun Asia, walaupun tiada bersenjata apa-apa bisa menundukan laskar yang teratur.

Umpamanya L’Ouverture, seorang budak Negro di Haiti (Amerika Tengah), yang memimpin budak miskin pula, bisa menaklukan Inggris, Spanyol dan serdadu Napoleon berikut-ikut. Di Revolusi Besar Prancis (1789) Rakyat yang paling miskin dan kurus kelaparan itu, sesudah kena propaganda revolusioner bertahun-tahun, akhirnya dengan tangan dan batu juga mengalahkan Laskar Raja dan Bangsawannya. Juga buruh di Rusia, yang miskin itu, baik pada revolusi 1905 ataupun 1917, tiada lebih dahulu memesan “kapal terbang” sebelum ia menyerang tentara Kaum Hartawan dan bangsawan di Rusia.

Senjatanya Rakyat yang betul revolusioner itu, hanyalah pena, mulut dan tangan saja. Kalau semangat revolusioner sudah betul menjadi darah daging Rakyat melarat, maka semua kepandaian dan senjata itu akan timbul sendirinya. Senapan bisa direbut dengan tangan dan juga seperti di Filipina tukang rumput bisa jadi jenderal. Inilah kemuliaan Revolusi dan kesucian si Revolusioner. Kita diatas mengambil contoh terutama dari Filipina, sebab penduduknya lebih dekat kepada kita dari penduduk negeri lain.        

Orang tak bisa bantah, “O, ya, mereka tinggal di negeri sejuk sebab itu kuat.” Atau “mereka berkulit putih atau berasal ini atau itu.” Rakyat Filipina juga bangsa Melayu dan diamnya juga di Khatulistiwa.

Sebaliknya, walaupun sifat dan asal kita bersamaan, dalam hal lain-lain Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita.

Ketika mereka memberontak kepada Spanyol dan kemudian kepada Amerika, serta 3 tahun mendirikan Republik, jumlah jiwa cuma 8 juta. Spanyol kira kira 25 juta, dan satu imperialisme terbesar di dunia seperti Inggris. Amerika yang 50.000 terbunuh oleh bolo itu terkaya, dan mempunyai 100.000.000 jiwa. Sedangkan Indonesia sekarang mempunyai 55.000.000 jiwa, dan menentang Belanda yang cuma 6 1/2 juta saja.

Kita sekarang ada mempunyai perkakas mogok, tetapi Rakyat Filipina, sebab waktu revolusi industri belum maju, terpaksa langsung bertanding di medan peperangan, yang menuntut korban 100.000 jiwa mereka.

Kita lebih besar membayar pajak dari Filipina di bawah Spanyol, yang sekarang lebih besar dari bangsa apa­pun juga di dunia.

Kita masih bisa dan tetap akan bisa menaburkan benih revolusi, karena kita cukup mempunyai propagandisten dan surat kabar yang dibantu oleh kereta dan kapal. Sedangkan di Filipina Rizal yang memimpin La Liga Filipina yang sejinak B.O itu ditembak, dan propaganda terutama harus dijalankan dari luar negeri, Banifacio harus menjalankan propagandanya di Filipina dengan sangat rahasia sekali serta dengan kaki atau sampan kecil saja. Buku-buku dan surat kabar revolusioner, karangan Rizal, Del Pilar, d.s.g. yang dimasukan dengan rahasia sekali dari Spanyol, Hong-Kong dan Singapura, dibacakan oleh pasukan bacaan, yang membacakan pada Rakyat yang tak pandai membaca itu dalam rahasia sekali, karena pemerintah menghukum dan menyiksa keras si pembaca atau si punya buku dan surat kabar itu.

Walaupun Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita, ia toh bisa dan berani menentang Spanyol dan Amerika lamanya 3 tahun dan acap kali mengalahkan tentara kedua negeri yang sangat teratur itu.

Kita satu menitpun tak ada syak (keraguan) dan waham (ketidakpercayaan), bahwa kalau Rakyat Indonesia cukup sadar dalam hal politik (politik bewust) dan sudah tunggang mau merebut haknya baik ekonomi ataupun politik, juga dengan tangan dan batu saja bisa mengusir Belanda yang dua tiga biji itu dan menolak semua musuh dari luar negeri.

Disini tiada tempatnya buat membicarakan perkakas kita yang baik kita pakai, kalau Mogok dan demonstrasi kelak sudah melewati batas perdamaian dan sampai sendirinya ke tingkat perkelahian senjata. Memang kita di negeri semacam Indonesia cukup menyimpan senjata, yang segera akan kelihatan, apabila Rakyat yang 55.000.000 juta itu betul-betul sadar politik dan sama sekali keputusan jalan damai. Ringkasnya, kalau semuanya Buruh, Tani, Saudagar, Pelajar, Penduduk kota, Jongos, Shauffeur, Serdadu, Matros, Tukang Cukur, Koki d.s.g  mau merebut kemerdekaan dan rela mengorbankan jiwa seperti Rakyat Filipina tempo hari, maka kemerdekaan kita letaknya di ujung pena saja: “Besok Republik Indonesia bisa ditabalkan (diproklamasikan).”

5. Rapat Rakyat Indonesia.

Saat kita buat Massa Aksi itu sewaktu-waktu bisa datang. Krisis ekonomi dan politik yang sekarang sudah begitu dalam akan bertambah dalam lagi, kalau umpamanya datang bahaya kelaparan dan bahaya penyakit. Juga sikap reaksioner dari pemerintah sekarang ini sangat memperdalam permusuhan antara Belanda dan Rakyat.

Kalau Rakyat sempurna sadar akan haknya sebagai manusia, maka semua pembuangan dan tutupan yang sewenang-wenang itu kelak segera akan dibalas oleh Rakyat sendirinya. Kalau umpamanya Pimpinan melarang perbuatan semacam itu, maka Pimpinan itu sendiri akan dilemparkan oleh Rakyat dan akan diganti oleh Rakyat sendiri dengan pimpinan baru.

Kalau pemerintah melarang membuat pertemuan, demonstrasi & mogok, maka ia tiada akan memperdulikan perintah itu lagi, melainkan terus keluar memperlihatkan tiada senangnya dengan peraturan yang ada.

Kalau pemerintah mengirim Polisi dan Serdadu, maka Rakyat yang betul betul sadar itu sendirinya akan mendekati Serdadu dan Polisi itu. Kalau mereka itu tak mau memihak kepada Rakyat, maka Rakyat akan mengadakan Pasukan-Merah sendiri, mencari senjata sendiri dan bekerja sendiri buat mempertahankan Mogok, Pertemuan, dan demonstrasi.

Kalau Pemerintah terus memakai “Tangan Besi” dan tiada menimbang permintaan Rakyat (yang mengisi perutnya hamba-hamba Pemerintah itu), tetapi Rakyat belum berani melawan berterang-terangan, maka ia akan sendirinya berjalan gelap-gelap. Seperti di Mesir, India dan Irlandia juga di Indonesia akan kejadian sabotase, racun-meracun dan bunuh-membunuh dengan rahasia sekali.

Semangat revolusi itu, kalau sudah menjadi darah daging Rakyat melarat tiadalah bisa dibunuh dengan hukum atau peluru lagi. Kalau semangat revolusi itu sudah masuk di semua kasta dan sekalian pulau, maka datanglah saatnya buat memanggil Rapat Rakyat Indonesia.

Proletar, Tani, Pelajar, Saudagar dan Serdadu haruslah dengan atau tanpa izin Pemerintah, memilih dan mengirimkan Wakil ke suatu tempat di Indonesia buat Rapat atau Pertemuan.

Rapat Rakyat ini akan membuat Hukum untuk Rakyat Indonesia, dan kalau pemerintah Belanda tak suka menjalankan atau mengaku hukum itu dan tak suka pergi (sudah tentu is tak suka!!), maka Rapat Rakyat itu mesti sendirinya menjalankan. Kalau Pemerintah mengirim laskarnya, maka Rakyat mesti sudah bisa menjawab kiriman pemerintah itu dengan sepatutnya (baik dengan propaganda dalam laskar itu sendiri, baikpun dengan Tentara Merah).

Memanggil Rapat Rakyat itu artinya mengirim ultimatum atau menentang Pemerintah sekarang, yang kita sudah yakin tak bisa mengurus terus ekonomi dan politik negeri dan tak disukai lagi oleh Rakyat. Panggilan kita itu haruslah dikeraskan oleh kemauan dan perbuatan Rakyat, yang sudah terbukti pada Mogok Umum dan demonstrasi, yang tak memperdulikan korban lagi dan dimana seluruh Rakyat melarat memperlihatkan ketetapan hati dan kegiatan. Dalam hal ini Rapat Rakyat itu, seolah-olah mahkotanya aksi kita dalam politik.

Tentulah Rapat Rakyat itu baru bisa dipanggil kalau sudah lahir alamat dan tanda-tanda, bahwa Rakyat melarat sudah matang revolusioner::

“Umpamanya kalau mogok, pertemuan dan demonstrasi, walaupun dilarang bisa diteruskan (tentulah kalau pimpinan merasa perlu…). Kalau tuntutan ekonomi dan politik dalam mogok dan demonstrasi sudah kelihatan terasa dan termakan betul oleh seluruh Rakyat. Misalnya buruh tetap menuntut tambah gaji, sebagian dari untung, merdeka bergerak, dan disana sini sudah mendirikan dewan buruh atau rapat buruh buat menguruskan hasil serta sudah merebut pabrik atau kebun terutama di SOLO-VALLEY, atau Daerah Kali Solo, yakni pusatnya ekonomi Indonesia. Kalau berhari dan berbulan (seperti di Mesir, India, Tiongkok, Jerman dan Rusia) Rakyat Indonesia berdemonstrasi menuntut di hapuskan pajak, menuntut Algemeen Kiesrech (hak umum untuk memilih – catatan editor), Rapat-Rakyat, Kemerdekaan dan tuntutan politik dll. Kalau Rakyat yang 55 juta itu, lebih suka mati dari pada hidup seperti budak dan ketawa melihat kuda dan karet polisi. Kalau bui dibongkar dan pemimpin dikeluarkan. Kalau buruh kereta dan kapal mungkir membawa pemimpinnya ke tempat buangan. Kalau kaum serdadu mungkir menindas pergerakan dan mungkir menembak Rakyat yang tak bersenjata dan tak bersalah itu. Kalau Belanda tidur dengan pistol di tangannya, dan tak berani makan, kalau makanannya tidak diperiksa oleh dokter lebih dahulu…”

Inilah semuanya tanda dan alamat, bahwa semangat revolusi itu sudah berurat dalam dan menjalar kemana-mana, serta tiada bisa diobat lagi, kecuali dengan kemerdekaan.

Barulah datang saatnya buat pimpinan revolusioner itu menimbang kekuatan kawan dan lawan, mengumpulkan Tentara Nasional dan mengerahkan tentara itu terhadap kepada musuh di dalam dan di luar negeri.

Sebelumnya saat buat bertanding habis-habisan itu datang, maka pekerjaan kita yang terutama terus: “Pertama Agitasi, kedua Agitasi dan ketiga Agitasi.”

Kalau Bonifacio, seorang proletar tulen, dengan jiwa selalu terancam dan dimana perkakas buat propaganda dan agitasi belum secukup di Indonesia bisa mengadakan Nasional Organisasi pada beratus-ratus kepulauan Filipina, maka kita di Indonesia Selatan dengan jiwa 55 juta dan perkakas lahir batin lebih dari cukup, tak boleh lekas putus asa dan tak boleh lekas menyimpang dari jalan yang betul.

Kita, sebagai Kaum Marxis, mesti tinggal bersandar pada keperluan, kemauan dan kekuatan massa, yakni Rakyat melarat dan kalau mereka belum masak-revolusioner dan belum siap menentang musuh dalam dan luar negeri yang sangat teratur itu, maka kita tak boleh diprovokasi oleh musuh, yakni tertipu bertarung pada tempat dan saat yang tidak kita kehendaki.

Semua pemberontakan Indonesia, kalau Rakyat belum matang revolusioner akan sia-sia belaka. Semua macam “putch” (pemberontakan tiba-tiba dari satu golongan kecil) harus kita singkiri dan musuhi. Kalau pemberontakan semacam itu sekiranya menang, maka Indonesia merdeka itu akan segera jatuh di tangan seorang militer. Dalam hal ini tiadalah politik dan rakyat yang berkuasa melainkan tangan besi seorang Militer. Hal ini terjadi di Tiongkok pada tahun 1911, dimana kekuasaan politik segera lepas dari Dr. Sun Yat Sen dan jatuh di tangan Yuan Shi Kai & Co.

Aksi ekonomi dan politik yang menempuh Rapat Rakyat itulah buat kita jalan yang tentu dan sentosa buat merebut kemerdekaan, menjatuhkan segala kekuasaan negeri pada Kaum politik, dan menghindarkan diktaturnya dan tindasan Kaum Militer dari bangsa Indonesia sendiri.

6. Revolusioner Komunis.

Pada suatu negeri yang banyak mengandung sisa feodalisme, serta bibit kapitalisme, seperti Indonesia, sangatlah susah sekali buat menjadi komunis. Sisa feodalisme membawa agama dan politik, yang walaupun bisa revolusioner (seperti Dipo Negoro) tetapi sifatnya feodalistis. Demikianlah B.O & N.I.P yang percaya, bahwa Kerajaan cara Majapahit bisa dibangunkan lagi atau S.I yang dulunya percaya, bahwa Kerajaan Islam dan Kalifatullah yakni peraturan feodalisme akan bisa dibangunkan lagi.

Kapitalisme jajahan yang masih muda di negeri kita itu, mengandung bermacam-macam bibit pula. Ada yang bersifat kapitalistis, seperti juga terbawa oleh 3 partai yang tersebut diatas tadi, yang menghendaki modal Indonesia. Buruhnya yang masih muda itu ada pula mengandung anarkisme, yakni paham borjuis kecil yang dikalahkan oleh Modal-Besar. Demikianlah Anarkis di Eropa, yang hidup pada zaman yang lalu seperti Waffling, Proudon, Bakunin d.s.g mewakili kasta borjuis kecil atau kasta buruh yang kemarinnya borjuis kecil. Sebab borjuis kecil itu individualis (berdiri sendiri), karena ia si berpunya kecil, maka perkakasnya bertarung juga individualistis (memakai bom) dan tak tahu bersama-sama.

Tetapi buruh industri model baru, yang selalu kerja bersama-sama dan berdisiplin (karena kapitalisme memaksa begitu), membawa wataknya bersama itu menentang kapitalisme. Sebab itulah pada buruh industri, dan cuma pada buruh industri saja terbawa “kerja bersama” dan “bertarung bersama” dan dengan didikan lekas bisa hilang individualisme. Makin maju kapitalisme makin hilang anakisme (seperti Inggris dan Jerman) dan makin maju “kerja bersama” dan “aksi Bersama.”

Jadi revolusioner agama, feodalistis, revolusioner hartawan dan anarkistis cuma perkara yang lalu, yang besok kalau industri maju, akan hilang seperti abu ditiup angin, dan berganti dengan revolusioner komunis.

Dasarnya revolusioner komunis, tiadalah perasaan, seperti pada revolusioner yang lain-lain tadi, melainkan pengetahuan. Adanya revolusi kita percaya, karena perbantahan kasta. Di Indonesia karena kasta modal Belanda tak bisa kompromi dengan Rakyat Indonesia. Datangnya revolusi tidak tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan kalau Krisis ekonomi dan politik sudah cukup dalam dan Rakyat sudah cukup sadar. Revolusi itu bisa berhasil, kalau banyak dan kualitas anggota, dan pengaruhnya partai kita sudah mencukupi.

Kalau keadaan ekonomi dan politik sudah cukup matang-revolusioner, tetapi Rakyat dan Partai kita belum siap, maka kita komunis mesti bisa menahan perasaan kita sebagai individu, menyingkiri segala percobaan avonturisme atau sia-sia dan menunggu bertarung sampai Rakyat dan Partai kita siap. Tiadalah sekejap kita boleh ditarik perasaan, melainkan tetap berdiri atas pengetahuan. Tentu kita menjunjung tinggi keberanian Partai kita, kalau disana atau sini didorong oleh musuh.

Imperialis putih ialah, politik Amerika semacam itu akan atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan kekayaannya tetapi tidak seperti individu, melainkan bersama dengan Massa dan buat Rakyat Melarat itu pula. Aksi dan keberanian individual buat kita sangat sedikit harganya.

Kalau keadaan ekonomi & politik umpamanya sementara berubah baik, dan Rakyat jadi sementara lembek, maka kita tak boleh jadi refomis, seperti Sosial Demokrat atau jadi mata gelap seperti anarkis, melainkan tetap meneruskan Aksi revolusioner yang sepadan dengan keadaan. Kita tahu, bahwa Kapitalisme tak bisa mengatur negeri dan besoknya krisis mesti datang lagi.

Strategi kita tiadalah bersandar atas perasaan, seperti kebangsaan atau keberanian sebagai individu (melemparkan bom), melainkan bersandar pada pengetahuan tentangan ekonomi & politik Negeri dan pengetahuan yang dalam sekali atas psikologi atau tabiat Rakyat kita, tabiat mana turun naik sepadan dengan keadaan ekonomi. Bagaimana keadaan industri, pertanian dan perniagaan serta sikapnya imperialisme Belanda haruslah kita ketahui betul, karena keadaan inilah yang menurun naikkan semangat revolusionernya seluruh Rakyat melarat.

Kalau krisis dalam, rakyat melarat matang revolusioner. Partai kita sempurna mempunyai kekuatan, disiplin dan pengaruh, serta musuh di dalam dan di luar negeri kebingungan, maka barulah General Staff kita mengumpulkan segala kekuatan yang ada dan mengorbankan tenaga dan jiwa buat kemerdekaan sebagai bangsa dan sebagai kasta..

Hai Rakyat Melarat !!

Berapa lamakah lagi kamu mau menderita injakan dan tindasan semacam ini? Tiadakah kamu tahu bahwa sangat besar kekuatan mu yang tersembunyi? Tiadakah kamu insaf, bahwa kerukunanmu artinya kemerdekaan buat kamu dan keturunanmu? Beranikah kamu terus hidup dalam perbudakan dan menyarankan anak cucumu juga jadi budak ?

Hai Kawan-Kawan Separtai !!

Ketahuilah, bahwa Rakyat kita, yang beribu tahun diajar jongkok, yang belum pernah mempunyai hak sebagai manusia itu tak mudah dididik. Janganlah kamu putus asa, kalau daya upayamu tidak lekas memperlihatkan hasil yang nyata. Teruskan pekerjaanmu yang maha-mulia itu, di tengah-tengah ratap tangis Rakyat melarat. Teruskan pekerjaanmu, walaupun bui, buangan, tonggak gantungan selalu mengancam. Ketahuilah, bahwa didikan itulah yang sangat ditakuti oleh musuh kita. Karena tak ada bangsa atau kasta yang mengerti di dunia ini yang rela ditindas dan dihisap…

Kawan-Kawan !!!

Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga, dalam pekerjaanmu, dalam bui ataupun buangan! Janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur mengira sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan 55 juta manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan menuntut segala macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah !!

Kalau saatnya datang, berdirilah tegak di tengah­-tengah Rakyat, menentang peluru dan bayonetnya musuh. Jangan dilupakan ideal kita komunis: “Menang atau mati dalam Massa Aksi.”

Di tanganmu tergenggam Kemerdekaan-Indonesia, yakni Kekapaan, Keselamatan, Kepandaian dan Peradaban…

Kamu Kaum Revolusioner !!

Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu: “Disini bersemayam Semangat Revolusioner”

 

Tokyo, Januari 1926.Gambar

Aksi Massa – Tan Malaka (1926)

PENGANTAR PENULIS

Alles was besteht ist wert,
dass es zu Gruende geht.
(Mephistopheles)

Asia sudah bangun!

Lambat laun bangsa-bangsa Asia yang terkungkung itu tentu akan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bi­lamana dan dimana bendera kemerdekaan yang pertama akan berkibar. Siapa yang menyelidiki sedalam-dalam­nya perekonomian Timur, politik dan sosiologi akan da­pat menunjukkan halkah rantai yang selemah-lemahnya dalam rentengan rantai panjang yang mengikat perbuda­kan Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia benteng imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.

Imperialisme Belanda lebih tua dan lebih kuno dari pada imperialisme Inggris dan Amerika, dipisahkan oleh satu lembah yang tak dapat diseberangi dari jajahannya. Negeri Belanda, karena tidak mempunyai bahan-bahan untuk industrinya, dari dahulu hanya mengusahakan per­tanian dan perdagangan.

Penjabaran kapitalnya dari permulaan abad ini ke se­luruh Indonesia sangat luasnya.

Pusat industri Belanda sekarang terletak di Indone­sia, sedang pusat perdagangan dan keuangannya ada di negeri Belanda. Bankir, industrialis dan saudagar tinggal di negeri Belanda, sedang buruh dan tani di Indonesia. Jika kita perhatikan kedua lautan yang memisahkan Be­landa dengan Indonesia itu, serta tidak pula kita lupakan perbedaan bangsa, agama, bahasa, adat-istiadat antara penjajah dan si terjajah, antara pemeras dan si terperas, tampaklah kepada kita satu perbandingan dari pergaul­an yang luar biasa di dunia imperialisme waktu seka­rang. Luar biasa, sebab kaum modal bumiputra tak ada. Jadi, titian antara negeri Belanda dengan Indonesia pu­tus sama sekali.

Ketiadaan kaum modal bumiputra yang sifatnya hampir bersamaan dengan imperialisme Belanda (sama­sama mau menggencet buruh dan tani) menyebabkan im­perialisme Belanda sukar sekali membereskan krisis eko­nomi di Indonesia. Dimanakah ada di Indonesia tuan-tu­an tanah bumiputra seperti di Mesir, India dan Filipina yang dapat menunjang kaum imperialisme untuk membela kepentingan-kepentingan ekonomi mereka? Dan dimanakah ada kaum modal bumiputra yang kuat, yang meminta-minta kekuasaan dalam politik perekonomian‑nya seperti di India?

Tuan-tuan tanah Indonesia yang sedikit berarti telah lama menjadi gembala, kuli atau kuli tinta! Bangsa-bang­sa Eropa, Tionghoa dan dan Arab menguasai semua per­dagangan besar, menengah ataupun kecil! Bangsa Indo­nesia yang menengah atau yang kecil telah lenyap dari Pulau Jawa sejak beberapa tahun yang silam oleh pema­sukan barang-barang pabrik dari Eropa.

Soal perguruan dengan sengaja dilengahkan oleh Be­landa, kaum intelektual jadi kurang. Sebab itu, kendati­pun kaum saudagar bumiputra seperti India, mau me­nyokong mereka mendirikan industri, toh tidak akan berhasil.

Sebab ketiadaan kaum modal tuan tanah bumiputra itu, maka setiap aksi parlementer dari partai nasional ma­na pun tidak berguna.

Bagaimanakah “bapak gula” dan “nenek minyak” di negeri Belanda akan dapat memberikan hak pemilihan umum kepada bangsa Indonesia? Atau dengan lain arti: mempercayakan kekuasaan politik kepada wakil-wakil tani dan buruh yang miskin? Jika sekiranya di belakang kaum intelektual, berdiri tuan-tuan tanah dan kaum modal bumiputra yang akan mereka wakili di parlemen, tentulah akan berlainan keadaan itu. Dan cakap angin tentang “perubahan dalam pemerintahan di Indonesia” ada juga artinya sedikit. Imperialis Belanda berangsur-angsur, lambat laun dapat menyerahkan pemerintahan itu kepada bangsa Indonesia yang cakap dan jujur. Bukan­kah melindungi modal bumiputra, sebagian juga berarti melindungi modal bangsa asing? Di dalam nisbah seka­rang ini nyatalah bahwa flap pemerintahan bangsa Indo­nesia haruslah tunduk kepada kemauan modal asing yang besar-besar. Dan pemerintahan seperti itu tak akan diakui sebagai berasal dari rakyat dan oleh rakyat!

Pendeknya, Indonesia tak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun intelektual buat melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkung­an imperialisme Belanda. Bersamaan dengan itu, kans untuk mencapai kemerdekaan dalam arti yang seluas­-luasnya dengan jalan menguasai setengah, tiga perempat, hingga tujuh per delapan parlemen lenyap buat selama­nya. Impian seorang makhluk seperti Notosuroto yang mengangan-angankan Nederlandia Raja akan tetap jadi lamunan orang yang fasik.

Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekua­saan politik ada di tangan rakyat. Dan Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak dengan jalan apa pun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk.

Dewan Rakyat kadang-kadang boleh dimasuki! Teta­pi bukan dipergunakan sebagai senjata yang sah untuk memperoleh pemerintahan nasional yang bertanggung jawab penuh dengan perantaraan Dewan Rakyat bekerja sama dengan imperialis Belanda. Tetapi guna mengem­bangkan usaha revolusioner hingga ke dalam kamar-kamar diperoleh dengan perantaraan aksi-aksi parlementer samalah dengan seseorang di Gurun Sahara yang mem­bum fatamorgana. Tetapi siapa yang mempergunakan sekalian pengetahuannya untuk aksi massa yang teratur, niscaya memperoleh kemenangan itu seumpama “ayam pulang ke kandangnya”.

Soal kemerdekaan Indonesia bukanlah satu soal yang terbatas di Indonesia saja, yang dapat dipecahkan dengan perantaraan kongres dan putusan-putusan yang lembek di Dewan Rakyat, jangan dikata lagi dengan perantaraan kelakar-kelakar ekonomi dan kebudayaan di warung ko­pi. Soal itu mempunyai hubungan yang sangat rapat de­ngan kekuasaan Barat terhadap bangsa berwarna di benua Timur.

Salah satu sebab — dan ini bukan sebab yang terkecil — mengapa Amerika tidak juga memberikan kemerde­kaan yang seluas-luasnya kepada orang Indonesia Utara (Filipina) yang menurut perkataan kawan ataupun lawan­nya telah lama matang (seperti kata surat-surat kabar im­perialisme Amerika di Manila) adalah bahwa kemerde­kaan Filipina berarti satu pemberontakan dan penyembelihan di Asia melawan kekuasaan kulit putih (a general re­volt in Asiatic countries against white authority, uprising being attended by slaughter). Kelepasan Indonesia (pu­sat arti ilmu bumi dan peperangan Asia, penduduk lima kali lebih besar dari Filipina dan dengan perdagangan in­ternasional) mustahil tidak berarti sebagai satu pistol yang ditujukan kepada kekuasaan Barat terutama Inggris di Asia.

Belum lama ini bekas putra mahkota Wilhelm mene­rangkan kepada seorang wakil dari United Press di Locarno yang diumumkan oleh radio ke seluruh dunia, bah­wa bila manusia yang berjuta-juta di Asia pada satu hari bergerak memukul Anglosakson (Inggris, Prancis dan Be­landa) niscaya bangsa Melayulah yang pertama kali akan menyebabkan kesusahan. Pengharapan imperialistis dan sindiran macam apakah yang dimaksud putra mahkota yang senewen itu, bagi kita tetap nyata: bahwa Indonesia sekarang bukan Indonesia pada beberapa tahun yang lalu. Indonesia telah mengambil tempat yang penting dalam barisan berjuta-juta manusia di Asia.

Karena itu, kemenangan yang diperoleh dengan jalan damai dan parlementer sama sekali tak boleh dipikirkan. Bukankah hal serupa itu tepat mengganggu ketentraman kapitalis di Timur? Bila suatu hari Indonesia terlepas dan mempertahankan kemerdekaannya dari musuh-musuh dalam dan luar negeri, tentulah hal tersebut ditentukan oleh kodrat revolusioner, yakni yang disebabkan oleh ak­si massa: dari massa dan untuk massa.

Kalau penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tidak berupa perampokan (membunuh habis industri bumiput­ra) niscaya derajat kaum intelektual kita jauh berbeda dari keadaan sekarang! Dan kita tentulah mempunyai sema­ngat kecerdasan (inteligensia) yang menurut asal, didikan dan perasaan menjadi pemuka dari tuan-tuan tanah, in­dustri, saudagar dan pegawai bumiputra. Pun juga akan timbul pergerakan demokrasi dan kemerdekaan nasional yang bersifat kerja sama (kompromis) dengan bangsa Be­landa atas pertolongan buruh dan tani seperti di India, Mesir dan Filipina lebih kurang.

Atas ketiadaan kaum modal bumiputra, intelegensia kita tak kuat berdiri. Ia melayang-layang di antara rakyat dengan pemerintah. Ia tidak mempunyai perasaan ingin mengorbankan diri seperti yang ditunjukkan nasionalis di negeri-negeri lain. Ia tidak mempunyai alat-alat pera­saan, pemikiran yang mendekatkan dirinya kepada mas­sa (rakyat murba). Disebabkan imperialis, kaum intelek­tual kita jauh dari massa.

Mereka tidak mempunyai satu kesaktian yang dapat mempengaruhi dan menarik hati rakyat. Kaum intelektual kita tidak beroleh kepercayaan dan simpati massa untuk menggerakkan mereka, membuat aksi-aksi serta memimpin mereka. Tambahan lagi, sebab jumlah kaum terpelajar yang tidak seberapa, mereka masih tinggal di dalam kelas mereka dan belum menjadi buruh terpelajar.

Untuk sementara waktu, dapatlah mereka menonton dari jauh. Lain halnya kalau jumlah mereka banyak, tentulah mereka akan luntang-lantung dan merasakan kemelaratan sebagai buruh industri dengan penuh “kegembiraan” dalam medan perjuangan.

Kecepatan timbulnya kelas intelektual, kekecewaan terhadap Budi Utomo (B.U.) dan National Indische Party (N.I.P.) serta kekejaman reaksi, mencakar pemandangan mereka ke jurusan yang lain. Sungguhpun masih sangat lambat dan masih berdiri beberapa pal (1 pal = 1.5 kilometer) jauhnya dari mas­sa serta dalam keaktifan dan politik terjejer sangat jauh di belakang dibandingkan dengan kelas mereka di lain ko­loni, tetapi mereka telah mulai bangun dari tidur. “Jubah malaikat” dari Notosoeroto telah dilemparkan mereka, dan mulai bersetuju kepada aksi-aksi revolusioner. Seka­rang dari beberapa universitas di negeri Belanda yang jauh itu berdengung-dengung suara mereka hingga kedengar­an oleh kaum intelektual yang ada di Indonesia.

Tetapi harapan buruh dan tani di Indonesia tidak cuma persetujuan hati saja dari intelektual itu. Mereka menghendaki perbuatan atau bukti-bukti.

Selama kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuang­an kemerdekaan sebagai masalah akademi saja, selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar be­lajar menyeburkan diri ke dalam politik revolusioner yang aktif.

Gelombang pemogokan, pemboikotan dan demon­strasi yang beralun-alun setiap hari bertambah besar, me­lalui rapat nasional menuju ke Federasi Republik Indone­sia, inilah jalan mereka, tidak lain!

 

Tan Malaka

I
REVOLUSI

Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan “kekerasan”.

Di atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan baru yang menang. Demikianlah, masyarakat feodal didorong oleh masyarakat kapitalistis dan yang disebut lebih akhir ini sekarang berjuang mati-matian dengan masyarakat buruh yang bertujuan mencapai “satu masyarakat komunis yang tidak mempunyai kelas”, lain halnya jika semua manusia yang ada sekarang musnah sama sekali tentulah terjadi proses : werden undvergehen, yakni perjuangan kelas terus-menerus hingga tercapai pergaulan hidup yang tidak mengenal kelas (menurut paham Karl Marx).

Di zaman purba waktu ilmu (wetenschap) masih muda, semua perjuangan dalam kegelapan (kelas-kelas) diterangi (dibereskan) oleh agama yang bermacam-macam; perjuangan golongan menyerupai keagamaan, umpamanya pertentangan Brahmanisme dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria dengan Ormus (terang dengan gelap), Mosaisme dengan Israilisme, kemudian Katholisme dengan Protestanisme. Akan tetapi, pada hakikatnya semuanya itu adalah perjuangan kelas untuk kekuasaan ekonomi dan politik.

Kemudian sesudah ilmu dan percobaan menjadi lebih sempurna, sesudah manusia melemparkan sebagian atau semua “kepicikan otak” (dogma), setelah manusia menjadi cerdas dan dapat memikirkan soal pergaulan hidup, pertentangan kelas disendikan kepada pengetahuan yang nyata. Dalam perjuangan untuk keadilan dan politik, manusia tidak membutuhkan atau mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab agama, tetapi langsung menuju sebab musabab nyata yang merusakkan atau memperbaiki kehidupannya. Di seputar ini sajalah pikiran orang berkutat dan ia dinamakan cita-cita pemerintahan negeri. Kepada masalah itulah segenap keaktifan politik ditujukan.

Tatkala kehidupan masih sangat sederhana dan terutama tergantung kepada pekerjaan tangan dan pertanian, pendeknya di zaman feodal, seorang yang mempunyai darah raja-raja, biarpun bodohnya seperti kerbau, “boleh menaiki singgasana dengan pertolongan pendeta dan bangsawan”, menguasai nasib berjuta-juta manusia.

Cara pemerintahan serupa itu menjadi sangat sempit tatkala teknik lebih maju dan feodalisme yang sudah bobrok itu pun merintangi kemajuan industri. Kelas baru, yaitu “borjuasi” yang menguasai cara penghasilan model baru (kapitalisme), merasa tak senang sebab ketiadaan hak-hak politik. Mereka meminta supaya pemerintahan diserahkan kepada mereka yang lebih cakap dan pemerintah boleh “diangkat” atau “diturunkan” oleh rakyat. Cita-cita politik borjuasi adalah demokrasi dan parlementarisme. Ia menuntut penghapusan sekalian hak-hak feodal dan juga menuntut penetapan sistem penghasilan dan pembagian (distribusi yang kapitalistis).

Tatkala raja dan para pendetanya tetap mempertahankan hak-haknya hancurlah mereka dalam nyala revolusi. “Revolusi borjuasi” tahun 1789 sebagai buah pertentangan yang tak mengenal lelah antara feodalisme dengan kapitalisme menjadikan negeri Prancis sebagai pelopor sekian banyak revolusi yang kemudian berturut-turut pecah di seluruh Eropa.

Nasib raja Prancis (yang digulingkan) diderita juga oleh raja Rusia yang mencoba-coba mengungkung borjuasi dan buruh dengan perantaraan kesaktian takhayul dan kekerasan di dalam sekapan feodalisme yang lapuk itu.

Cita-cita revolusioner berjalan terus tanpa mengindahkan adanya pukulan, peluru dan siksaan yang tak terlukiskan walaupun dengan pena pujangga Dostoyevsky. Di dalam gua-gua yang gelap, di dalam tambang-tambang di Siberia, di dalam penjara yang mesum, dingin dan sempit itu, angan-angan dan kemauan revolusioner memperoleh pelajaran yang tak ternilai. Kerajaan, gereja dan Duma (parlemen di Rusia) dalam waktu yang singkat habis disapu oleh gelombang revolusioner yang tak terbendung. Dalam revolusi buruh bulan November 1917 kelihatan bahwa kelas buruh mempunyai kekuatan dan kemauan yang melebihi borjuasi.

Raja Inggris, George III, yang tak mengindahkan riwayat negerinya sendiri menyangka bahwa armada yang kuat dan kebesaran kekayaannya dapat merintangi tumbuhnya kesosialan. Bangsa Amerika Utara dengan tak mengindahkan jumlahnya yang kecil, kurangnya pengalaman dalam soal penerangan, uang dan lain-lain alat material, dapat mencapai kemerdekaannya sesudah mengadakan perlawanan habis-habisan yang tak kenal lelah itu.

Baru setelah kungkungan ekonomi dan politik berhasil diputuskan dari imperialisme Inggris, dapatlah Amerika Utara melangkah menuju kekayaan kekuasaan dan kebudayaan yang sungguh tiada dua dalam riwayatnya.

Seandainya ia belum dua kali menceburkan diri kedalam revolusi (pada tahun 1860), Amerika Utara tak akan dikenal dunia selain sebagai Australia dan Kanada.

Revolusi sosial bukanlah semata-mata terbatas di Eropa saja, tetapi merupakan kejadian umum yang tidak bergantung kepada negeri dan bangsa. Tidakkah Jepang 60 tahun yang lalu (1868) menghancurkan sekalian hak-hak feodal dengan perantaraan revolusi? Sesudah kejadian itu, lenyaplah Kerajaan Matahari Terbit.

Pendeknya dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan.

Revolusi bukan saja menghukum sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai segenap perbaikan dari kecelaan.

Di dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru.

Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi.

Revolusi adalah mencipta!

II

IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA

1. Pengaruh Luar Negeri

Riwayat Indonesia tak mudah dibaca, apalagi dituliskan. Riwayat negeri kita penuh dengan kesaktian, dongengan-dongengan, karangan-karangan dan pertentangan. Tak ada seorang jua ahli riwayat dari Kerajaan Majapahit atau Mataram yang mempunyai persamaan dengan ahli riwayat bangsa Roma kira-kira di zaman 1400 tahun yang silam, seperti Tacitus dan Caesar. Kita terpaksa mengakui bahwa kita tak pernah mengenal ahli riwayat yang jujur.

Paling banter kita cuma mempunyai tukang-tukang dongeng, penjilat-penjilat raja yang menceritakan pelbagai macam keindahan dan kegemilangan supaya tertarik hati si pendengar.

Tetapi meskipun demikian ada jugalah batas dari karangan-karangan dan putar-memutar kejadian yang sesungguhnya. Tak usah terlampau jauh kita langkahi batas itu, niscaya berjumpalah dengan intisari yang sebenarnya. Demikian jugalah dengan riwayat-riwayat negeri kita. Di antara kekusutan-kekusutan dalam karangan itu, terbayanglah kebenaran, tampaklah Kepulauan Indonesia, kerajaan-kerajaan dan kota-kotanya yang berdiri dan kemudian runtuh, laskar yang berderap-derap, berperang, kalah dan menang, kekayaan, kesentosaan, dan pasang-surut kebudayaan dan seterusnya. Tak dapat dipungkiri bahwa di Malaka, Sumatera dan Jawa berdiri negeri-negeri yang besar. Di Borneo Tengah pun ada satu kerajaan yang agaknya tak seberapa kurangnya dari Kerajaan Majapahit. Di sana berdiri kota-kota yang besar penuh dengan gedung dan perhiasan yang indah-indah, sebagaimana yang dibuktikan oleh barang-barang yang dijumpai di dalam tanah hingga waktu sekarang.

Dapat pula dipastikan, bahwa Indonesia belum pernah melangkah keluar dari masyarakat feodalisme, dan bahwa ia jauh tercecer dari feodalisme di Eropa. Bangsa Yunani jauh lebih tinggi dari bangsa Indonesia — dalam hal ini Majapahit bila kerajaan ini dianggap sebagai tingkatan yang setinggi-tingginya — dalam hal pemerintahan negeri, politik, ilmu hukum dan kebudayaan. Ya, rakyat Majapahit sebenarnya tak pernah mengenal cita-cita pemerintahan negeri. Berabad-abad pemerintahan itu bukan untuk dan milik rakyat. Perkataan: “Bagi Tuankulah, ya, Junjunganku, kemerdekaan, kepunyaan dan nyawa patik,” pernah dan berulang-ulang diucapkan rakyat Indonesia terhadap raja-rajanya!! Di sana tak ada Orachus, Magna Charta dan tak ada pengetahuan yang diselidiki dengan betul-betul seperti yang dipergunakan Aristoteles, Pythagoras dan Photomeus. Pengetahuan mendirikan gedung-gedung dan ilmu obat-obatan kita masih dalam tingkatan percobaan. Keajaiban Borobudur kita tak seajaib segitiga Pythagoras, sebab yang pertama berarti jalan mati, sedang yang kedua menuntun manusia menuju pelbagai macam pengetahuan. Di manapun tak ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak kecerdasan pikiran!

Biarlah, tak usah kita ceritakan ilmu kebatinan Timur! Hal ini ada di luar batas pikiran; tambahan lagi bangsa Barat di Zaman Kegelapan (Abad Pertengahan) pun sudah mengenal itu. Lagi pula, kebatinan tidaklah bersandarkan kepada kebenaran sedikit jua, bahwa masyarakat kita senantiasa memperoleh dari luar dan tak pernah mempunyai cita-cita sendiri. Agama Hindu, Budha dan Islam adalah barang-barang impor, bukan keluaran negeri sendiri.

Selain itu, cita-cita ini tak begitu subur tumbuhnya seperti ke-Kristen-an di Eropa Barat. Mesin penggerak segenap pemasukan agama Hindu, Budha dan Islam sampai kepada masa kedatangan kapitalisme Belanda, serta semua perang saudara di waktu itu adalah berada di luar negeri. Indonesia adalah wayangnya senantiasa, dan luar negeri dalangnya.

2. Bangsa Indonesia yang Asli

Di zaman dahulu, tatkala bangsa Indonesia asli didesak oleh bangsa Tionghoa dan Hindu ke luar negerinya — Hindia-Belakang — dan melarikan diri ke Nusantara Indonesia, mereka telah mempunyai suatu peradaban. Pak tani di zaman itu menjelma menjadi bajak laut yang sangat buas dan ditakuti orang. Dengan Vintas (semacam perahu) kecilnya, mereka mengarungi seluruh kepulauan antara dua lautan besar, antara Amerika dan Afrika. Penduduk asli dari India dan Oceania ditaklukannya. Rimba raya hingga puncak gunung dijadikannya huma. Rumah yang bagus-bagus didirikannya, permainan dan pengetahuan dimajukannya. Tatkala bangsa Barat dan Timur menyembah kepada pedang Jengis Khan dan Timurleng serta lari ketakutan, waktu itu mereka bukan saja menentang, tetapi dapat pula mengundurkan laskar Mongolia. Bajak laut bernama Pakodato dari Kerajaan Singapura di Semenanjung Tanah Melayu pada tahun 500 dapat menggeletarkan Kerajaan Tiongkok dan Hindustan dengan angkatan armada serta pedangnya.

3. Pengaruh Hindu

Agaknya hawa tropika di lingkungan katulistiwalah, yang terutama menyebabkan teknik kita tak maju. Hawa yang subur dan melemahkan itu, serta sedikitnya penduduk, menjadikan kaum tani yang senang hidupnya itu, tinggal diam dan menerima, sedangkan kepulauan yang sangat banyak itu menarik hati penduduk di pantai-pantai, kepada perantauan dan pengalaman. Menurut riwayat dapat diketahui bahwa, sesudah dibawa pengaruh Hindu, kebudayaan mereka bertambah naik dan mereka mulai berkenalan dengan perampas. Kejadian itu berlangsung sesudah bangsa kita bercampur darah dengan penjajah-penjajah bangsa Hindu. Kini terbayanglah dalam benak kita kejadian-kejadian yang dapat digambarkan oleh kejadian-kejadian itu, yang membangkitkan tenaga terpendam itu jadi dinamis. Bukan oleh percaturan hidup kita sendiri (melawan atau antara kelas-kelas) maka penguraian kita perihal teknik kebudayaan feodalistis seperti tersebut di atas, tetapi disebabkan pengaruh yang datang dari luar.

Biarlah kita tinggalkan di sini perihal peraturan matriarchaat (pusaka turun kepada kemenakan) di Minangkabau yang berhubungan dengan keadaan alam dan kedudukannya yang terpencil. Dengan mendirikan demokrasi satu-satunya di Indonesia, kita tinggalkan pula riwayat Sriwijaya dan kerajaan lain-lain di Pulau Jawa, dengan menunjukkan garis-garis yang besar saja. Agama bangsa Indonesia, animisme, didesak oleh agama Hindu dan Budha, demikianlah kata orang kepada kita. Bangsa yang lebih pintar itu mengajarkan pemerintahan negeri, teknik kebudayaan yang lebih sempurna. Penduduk Pulau Jawa yang suka damai itu belum mempunyai pertentangan kelas dalam anti yang seluas-luasnya. Mereka tidak memberi kesempatan kepada pengikut-pengikut agama Hindu untuk mempertaruhkan kepercayaan mereka dalam sebuah pertentangan, yakni Hinduisme yang aristokratis dan Budhisme yang lebih demokratis. Ketajaman pertentangan agama, oleh masyarakat Jawa yang tidak mengenal kelas itu, dapat diredam. Sedikit atau banyak, semua filsafat Hindu diterima oleh penduduk Pulau Jawa yang asli. Siwa, Wisnu, dan dewa-dewa agama Budha yang di negeri asalnya satu dan lainnya bermusuhan serta berpisah-pisah, hidup bersama di Pulau Jawa dengan damainya.

Dalam hal yang seperti itu, Islam pun datang dan akhirnya mengambil kedudukan Hindu dan Budha.

Penduduk Jawa sekarang adalah “kristalisasi” dari bermacam-macam agama ketuhanan dan agama dewa-dewa (animisme). Ia bukan seorang animis, bukan seorang Hindu, bukan seorang Budha, bukan seorang Kristen dan bukan seorang Islam yang sejati. Indonesia menurut alam, tetapi Hindu-Arab dalam pikirannya.

4. Kegundahan (Pesimisme) Empu Sedah

Di kerajaan Daha yang kokoh lagi termashur yang diperintah oleh Raja Jayabaya, seorang yang cerdik dan pandai, lagi bijaksana, ada seorang ahli nujum yang bernama Empu Sedah, yang selalu gundah karena sangat curiga terhadap pengaruh luar negeri yang makin lama semakin besar. Dalam tulisannya disebutkan: “Sebuah revolusi di Pulau Jawa akan timbul, dipimpin oleh orang yang berkulit kuning dan akan memperoleh kemenangan buat beberapa lama”. Dalam perkataan sindirannya tertulis “akan memerintah seumur jagung”.

Tidakkah ramalan itu kemudian terbukti dengan kemenangan seorang Tionghoa Jawa bernama Mas Garendi yang dalam waktu yang singkat menggenggam kota Kartasura?

Di masa Empu Sedah, pengaruh bangsa Tionghoa makin lama bertambah besar.

Sudah pada tempatnya bangsa Tionghoa itu sedapat mungkin mempergunakan bangsawan Jawa sebagai alat untuk memenuhi kepentingan ekonomi mereka!

Bila maksud ini tak berhasil dengan pengaruhnya itu, adakalanya dengan jalan revolusi mereka mencoba-coba merebut pemerintahan negeri. Tetapi, supaya mereka dapat tetap memperoleh kemenangan mestilah mereka lebih kuat atau mendirikan satu kelas. Mereka haruslah menjadi anak negeri atau bercampur darah dengan bumiputra. Barulah mereka dapat menaklukkan raja dengan perantaraan kaum tani yang tidak senang itu. Karena bangsa Tionghoa dalam hal sosial tetap tinggal dalam ke Tionghoaannya dan tak memperoleh bantuan militer dari tanah air mereka, maka tak lamalah mereka sanggup mempertahankan kemenangan atas raja-raja Jawa itu.

Rupanya Empu Sedah mengerti betapa kebencian rakyat dan revolusi yang akan pecah. Sedang kekuatan nasional tak cukup kuat menahan revolusi sosial tersebut. Itulah yang menimbulkan kegundahannya.

Di Kerajaan Majapahit berdiri beberapa perusahaan batik, genteng dan kapal dengan kapital yang cukup besar. Dalam beberapa perusahaan bekerja ribuan kaum buruh. Nahkoda-nahkodanya telah ada yang dengan kapal‑kapalnya berlayar sampai ke Persia dan Tiongkok. Boleh jadi sungguh besar modalnya, malah modal orang asing. Saudagar-saudagar yang kaya di bandar-bandar seperti Ngampel, Gresik, Tuban, Lasem, Demak dan Cirebon agaknya adalah bangsa asing atau yang sudah bercampur darah dengan orang-orang Jawa. Nahkoda Dampu-Awang, menurut ceritanya yang berlebih-lebihan, mempunyai kapal yang layarnya setinggi Gunung Bonang dan kekayaannya kerapkali dijadikan ibarat, rasanya seorang Tionghoa-Jawa. Satu statistik di zaman itu tak ada pada kita! Tetapi banyak bangsa yang diam di Pulau Jawa dapat dibuktikan dengan perkataan seorang pujangga Majapahit, bernama Prapanca, “Tidak henti-hentinya manusia datang berduyun-duyun dari bermacam-macam negeri. Dari Hindia-Muka, Kamboja, Tiongkok, Annam, Campa, Karnataka, Guda dan Siam dengan kapal disertai tidak sedikit saudagar ahli-ahli agama, ulama dan pendeta Brahma yang ternama, siap datang dijamu dan suka tinggal.”

Sudah tentu, penduduk bandar-bandar yang makin lama makin maju itu merasa memperoleh rintangan dari kaum bangsawan di ibukota. Sebagaimana terjadi di negeri Eropa, penduduk bandar meminta hak politik dan ekonomi lebih banyak. Dari pertentangan antara pesisir dengan darat, perdagangan dengan pertanian, penduduk dengan pemerintah, timbullah satu revolusi yang membawa Pulau Jawa ke puncak ekonomi dan pemerintahan.

Bila bandarnya mempunyai industri dan perdagangan nasional yang kuat, niscaya Jawa akan mengalami satu revolusi sosial yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin satu revolusi sosial yang dibangkitkan, dipecahkan dan dipimpin oleh tenaga-tenaga nasional seperti terjadi di Eropa Barat, jadi revolusi borjuis terhadap feodalis.

Tetapi Jawa sesungguhnya dikungkung oleh ramalan Empu Sedah : “orang asing akan memimpin”.

Seorang keturunan Hindu bernama Malik Ibrahim pada tahun 1419, dengan membawa agama yang belum dikenal orang di Pulau Jawa, datang di Gresik yang ketika itu penduduknya kebanyakan orang asing. Dengan cepat ia memperoleh pengikut. Jadi boleh dikatakan, dengan kedatangannya yang membawa agama Islam ketika itu, bumiputra bagaikan memperoleh “durian runtuh”, karena ketika itu sedang berapi-api pertentangan antara penduduk pesisir dengan ibukota.

Keadaan bertambah kusut, dan pada akhirnya sampai ke puncaknya, yaitu penyerangan terhadap raja-raja yang dipimpin oleh seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden Patah. Dengan perbuatannya, Raden Patah menghancurkan kerajaan yang ada. Hal itu menunjukkan lagi bahwa seorang asing, dengan membawa paham baru (agama Islam) dan untuk mempertahankan kedudukan saudagar-saudagar asing di pesisir itu, berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan setengah Hindu. Kerajaan Demak berdiri dengan kemashurannya! Tetapi akhirnya terpecah belah oleh perang saudagar yang dinyala-nyalakan oleh orang asing yang cerdik-jahat.

Jipang bermusuhan dengan Pajang, Demak dengan Mataram. Semua perang saudara ini, besar atau kecil, untuk kepentingan bangsa asing, dalam waktu singkat berakhir dengan kemenangan seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi.

5. Tarunajaya

Sebagaimana di Kerajaan Roma dan Tiongkok, gundukan pengendali pemerintahan yang tidak mencocoki kebenaran di ibukota disapu oleh kekuatan baru dari daerah; demikianlah, darah Kerajaan Mataram akan dibersihkan dan dikuatkan oleh Tarunajaya serta kawan-kawannya.

Seorang putera Indonesia datang dari Makasar yang mengetahui jiwa (psikologi) rakyat Jawa mendapat pengikut yang besar, serta berhasil mengalahkan Raja Mataram yang keluar dari garis kebenaran itu. Pulau Jawa khususnya dan Indonesia umumnya akan mempunyai riwayat lain bila tidak datang satu kekuasaan baru di Pulau Jawa. Ramalam Empu Sedah yang lain sekarang seakan-akan terbukti, “Pemerintahan bangsa asing, yaitu kerbau putih yang bermata seperti mata kucing” (kebo bule siwer matane).

Dengan datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah segala sesuatu yang menyerupai kemerdekaan. Pengaruh bangsa asing dan percampuran darah dengan bangsa Asia lain-lain menyebabkan gencetan yang sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik “ditelan” bangsa itu (Belanda) dengan kekerasan dan kecurangan, seperti yang belum pernah dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya (kebiadaban) serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari!

Tarunajaya tak dapat melawan kekuasaan Belanda yang memakai senjata asing (Barat). Maka kucing melihat keadaan ini dan untuk pertama kali dipergunakanlah jalan politik devide et impera, memecah-belah dan menguasai, yang mashur itu. Sesudah Raja Mataram berjanji kepada Kompeni Hindia Timur untuk memberikan kekuasaan dan tanah, mulailah setan-setan itu bekerja.

Panembahan di Madura, seorang kawan dari Tarunajaya, disumbat oleh Kompeni Hindia Timur dengan mas intan dan perkataan yang manis-manis hingga mereka dapat bergandengan. Sekarang Tarunajaya berdiri di antara “tiga api”: Belanda, raja dan kawan lamanya. Inilah yang menyebabkan kalahnya Tarunajaya dengan disaksikan oleh Kompeni Hindia Timur sendiri!

Kerajaan Mataram yang tak semanggah itu mendapat “kemenangan” atas sokongan yang tak langsung dari Kompeni, namun suatu hal yang tak semanggah itu lambat laun akan menjadi kenyataan juga seperti yang terbukti pada akhirnya.

6. Diponegoro

Jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi yang mesti mempertalikan daerah-daerah yang dirampok itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels dengan cucuran peluh dan taruhan nyawa orang Jawa. Dengan adanya jalan itu, proses penanaman kapital jadi teratur. Tetapi proses itu tidak secara sukarela diterima oleh bangsa Indonesia. Ia adalah satu proses paksaan dan tidak menurut undang-undang alam. Saudagar di bandar-bandar didesak. Pelayaran dimonopoli oleh Belanda, bumiputra dilarangnya mempunyai hak milik. Pemasukan katun dari Barat yang murah harganya menghancurkan industri dan perdagangan, baik yang kecil maupun yang sedang. Borjuasi Jawa atau setengah Jawa dapat meneruskan langkahnya, yakni perjalanan antara feodalisme menuju kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas sampai kering, oleh kapital Barat dan perangkatnya; begitulah feodalisme Mataram yang hampir tenggelam itu.

Seorang anak jantan dengan kemauannya yang keras seperti baja, berpengaruh laksana besi berani, yakni seorang laki-laki yang di dalam dadanya tersimpan sifat-sifat putera Indonesia sejati, tak berdaya mengubah nasib yang malang itu. Jika Diponegoro dilahirkan di Barat dan menempatkan dirinya di muka satu revolusi dengan sanubarinya yang suci itu, boleh jadi ia akan dapat menyamai sepak terjang Cromwell atau Garibaldi. Tetapi ia “menolong perahu yang bocor”, kelas yang akan lenyap. Perbuatan-perbuatannya, meskipun penuh dengan kesatriaan, dalam pandangan ekonomi adalah kontra-revolusioner. Dan sangat susah dipastikan, macam apakah Diponegoro dalam pandangan politik, sebab tak dapat disangkal lagi bahwa cita-citanya adalah “Singgasana Kerajaan Mataram”. Satu kekuasaan yang mudah berubah menjadi kelaliman.

Diponegoro menunjang kesuburan modal serta perluasan jalan. Karena itu, ia menghalang-halangi kenaikan penghasilan atau secara ekonomi, kontrarevolusioner. Tak pernah kita baca bahwa ia menentang kapital-imperialistis dengan menghidupkan kapital nasional. Pendeknya, ia tidak mempunyai program politik atau ekonomi. Ia merasa didesak oleh kekuasaan baru dan setelah dia lihat bahwa kekuasaan baru itu mempergunakan kekuasaan Mataram yang bobrok itu sebagai alat, maka kedua musuh itu pun diterjangnya.

Sekiranya Pulau Jawa mempunyai borjuasi nasional yang revolusioner, Diponegoro dalam perjuangannya melawan Mataram dan Kompeni pastilah berdiri di sisi borjuasi itu. Dengan begitu niscaya dapatlah tercipta suatu perbuatan yang mulia dan pasti. Tetapi itu tak ada, borjuasi yang berbau keislaman dalam lapangan ekonomi dihancurkan oleh kapital Belanda sama sekali. Dalam kekecewaan yang hebat terhadap Mataram dan Kompeni, dapatlah ia mempersatukan diri di bawah pimpinan Kyai Mojo, seorang ahli agama Islam yang fanatik dan bersemboyan “Perang Sabilullah”, bukan kebangsaan.

Menarik satu kesimpulan terhadap pemberontakan Diponegoro bukanlah satu pekerjaan yang mudah. Karena hal ini sesungguhnya perjuangan kaum borjuasi Islam Jawa menentang kapital Barat yang disokong oleh satu kerajaan yang hampir tenggelam (Mataram).

Akibatnya sungguh jelas. Tak ada seorang pun mampu, bagaimanapun pintarnya, menolong satu kelas yang lemah, baik teknik maupun ekonomis melawan satu kelas yang makin lama makin kuat.

Satu kelas baru mesti didirikan di Indonesia untuk melawan imperialisme Barat yang modern.

Apakah kesimpulan dari riwayat-riwayat yang tersebut di atas?

Pertama, bahwa riwayat kita ialah riwayat Hindu atau setengah Hindu; kedua bahwa perasaan sebagai kemegahan nasional jauh dari tempatnya; dan yang penghabisan, bahwa setiap pikiran yang mencitakan pembangunan (renaissance) samalah artinya dengan menggali aristokratisme dan penjajahan bangsa Hindu dan setengah Hindu yang sudah terkubur itu.

Bangsa Indonesia yang sejati dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing.

Kebangsaan Indonesia yang sejati tidak ada kecuali ada niat membebaskan bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka itu.

Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan.

Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari tindasan kaum imperialis.

III

BEBERAPA MACAM IMPERIALISME

1. Berbagai Cara Pemerasan dan Penindasan

“Tuhan menciptakan dunia menurut gambaran-Nya sendiri”.

Orang asing yang menjajah Asia selama 300 tahun adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing dan mereka memerintah negeri-negeri taklukannya dengan berbagai cara. Adapun secara ekonomis, dari dulu sampai sekarang dapat dibagi sebagai berikut.

  1.  Perampokan terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.
  2.  Monopoli, yang dalam praktiknya sama dengan perampokan, masih terus dilakukan oleh Belanda di Indonesia sampai sekarang (± tahun 1926, peny.).
  3.  Setengah monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India.
  4.  Persaingan bebas, mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.

Cara-cara imperialis lain hampir dapat disamakan dengan cara yang tersebut di atas.

Adapun cara penindasan dalam politik adalah seperti di bawah ini.

  1.  Imperialisme biadab, yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputra dan menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah Spanyol di Filipina.
  2.  Imperialisme autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut pasal a seperti Belanda.
  3.  Imperialisme setengah liberal, yakni imperialisme yang memberikan kekuasaan yang sangat terbatas kepada bumiputra yang berkuasa (raja-raja atau kepala negara yang turun-temurun seperti Inggris di India).
  4.  Imperialisme liberal, yakni imperialisme yang memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada tuan tanah yang besar serta kepada borjuasi bumiputra yang mulai naik, misalnya adalah imperialisme Amerika di Filipina.

2. Sebab-Sebab Perbedaan

Perbedaan dalam cara pemerasan dan penindasan terhadap si terjajah disebabkan bukan oleh perbedaan tabiat manusia di negeri-negeri imperialis tersebut. Tetapi karena kedudukan kapital dari masing-masing negeri waktu mereka sampai di Asia, dan juga cara menjalankan kapital tersebut.

Waktu Spanyol dan Portugis kira-kira tahun 1500 datang di Asia, mereka belum terlepas sama sekali dari feodalisme. Portugis dan Spanyol adalah negeri pertanian, pekerjaan tangan, kaum bangsawan dan kaum agama (jadi belum ada industri).

Barang-barang industri yang dapat dijual di pasar-pasar tanah jajahan belum ada. Mereka datang ke koloni-koloni untuk merampok hasil-hasil di sana lalu dijual dipasar Eropa dengan harga tinggi. Karena mereka sangat keras memeluk agama Katholik yang baru saja mengusir Islam dari Spanyol, maka bangsa Indonesia yang memeluk agama animis di Filipina itu dipaksa menjadi orang Kristen. Siapa yang tidak suka mengikut paksaan itu dipancung dengan pedang.

Waktu Belanda mengikuti Spanyol dan Portugis sampai ke Indonesia kira-kira tahun 1600, sebagian besar dari feodalisme Belanda telah didesak oleh borjuasinya. Mereka telah melepaskan diri dari tindasan feodalisme serta Katholikisme dan mengambil jalan menuju perdagangan merdeka, liberalisme dan Protestanisme. Negeri Belanda ada di dalam zaman kapitalisme muda.

Inggris yang pada tahun 1750 dapat berdiri tetap di India, sebenarnya telah 100 tahun lamanya menyelami revolusi borjuasi di bawah pimpinan Cromwell.

Setelah itu kapitalisme Inggris semakin maju dengan sangat cepatnya, disertai dengan paham-paham perdagangan bebas, liberalisme, konstituationalisme dan kepercayaan merdeka.

Amerika sampai di Filipina pada tahun 1898 setelah mengalami dua revolusi borjuasi (1775 dan 1860). Ia kokoh memegang paham Monroe, demokrasi dan politik pintu terbuka.

3. Akibat dari Berbagai Macam Cara Pemerasan dan Penindasan

Sebagai buah dari cara perampokan itu, maka Portugis dan Spanyol akhirnya dihalau dari tanah jajahannya (Siapakah yang akan dihalaukan sekarang).

Sekalipun semangat revolusioner di Indonesia sudah matang dan menyala-nyala tetapi persediaan belum cukup, maka imperialisme Belanda masih berdiri.

Dengan jalan memberikan konsesi-konsesi yang besar, kalau terpaksa, serta politik kompromis kepada segolongan orang India, maka imperialisme Inggris masih berdiri di sana.

Dengan berkedok untuk mengasuh, menolong dan mengasihi manusia serta memberikan otonomi-ekonomi, politik ekonomi yang besar kepada bumiputra di Filipina maka, imperialisme Amerika masih dapat membuat kekacauan di sana.

a. India

Meskipun Waren Hasting dan Lord Clive membunuh dan merampok, perbuatan mereka tidak boleh disamakan dengan perbuatan Daendels, van den Bosch serta lain-lain, sebab sistem kolonial Inggris dari segi “material dan riwayat” jauh lebih mendingan daripada sistem Belanda (tentu saja kita tak menghendaki imperialisme macam apa pun). Nafsu membunuh dan merampok dari imperialisme Inggris tak dapat menghancurkan kemauan bangsa India.

Kemauan itu memperlihatkan dirinya terutama dengan barang-barang hasil India yang belum dirampok oleh Inggris. Setelah mengalami beberapa perjuangan politik dan ekonomi, dapatlah bangsa India mendirikan industri, pertanian besar, dan perdagangan besar nasional. Selain itu, imperialisme Inggris mengadakan sekolah dari tingkatan terendah sampai sekolah-sekolah tinggi (lebih dari lima universitas) dan semenjak beberapa lama telah mengadakan sistem pemerintahan sampai kepada “dominion” atau lebih jauh lagi. India telah mempunyai seorang Tilak, Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr. C. Bose dan Dr. Naye yang termashur ke seluruh dunia. Sekalian kaum terpelajar ini dilahirkan dalam pengakuan imperialisme Inggris.

Karena Inggris di negerinya sendiri mempunyai bahan-bahan untuk industri (arang dan besi), dengan sendirinya ia menjadi bengkel dunia. Sebab ia tak mempunyai kapas pada permulaannya, dijadikanlah India sebagai kebun kapas. Selain itu, sebagai negeri industri yang mempunyai penghasilan yang amat besar, Inggris membutuhkan pasar-pasar. Karena itulah, tanah Inggris (negeri industri semata itu) terpaksa bekerja bersama-sama dengan India, meskipun pada permulaannya secara tak langsung. Bukankah firma-firma dan maskapai-maskapai, baik impor atau ekspor dalam perdagangan yang sedemikian besarnya antara Inggris dan India, membutuhkan kaum saudagar pertengahan bangsa India sebagai perantaraan? Dan lagi bukankah tak selamanya “bayonet” dapat memaksa suatu bangsa untuk membeli barang-barang? Mau tak mau ia mesti menaikkan taraf hidup, jika ia ingin memperoleh pembelian yang tetap. Inilah yang memaksa imperialisme Inggris memberikan pendidikan Barat kepada segolongan bangsa India. Sekolah Tinggi pertama di Benggala yang sekarang sudah berusia 100 tahun, yang pada mulanya hanya boleh dimasuki oleh anak orang kaya dan aristokrasi, kemudian dibenarkan juga buat anak orang biasa.

Dalam waktu yang singkat, sekolah-sekolah tinggi itu pun menghasilkan sekian banyak kaum terpelajar, hingga birokrasi Inggris tak dapat menerima mereka sama sekali. Timbullah di sana kelas yang terdidik secara Barat dan yang merasa tak senang, yaitu kaum buruh halus. Dari kelas inilah kemudian lahir beberapa orang pemimpin pergerakan kemerdekaan yang terkenal sebagai ekstrimis, yakni kaum kiri. Demikianlah, imperialisme Inggris melahirkan musuhnya serta menggali kuburnya sendiri.

Dengan pimpinan Tilak yang termashur itu, timbullah aksi boikot pada tahun 1900-1905. Maksudnya supaya industri dan perdagangan nasional hidup, yaitu dengan jalan memboikot barang-barang pabrik Inggris yang diimpor ke India (kapas ditanam di India, sesudah itu dikirimkan ke negeri Inggris, dengan harga yang berlipat ganda dijual pula kepada pembeli bangsa India).

Dengan mempergunakan barang-barang yang belum dirampok “sebagai senjata”, kaum terpelajar memperoleh kemenangan. Tuan tanah yang besar-besar dan saudagar-saudagar memberikan pertolongan berupa kapital, semangat dan alat untuk memenuhi program kaum ekstrimis. Meskipun penuh dengan rintangan-rintangan politik, ekonomi, keuangan dan alat yang luar biasa dapat jugalah Tilak dan kawan-kawannya meraih kemenangan. Berbagai industri, termasuk industri tenun — industri nasional waktu sekarang — adalah buah tangan yang terpenting dari Tilak dan kawan-kawannya. Pun industri itu sudah mempunyai lapangan internasional. Sebagian besar kemenangan itu juga tergantung pada pertolongan buruh dan tani bangsa India.

Berdiri di atas kemenangan Tilak, dapatlah Mr. Gandhi meraih kemenangan dalam pergerakan noncooperation atau gerakan boikot. Hampir semua pabrik tenun di Bombay (lebih kurang 200 jumlahnya) sekarang dimiliki dan dikelola oleh otak dan tenaga India. Kapas Inggris terpukul dalam persaingan yang hebat, bukan saja di India tetapi juga di Afrika, Melayu, Tiongkok dan lama-kelamaan juga di Eropa.

Undang-undang perdagangan India belakangan ini melindungi kapas keluaran India. Tidak sedikit kebun-kebun firma dan bank sekarang bekerja dengan kapital India dan dipimpin oleh bangsa India. Industri-industri seperti arang dan besi; serta industri logam yang modern sekarang dipegang oleh bangsa India. Jika waktu perang dunia Inggris membeli gerobak kereta api dari “Tata Coy”, sekarang (semenjak lebih kurang 2 tahun) ia membuat perjanjian akan membeli juga mesin-mesin kereta api. Pendeknya, tanpa kekerasan imperialisme Inggris, kapital nasional India berdiri — yang berakibat perjuangan yang tak mau kalah, yang kadang-kadang menimbulkan pertumpahan darah. India sekarang ada di zaman industri besar yang modern. Negeri Inggris bukan lagi jadi pusat bengkel di dunia meskipun di dalam kerajaannya sendiri; dan India bukan lagi kebun kapas bagi Britania.

Setelah Inggris takluk dalam percaturan ekonomi, terpaksalah ia mengakui kemenangan India dalam politik. Di sana sekarang berdiri industri nasional yang kepentingan materialnya dalam beberapa hal bersamaan dengan kepentingan penjajah. Tinggal lagi bagi Inggris memberikan konsesi-konsesi politik kepada wakil-wakil tuan tanah yang besar dan borjuasi modern.

Memang inilah artinya kerja islah pemerintahan negeri yang telah bertahun-tahun dilakukan — MontageuChelmsfordsplan. Daerah besar-besar yang berpenduduk 50,000,000 seperti Benggala dan Daerah Tengah setelah diadakan islah (hervorming) dengan perantara majelis-majelis daerah, hampir jatuh ke tangan bangsa India sepenuhnya. Pemilihan dewan yang tertinggi (Duma bangsa India), dipengaruhi oleh kaum Swaray, militer, perguruan, dan pengadilan, dalam beberapa tahun ini disediakan – ditempati oleh putera-putera India yang cakap dan setia.

Meskipun demikian, belumlah ada satu perwakilan rakyat (parlemen) dan kabinet yang bertanggung jawab. Sungguhpun islah pemerintahan India jauh lebih sempuma dari Dewan Rakyat ala Belanda, tetapi belum sampai seperti Dominion Canada, konstitusi Filipina atau Mesir. Tetapi sejumlah pemimpin dan kaum ekstremis dapat ditarik hatinya oleh islah itu. Karena itu pergerakan kaum revolusioner untuk sementara waktu “terkandas” hingga imperialisme Inggris memperoleh kesempatan untuk menarik napas.

b. Filipina

Keadaan di Filipina berlainan sedikit dengan di India. Bangsa Amerika datang, pada tahun 1898, waktu bangsa Filipina telah “tiga perempat berhasil” melemparkan kekuasaan Spanyol. Awalnya Amerika berlaku sebagai kawan, tetapi setelah kokoh pendiriannya dia tinggal terus dalam negeri itu. Perang Filipina -Amerika yang 33 tahun lamanya (1898-1901) tak berhasil menghalau pencuri itu. Sebelum kedatangan Amerika, bangsa Filipina sudah dapat menunjukkan beberapa nasionalis besar seperti Dr. Rizal (yang ditembak orang Spanyol dari belakang); seorang organisator, Bonifacio, seorang diplomat Mahbini dan panglima perang Luna serta Aquinaldo.

Karena itu perlulah dipakai suatu tipu daya yang sangat fisik untuk mengelabui mata sebuah bangsa yang gagah lagi cerdik, seperti rakyat Filipina itu.

Disebabkan oleh kebesaran dan kekayaan Amerika dan oleh salah satu paham anti-imperialisme di antara bangsa Amerika yang berpengaruh, dengan segera kaum imperialis mengerjakan islah. Politik dalam negeri, dengan perantara “Senat” dan “House of Representative“, sekarang boleh dikatakan ada di dalam tangan bumiputra. Semua wakil dari kedua dewan itu — kecuali dari beberapa daerah Islam — dipilih dengan hak memilih yang sepenuh-penuhnya dan semuanya adalah orang Filipina. Sebagian besar gubernur dari daerah-daerah adalah juga orang Filipina. Hanya beberapa kepala departemen saja orang Amerika. Di dalam satu konstitusi, Amerika mesti berjanji akan memberikan “kemerdekaan” yang seluas-luasnya “kepada bangsa Filipina setelah mereka dapat menunjukkan kecakapan mendirikan pemerintahan yang tetap”.

Sekolah rendah diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan mementingkan pertanian.

Perusahaan yang menjadi pokok dari ekonomi Filipina sekarang dipegang oleh bumiputra sepenuhnya. Beberapa pabrik, rumah-rumah perdagangan dan maskapai-maskapai kapal adalah kepunyaan atau dipimpin oleh orang Filipina. Empat buah Universitas dan beberapa sekolah tinggi setiap tahun meluluskan putera dan puteri Filipina dalam jumlah besar untuk mempertahankan bangsa yang 12,000,000 jiwa itu dari tipu daya dan kecurangan Amerika.

Hanya sedikit sekali penduduk yang buta huruf. Boleh dikatakan semua anak-anak masuk sekolah. Hingga sampai ke sudut-sudut yang jauh, selain dari bahasa sendiri, pemuda-pemudanya mengerti bahasa Inggris.

Biarpun perguruan di sana tak menyenangkan hati seorang Belanda yang terpelajar seperti Dr. Nieuwenshuis – yang tentu sekali akan selamanya menjilat-jilat kudis pemerintahannya sendiri, sambil menghinakan perbuatan orang lain, tetapi karena ketinggian intelek Filipina, orang-orang Amerika yang hebat dan kaya-kaya itu tak dapat berbuat sesuka hatinya sendiri.

Sebab Amerika pada tahun 1925 mesti membayar harga karet f 540,000,000 lebih banyak daripada tahun 1924 kepada Inggris, timbullah pikiran orang Amerika untuk membuka kebun di Filipina Selatan yang tanahnya bagus buat karet.

Tetapi pemimpin-pemimpin Filipina bekerja keras untuk menghindari terkaman “serigala-karet” bangsa Amerika. Sebelum mereka bertindak lebih jauh buat memperoleh tanah yang luas untuk kebun karet, dalam konsesi — berkat usaha pemimpin-pemimpin Filipina, anggota Senat dan House dengan hukum tanah (landwet) nya yang lama ditentukan bahwa “tidak lebih dari 2500 acres (satu acre 4840 yard persegi) yang boleh disewakan kepada orang asing. Belum berapa lama berselang serigala karet itu, dengan perantaraan Firestone datang meminta konsesi untuk kebun karet itu. Mereka disambut dengan perkataan bahwa hukum tanah Filipina “tidak memberi izin”.

Pemimpin-pemimpin Filipina berpendapat bahwa apabila Amerika menanam kapitalnya di Filipina, selain rakyat segera akan menjadi sengsara (seperti di Jawa) juga Amerika akan mendapat satu alasan untuk merintangi kemerdekaan Filipina. Imperialisme Amerika yang tidak kurang cerdiknya dari imperialisme Anglosakson bukankah kelak dapat mengatakan, bahwa satu kegoncangan boleh jadi akan muncul karena kepergian Amerika yang belum pada waktunya? Kepentingan-kepentingan Amerika membahayakan di Filipina.

Inilah sebabnya maka pemimpin-pemimpin Filipina dengan tergesa-gesa mengeluarkan hukum tanah tersebut dari kitab undang-undang dan membeberkannya kepada seluruh rakyat… Layaknya sebuah kampung kedatangan seekor macan.

Sebuah bangsa yang sudah terbuka matanya seperti Filipina, tambahan pula diberi wawasan oleh surat-surat kabar bumiputra (disebabkan sekolah tinggi yang dikutuki Dr. Nieuwenshuis yang terpelajar itu!), dapat melihat dan melaksanakan kebenaran dari pemimpin-pemimpinnya. Dengan diiringi oleh seluruh rakyat, dapatlah pemimpin-pemimpin Filipina setiap waktu memanah serigala karet imperialisme Amerika dengan panah hukum tanah yang liat itu.

Tidak seorang pun yang mencela sistem perguruan yang tidak nasional itu selain dari pemimpin-pemimpin Filipina sendiri. Selain itu pun ada kesulitan-kesulitan untuk mengambil peran perdagangan dari bangsa asing. Tetapi semuanya mereka sekata (semufakat) bahwa sistem perguruan yang sehat dan perubahan ekonomi yang sebaik-baiknya hanya dapat dilakukan dengan sempurna setelah tercapai kemerdekaan bangsa. Dan di sudut dunia manakah hal itu dipandang secara berlainan? Adanya Gubernur Jendral yang mempunyai hak mencegah (recht van veto) menjadi rintangan bagi islah ekonomi yang semata-mata bagi bangsa Filipina. Itulah sebabnya, saudara-saudara kita di sebelah utara sana masih terus berjuang semata-mata untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya.

Konsesi yang besar-besar, yang dengan terpaksa diberikan oleh Amerika mulai 25 tahun yang silam tak dapat mendinginkan sanubari bangsa Filipina untuk merampas hak kelahiran dan kemerdekaannya.

Seandainya yang dipertuan bangsa Filipina bukan Amerika (satu negeri yang terkuat dan terkaya di atas dunia), tetapi “perampok di tepi Laut Utara (Belanda) yang termashur itu”, niscaya telah lama yang dipertuan itu dihalau mereka masuk ke dalam neraka.

Inggris menguasai karet lebih dari dua pertiga dan Amerika memakai 72 % dari hasil dunia. Disebabkan masih berlakunya “Stevenson Rubber Restriction’s policy“, tuan-tuan kebun dan mereka yang mempunyai monopoli, bangsa Inggris sajalah yang menguasai karet sedunia ini — verslag kamer van koophandel Amerika yang diumumkan dalam Manila Tribune, 26 Juli ’25.

c. Indonesia

Keadaan India dan Filipina yang saya kemukakan di atas, saya maksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang imperialisme.

Perihal Indonesia, sekarang dan nanti, akan kita uraikan di belakang dengan panjang lebar. Setelah memperhatikan semua yang diuraikan di atas, niscaya tak sudah bagi pembaca untuk mengartikan perampokan, pembakaran, dan pembunuhan yang dilakukan orang Belanda. Karena itu, kita tidak akan berlama-lama menggambarkan hongi-hongi (merica di Ambon), kebun kopi yang sekarang dipanggil penanam merdeka. Semuanya telah terkenal dan dikutuki oleh setiap manusia yang berotak.

Jauh dari maksud kita mengatakan bahwa sekalian kejadian itu adalah semata-mata perbuatan “manusia” Belanda. Kita sendiri telah cukup mengenal pekerti dan tabiat bangsa Belanda. Tetapi lagak dan lagu imperialisme Belanda menjadikan seorang bangsa Belanda seperti yang kita kenal dulu dan sekarang — jahat dan bengis.

Tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka hanyalah negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.

Juga sekarang negeri itu masih tetap tinggal sebagai negeri tani dan saudagar. Dan ia tidak akan menjadi lain, karena ia tak mempunyai bahan dasar untuk industri besar, yakni arang, besi dan kapas. Sekiranya negeri Belanda tidak mempunyai tanah jajahan niscaya ia tak dapat menyamai Belgia atau Swedia.

Setinggi-tingginya ia hanya satu negeri tani dan saudagar-saudagar kecil yang sunyi seperti Denmark.

Dengan keberanian dan kemauan seorang bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung kopi yang kecil, habislah sekalian hasil negeri Indonesia dirampasnya. Tak ada sebutir batu pun untuk perumahan ekonomi bumiputra yang ketinggalan. Bagaimana mungkin kita harapkan pemerintahan bijaksana dari bajak laut, tukang warung kecil ini ! (Hoe kan men okk vooruitziensheid en staatsmanschap van een piraat – kruidenier verwachten!).

Sebelum datang Kompeni Hindia-Timur, orang Tionghoa, Hindu-Arab (lama-kelamaan) menjadi orang Jawa atau setidak-tidak terus tinggal di negeri ini, tetapi bangsa Belanda datang ke Indonesia dan balik ke negerinya dengan karung yang penuh berisi. Di sana dihambur-hamburkan uang Indonesia dan di sanalah mereka menyedot dana pensiunnya dari peti uang Indonesia. Akibatnya, bocor dan keringlah ekonomi Indonesia!

Sekiranya negeri Belanda adalah sebuah negeri industri yang maju niscaya lambat laun terpaksalah ia seperti Inggris dan Amerika, memakai politik yang lain.

Ia tentu akan memakai politik liberal terhadap orang Jawa atau Indo-Jawa serta bangsawan Jawa. Dengan demikian, kemajuan politik dan ekonomi sebagai sekarang terjadi di Filipina dan India, boleh juga terjadi di Indonesia. Biarpun Belanda semenjak 20 tahun belakangan ini mulai mengindustrialisasi Indonesia, tetapi tujuannya tetap monopoli. Kapitalnya tetap kapital luar negeri.

Jurang antara penjajah dan si terjajah sekarang masih tetap sebagai di zaman Daendels dan van den Bosch. Hanya suara revolusi yang gemuruh sajalah yang dapat menimbun jurang yang dalam itu.

Tetapi agaknya oleh karena hal inilah maka Indonesia dan negeri-negeri Asia yang lain kelak memberi selamat kepada imperialisme yang dipertahankan Belanda itu. Sebab dari pertentangan sosial yang tajam di Indonesia itu, satu masa niscaya akan timbul kodrat baru yang dapat melepaskan Indonesia dan seluruh Asia dari tindakan Barat untuk selama-lamanya.

IV

KAPITALISME INDONESIA

Kapitalisme di Indonesia adalah cangkokan dari Eropa yang dalam beberapa hal tak sama dengan kapitalisme yang tumbuh dan dibesarkan dalam negerinya sendiri, yakni Eropa dan Amerika Utara.

1. Kapitalisme yang Masih Muda

Karena kapitalisme di Indonesia masih muda, produksi dan pemusatannya belumlah mencapai tingkat yang semestinya. Kira-kira seperempat abad belakangan baru dimulai industrialisasi di Indonesia. Baru pada waktu itulah dipergunakan mesin yang modern dalam perusahaan-perusahaan gula, karet, teh, minyak, arang dan timah.

Industri Indonesia, terutama industri pertanian, masih tetap terbatas di Jawa dan di beberapa tempat di Sumatera. Tanah yang luas, yang biasanya sangat subur dan mengandung barang-barang logam yang tak ternilai harganya, seperti Sumatera, Borneo, Sulawesi dan pulau-pulau yang lain masih menunggu-nunggu tangan manusia. Meskipun Pulau Jawa dalam hal perkebunan dan alat-alat angkutan sudah mencapai tingkatan yang tinggi, tetapi umumnya pulau luar Jawa, kecuali Sumatera, masih rimba raya.

Industri modern yang sebenarnya tidak akan diadakan di Pulau Jawa. Ia akan tetap tinggal menjadi tempat industri pertanian. Sebab logam-logam seperti besi, arang, minyak tanah, emas dan lainnya, tidak atau hanya sedikit sekali didapat di sana. Sumateralah yang menjadi tempat industri modern yang sebenarnya. Hal ini sekarang sebagian kecil telah terbukti. Arang, minyak tanah, emas dan timah hasil Sumatera (kelak juga besi) besar artinya, baik di kalangan nasional maupun internasional.

Inggris, negeri industri yang tertua di dunia, pada pertengahan abad yang lalu mengadakan perubahan yang tepat dalam perindustriannya. Negeri-negeri Eropa yang lain dan Amerika Utara mengikuti pula berangsur-angsur. Teknik dan peraturan bekerja di sana sekarang telah sampai pada tingkat yang setinggi-tingginya seperti yang belum pernah dikenal oleh riwayat dunia. Tenaga produksi dan distribusi jauh melewati batas keperluan nasional. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi negeri kapitalis yang matang.

Kapital memisahkan kota dengan desa. Kota menghasilkan produksi industri dan produksi pertanian. Makin maju kapitalisme, semakin banyak penduduk yang tadinya di desa-desa ditarik ke kota-kota. Bukankah di kota sewaktu keadaan politik dan ekonomi baik, kita peroleh lebih banyak pekerjaan, lebih banyak rumah-rumah pendidikan dan lebih banyak kesenangan daripada di desa-desa? Pada tahun 1790 di kota-kota berdiam 3.4% dan di desa-desa 96.6% penduduk dari seluruh penduduk, dan pada tahun 1920 menjadi 51 % dan 49%. Di tahun 1870 angka-angka itu jadi 21% dan 79% dan di tahun 1910 jadi 51 % dan 49%. Jadi, jumlah penduduk di desa-desa pada tahun 1920 lebih kecil dari penduduk kota. Angka-angka ini membuktikan secara nyata pada kita perihal kemajuan kota-kota Amerika, sebagai akibat dari kemajuan industrialisasi. Di negeri Inggris proses pembagian itu (perihal kota dan desa) sama teratur dan sama cukupnya. Pada tahun 1850 di kota-kota berdiam 49% penduduk dari seluruh penduduk. Pada tahun 1900 perbandingan ini menjadi 77% dan 23%, (The relation Governement to industry, M.L. Regua).

Menurut foods No. 73 tahun ini, jumlah penduduk dan kota-kota yang mempunyai lebih 10,000 jiwa di Jawa dan Madura baru 60% dari seluruh penduduk.

Jika kita pakai perbandingan antara penduduk kota dan desa sebagai ukuran kemajuan industri satu-satu negeri, niscaya industri Indonesia masih di dalam keadaan bayi.

Jika kita ambil pula jumlah panjangnya jalan kereta api untuk menggambarkan kemajuan industri selaku penjelasan uraian kita yang di atas, nyatalah kepada kita bahwa negeri Jerman, dengan 177,000 mil persegi luasnya dan penduduknya yang lebih sedikit dari Indonesia, pada tahun 1913 mempunyai 38,809 mil jalan kereta api, sedang Indonesia yang luasnya 735,000 mil persegi, pada tahun 1919 hanya ada mempunyai 3,914 mil.

Perihal jumlah perdagangan (impor-ekspor) di Indonesia 1924 (sesudah perang dunia) ada f 2,208,800 (menurutInternational Ocean, no. 526, Negeri Jerman pada tahun 1913 [sebelum perang] ada f 13,375,000.000). Angka-angka ini menunjukkan kemunduran kita. Tetapi jika dibandingkan dengan negeri seperti Inggris, India, dan Filipina, kelihatannya Indonesia belum berapa mundur. Dan bila dibandingkan dengan Turki, Siam, dan Tiongkok, Indonesia jauh lebih baik. Dengan membuat perbandingan itu sebagaimana yang sudah kita lakukan, sebetulnya ini telah melebihi dari kemestian. Maksud kita tak lain ialah untuk menerangkan betapa mudanya kapitalisme di Indonesia.

2. Tumbuh Tidak dengan Semestinya

Kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra yang menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra.

Bila kita perhatikan perkembangan kapitalisme di Eropa dan Amerika, nyatalah pada kita bahwa cara produksi yang tua berturut-turut digantikan oleh yang muda. Biasanya kejadian itu tidak tampak jelas, tetapi adakalanya cepat sehingga cukup jelas. Kejadian yang belakangan ini ialah oleh adanya pendapatan-pendapatan baru. Biar bagaimanapun keadaan saat itu, ia adalah kemajuan menurut alam, sebab tenaga yang mendorongkan pada kemajuan itu ada di dalam genggaman masyarakat di Eropa dan Amerika sendiri.

Sebagaimana yang telah kita tunjukkan, kemajuan industri di setiap negeri sejajar dengan timbulnya kota-kota yang mengeluarkan terutama barang-barang industri seperti barang-barang besi, perkakas pertanian, obat-obatan dan lain-lain. Desa-desa mengeluarkan beras, sayur-mayur, binatang ternak, susu dan lain-lain. Barang-barang kota yang berlebih — yakni barang itu dipandang penduduk kota sebagai keperluan hidupnya ditukarkan dengan barang-barang desa yang berlebih itu.

Di Amerika pada waktu yang biasa seperti pada tahun 1913, selagi negeri ini terpencil dan kurang imperialistis, seperti sekarang ini, boleh dikatakan sama besarnya perbandingan antara barang-barang industri dengan pertanian (harga pasar antara kedua barang itu hampir sama). Jadi dalam pemandangan ekonomi kota memenuhi keperluan desa, desa memenuhi keperluan kota.

Di Indonesia sebagai akibat kemajuan ekonomi yang tidak teratur sebagaimana mestinya, tidak seperti di atas keadaannya. Kota-kota kita tak dapat dianggap sebagai konsentrasi dari teknik, industri, dan penduduk. Ia tak menghasilkan barang-barang baik untuk desa maupun untuk perdagangan luar negeri, dari kapitalis-kapitalis bumiputra. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumah tangga, bahan-bahan untuk pakaian dan lain-lain tidak dibuat di Indonesia, tetapi didatangkan dari luar negeri oleh badan-badan perdagangan imperialistis. Desa-desa kita tak menghasilkan barang kebutuhan untuk kota-kota, karena untuk mereka sendiri pun tak mencukupi. Beras misalnya, makanan rakyat yang terutama mesti didatangkan dari luar, di tahun 1921 seharga f 114,160,000, meskipun bangsa kita umumnya sangat pandai mengerjakan tanahnya dan semua syarat untuk menghasilkan beras bagi keperluan sendiri bahkan dapat pula mengeluarkan berasnya yang berlebih. Desa-desa kita mengeluarkan gula, karet, teh, dan lain-lain barang perdagangan yang mengayakan saudagar asing, tetapi memiskinkan dan memelaratkan kaum tarsi; kota-kota kita bukanlah menjadi pusat ekonomi bangsa Indonesia, tetapi terus-terusan menjadi sumber ekonomi yang mengalirkan keuntungan untuk setan-setan uang luar negeri.

Bahan yang menyebabkan kapitalisme bukanlah Indonesia — mengingat riwayat negeri kita yang tersebut di atas — teranglah bagi kita.

Sudah kita lihat bahwa politik perampok bangsa Belanda, memusnahkan sekalian benih-benih industri bumiputra yang modern. Hongi-hongi cultuur stelsel, monopoli stelsel dan gencetan pajak yang tak ada ampunnya. Dan pemasukan saudagar-saudagar Tionghoa yang teratur di zaman Kompeni Timur Jauh (VOC) menghancurluluhkan sekalian alat-alat sosial ekonomi dan teknik nasional yang kuat.

Jika sekiranya bangsa Indonesia tidak dirampok, dan mempunyai kepandaian teknik, serta dipengaruhi oleh orang asing, tentulah orang Indonesia ada kesempatan untuk memenuhi kemauan alam.

Boleh jadi dengan secara damai (seperti di Jepang) atau dengan perantara pemboikotan nasional (seperti di India) kaum menengah Indonesia atau Indo dengan jalan mengumpulkan kapital nasional mendirikan industri untuk memenuhi kebutuhan nasional seperti tenun besi.

Demikianlah, kapital Indonesia timbul dengan teratur pula antara lapisan-lapisan sosial Indonesia dan mempunyai perhubungan yang teratur. Saudagar Indonesia yang dulu kecil sekarang sudah menjadi bankir atau mengepalai perusahaan yang besar-besar. Penempa besi, tukang tukang gula, saudagar batik yang dulu kecil menjadi pemimpin industri logam, gula atau tenun. Tetapi imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun untuk bangsa Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia.

Maju ke dalam perjuangaan ekonomi melawan raksasa asing, dengan maksud meningkatkan industri nasional sama dengan “menjaring angin”.

3. Kapital Indonesia Itu Internasional

Imperialisme Inggris dengan industri nasionalnya yang nomor wahid dan armada yang luar biasa, semenjak semula merasa perlu mengadakan kompromi dengan raja-raja, dan tuan-tuan tanah bangsa India, untuk mempertahankan diri terhadap borjuasi bumiputra yang baru timbul. Tetapi tatkala yang tersebut belakangan ini keluar dari medan perjuangan dengan kemenangan (di tahun 1900-1905 dan 1919-1922), Inggris mengulurkan tangannya.

Bersama dengan raja-raja, tuan-tuan tanah dan borjuasi India yang baru itu, dia pergi memperkuda punggung rakyat yang menggerutu itu. Bagaimanapun sulitnya imperialisme Inggris, ia masih mempunyai tujuan di dalam kerajaan sendiri.

Imperialisme Belanda memukul dan menendang “kerbau” yang sabar itu, sekian lamanya, hingga sekarang kerbau itu mempergunakan tanduknya.

Belanda kecil yang di waktu dulu menelan segalanya untuk dirinya sendiri, sekarang terpaksa membagi-bagikan itu dengan negeri-negeri yang lebih kuat.

Adapun kekurangan kapital dan industri, adalah sebab yang terpenting dari tindakan Belanda itu, maka semenjak beberapa tahun, kapital Inggris memegang peranan besar di Indonesia. Raffles yang bijaksana itu sudah lama melihat hal ini dan tidak puas sebelum ia dapat mengelabui mata Belanda-tani itu. Setelah perang dengan Napoleon berhenti, Inggris mengembalikan sekalian koloni Belanda. Perbuatan ini seakan-akan sangat bertentangan dengan politik yang waktu itu dipakai Inggris, tetapi setelah dicermati perbuatan itu adalah politik Inggris yang selicin-licinnya dan semurah-murahnya dalam memakai Belanda sebagai opas untuk kapital yang ditanamnya di Indonesia. Apakah pengambilalihan seluruh administrasi yang ada di Indonesia memberi tanggung jawab dan kesusahan kepada Inggris? Kapital Inggris yang beberapa tahun belakangan ini makin hari makin besar, bagi Belanda — kecil sangat mengkhawatirkan, dan bangsa Indonesia sekarang tak sabar lagi, hingga Belanda sekarang berniat memakai “politik pintu terbuka”. Istilah yang sebenarnya diambil dari kamus Amerika ini sungguh cocok dengan politik Belanda di Timur. Dalam kata-kata biasa, ia berbunyi: “Dan terhadap kapital Inggris serta bangsa Indonesia yang telah terjaga dari tidurnya, semestinya Belanda lebih kuat bila mempunyai Amerika yang demokratis. Tetapi negeri ini mesti ditarik ke Indonesia. Kapitalnya ditanam di Indonesia dengan segala daya upaya dan, jika perlu, diberikan hak-hak yang luar biasa. Jika tiba masanya, kelak Amerika bergandeng tangan dengan Belanda”.

Uang dan susah payah tak diperhitungkan demi kapital Amerika. Seorang menteri pernah berkata terus terang di dalamkamer, bahwa: Kedatangan kapital Amerika sangat mudah karena undang-undang di Indonesia sekarang. Kunjungan Fock ke Manila pada tahun 1923, dan kedatangan beberapa kapal perang ke Filipina, mendudukkan seorang konsul jendral di New York yang kerjanya selain hilir mudik dengan perundingan dan perjanjian juga menghambur-hamburkan uang buat reklame, pamflet dan majalah yang selama bertahun-tahun memuat perihal Jawa sang negeri ajaib (Java the Wonderland). Semuanya itu adalah untuk memikat pelancong-pelancong dan kapitalis Amerika supaya datang berduyun-duyun ke Indonesia.

Berapa besar kapital Belanda itu dapat kita lihat pada angka-angka di bawah ini.

Dalam buku Handbook voor cultuur en handsondernemingen in Ned. India ditulis oleh Agulvant, kapital yang ditanam di Indonesia ditaksir sejumlah f 3.270.000.000. Di antaranya f 1.27,000,000 di dalam kebun-kebun, minyak f 900,000,000. Dalam bank dan perdagangan f 750,000,000.

Perusahaan kapal, kereta api dan tram masing-masingnya f 250.000.000, f 220.000.000 dan f 200,000,000. Tambang-tambang f 70,000,000 dan maskapai-maskapai asuransi f 60,000,000.

Kapital yang ditanam di Sumatera Timur pada tahun 1924 sejumlah f 439,000,000. Di antaranya 55.3% kepunyaan Belanda dan 44.7% kepunyaan bangsa asing. Kapital bangsa asing yang ditanam dalam industri pertanian sejumlah f 200,000,000. Di antaranya f 147,500,000 adalah kapital Inggris, f 300,000,000 milik Prancis dan Belgia, f 15.700.000 milik Jepang dan f 4.000.000 milik Jerman (International Ocean. No. 6, 1926).

Luas kebun karet pada tahun 1924 sebesar 241,357 bau [note 1]. Di antaranya 42.2% kepunyaan bangsa asing dan 32.4% kepunyaan Inggris. Berhubung dengan monopoli Inggris, kapital karet Amerika beberapa tahun belakangan ini sangat cepat meningkatnya di Sumatera. Luas kebun teh di Jawa 116,664 bau. Kepunyaan bangsa asing 23.8% dan Inggris 17.8%.

Dari tujuh macam hasil utama yang dikirimkan ke pasar-pasar di seluruh dunia, ekspor gula di tahun 1924, f 491,100,000 atau 32.1 % dari jumlah ekspor. Karet f 202,600,000, atau 13.2% dari ekspor. Minyak tanah f 158,300,000, tembakau f 123,600,000, kopra f 97,400,000, teh f 93,600,000 dan kopi f 56,600,000 yakni masing-masing 10.3%; 8.1%; 6.4%; 6.1%; dan 4.3% dari jumlah ekspor semuanya.

Pada tahun 1924 ekspor ke tanah Inggris dan di jajahannya 42.55% dari semua ekspor dan ke negeri Belanda hanya 19.7%, sedang 40.4% dari Inggris dan tanah jajahannya.

Jadi teranglah, bahwa perdagangan Inggris di Indonesia lebih besar dari semua negeri asing, sedangkan di dalam perusahaan minyak dan kebun-kebun yang terpenting, kapital Inggris memegang peranan yang terbesar di antara kapital bukan Belanda. Jadi tidaklah mengherankan mengapa orang Belanda tergesa-gesa memikat kapital Amerika.

Betul beberapa tahun belakangan ini, karena iri hati melihat Inggris menjalankan politik karet dengan cara monopoli, Amerika mulai menanam kapitalnya di kebun karet di Sumatera Timur. Akan tetapi, hal itu belum menjadi satu kepastian, apakah Amerika hendak menanamkan kapitalnya di Sumatera dan Jawa saja, sebab di Mindanau (Filipina Selatan) dan Liberia ada tanah yang subur untuk kebun karet.

Mengakui dan melindungi industri bumiputra yang modern seperti di India menurut pandangan ekonomi baru tidak akan ada sama sekali, sebab industri bumiputra modern memang tidak ada. Rakyat hanya diperas, diinjak-injak dan ditipu. Pemecatan kaum buruh bukanlah satu keanehan, dan cengkraman pajak makin lama makin erat. Ekonomi rakyat tak perlu disebut-sebut sebab negeri Belanda terutama bergantung pada kapital luar negeri.

[note 1] 1 bau = 500 tombak persegi atau 7096 m2.

V

KEADAAN RAKYAT INDONESIA

1. Kemelaratan

Berapa ribu, bahkan berapa ratus ribu rakyat Indonesia yang meringkuk dengan perut kosong di atas balai-balai setiap hari saat melepas lelahnya, tak terjelaskan dengan tepat. Pemerintah punya catatan angka-angka yang lengkap tentang kebun-kebun dan perusahaan yang menguntungkan, terutama nama-nama orang yang wajib membayar pajak, tetapi lupa memberi kepastian tentang penghidupan rakyat seluruhnya. Betul kadang-kadang dibentuk oleh pemerintah suatu panitia, tapi badan itu tak mewakili rakyat, dan tentu saja panitia itu tidak pernah mendakwa kapital besar, meskipun mencela saja. Pemeriksaan “teratur” dan “merdeka” sebagai bukti maksud-maksud yang suci, belum pernah kedengaran.

Jika kita mau tahu berapa jumlah buruh industri, kebun-kebun dan pengangkutan, tentulah dengan jalan itu kita ketahui berapa banyaknya “budak belian kolonial” yang kelaparan di Indonesia sebab sebagian besar dari buruh industri itu miskin, sebab kepada perusahaan besar-besar itu, mereka harus menjual atau menyewakan tanahnya, hingga akhirnya kehilangan tanah dan mata pencaharian.

Hal itu tidak mungkin disebabkan oleh ketakpedulian dan kelalaian pemerintah. Meskipun kita bekerja dengan angka-angka yang tak cukup, ini belum berarti bahwa keadaan rakyat Indonesia adalah buku yang tertutup bagi kita; bahkan sebaliknya tak dapat diduga bahwa dua sampai tiga juta budak yang tertindas menerima upah yang hanya cukup bertahan agar mati kelaparan. Bagian yang terbesar dari mereka berorganisasi. Mereka itu misalnya buruh kereta api, tukang sapu, kuli barang dan tukang rem, yang mulai bekerja dengan gaji f 15 — dengan satu sampai dua rupiah kenaikan setiap tahun — dan mencapai maksimum f 30 sampai f 40 sebulan apabila mereka sudah beruban. Sungguh gaji itu terlalu sedikit di zaman kapitalisme, dan hal ini sangat menyedihkan, mengingat kepada kecermatan dan tanggung jawab sekumpulan buruh itu bergantung hidup beribu-ribu manusia.

Jika beratus ribu buruh gula yang karena tak berorganisasi tidak berani meminta tambah gajinya; Jika kaum tani yang kehilangan tanah hanya bekerja beberapa bulan dalam setahun dengan gaji 30 atau 40 sen sehari, yakni di waktu memotong tebu; jika 250 sampai 300 ribu kuli kontrak — yang dinamakan “kuli merdeka” di Sumatera Timur — mendapat upah 30 sampai 40 sen sehari, siapakah yang berani mengatakan bahwa di masa ini seseorang (meskipun ia seorang inlander!), dengan anak bininya, dapat hidup sebagai manusia dengan upah 12 sampai dengan 25 rupiah sebulan? Jika ada orang yang berkata seperti itu, ia adalah seekor keledai atau lebih hina lagi adalah seorang “pengkhianat”.

Tukang-tukang besi segolongan buruh yang besar gajinya di negeri-negeri lain, di Surabaya sangat rendah gajinya, tinggal seperti di kandang anjing, makanan, pakaian dan keperluan hidup lain-lain tak cukup, hingga kekallah mereka jadi mangsa lintah darat Tionghoa dan Arab. Kita masih mendengar gaji mereka antara 30 sampai 40 rupiah. Di Surabaya yang dikenal sebagai kota dagang, gaji itu berarti sekadar penghalang agar jangan sampai mati.

Siapakah nama gubernur jendral yang pada suatu hari dengan malu-malu menceritakan bahwa beribu-ribu kuli di pelabuhan Jakarta, sebab upah mereka tidak cukup untuk menyewa gubuk yang sangat dicintai oleh orang-orang Jawa? Sudah begitu memalukan dan tak menentunya nasib kaum buruh yang nota bene masih kerja itu, bagaimanakah halnya kaum penganggur yang makin lama makin banyak itu?

Dalam Verslag van de Suiker Enquete Commissie (hlm. 99) kita baca kalimat yang sangat berarti: “Agaknya setengah dari keluarga rakyat di Pulau Jawa termasuk orang yang mempunyai tanah, dan selebihnya hidup dari perusahaan dan perdagangan bumiputra ataupun bukan. Di sana tentulah beratus ribu manusia yang tak punya apa‑apa, yang kadang-kadang bekerja pada salah seorang peladang dan dengan tidak pada tempatnya menamakan dirinya petani”. Selain itu, di kota-kota tidak sedikit orang yang bergelandangan di sepanjang jalan, makan sesuap kala pagi dan sesuap kala petang. Kita tidak mempunyai statistik yang lengkap, benar dan sah tentang berapa jumlahnya.

Tetapi siapapun yang pernah tinggal di kota gula seperti Banyumas, Solo, Kediri dan Surabaya, serta ia sungguh memperhatikan kehidupan rakyat, ia akan tercengang dengan “kesabaran” dan “kebetahan” rakyat menanggung kesusahannya, bahwa pajak jauh melewati kesanggupan penduduk, tidak asing lagi bagi orang-orang pemerintah.

Semua dan setiap yang bernyawa (meskipun dia tidak berpencaharian) mesti membayar pajak. Kutipan-kutipan dari segala pihak dapat kita cantumkan, tetapi, karena kita anggap tidak berfaedah, tak perlu kita tambahkan di sini.

(Sepintas lalu kita katakan bahwa industri besar-besar dan kongsi-kongsi perdagangan juga membayar pajak. Akan tetapi, hal itu adalah perkara perjanjian belaka, karena dengan berbagai cara, pajak itu dapat ditimpakan di atas kepala rakyat Indonesia yang melarat dan tak punya hak lagi itu).

Padoux, penasihat pemerintah Tiongkok dalam “Memorandum for the National Commission for Study of Financial Problem”, menentukan bahwa setiap kepala di Filipina, Indo-Cina, Prancis, Siam, Indonesia, dan Tiongkok masing-masing membayar pajak $7.50, 8.50, 9.50, 15.50, dan 1,20.

Jadi, pajak yang tertinggi di Indonesia! yaitu dua kali Filipina, hampir dua kali Indo-Cina, Prancis, dan dua belas kali Tiongkok. Perhitungan itu diambil menurut perbandingan sebelum tahun 1923. Waktu itu masih ada “Inlandsch Verponding” — satu perbuatan hina yang tidak tahu malu — sebagaimana yang belum pernah dilakukan oleh seorang raja yang selalim-lalimnya di Jawa.

Mr. Yeekes menerangkan dalam “de Opbouw” (tahun 1923) bahwa pendapatan rakyat Indonesia pukul rata f 196 setahun. Dari pendapatan itu banyak yang harus dikeluarkan sebagai pembayar pajak, dan di luar Jawa untuk rodi pula, hingga pendapatan sebulan tinggal f 13. Satu angka yang jauh di bawah minimum. Perhitungan Mr. Yeekes ini adalah untuk seluruh Indonesia, jadi penda-patan rakyat di Jawa Tengah tentu lebih sedikit lagi.

Kita di zaman modern ini sedih dan heran melihat orang Jawa yang tinggal di pondok-pondok rombeng atau tak bertempat tinggal sama sekali, kelaparan dan berpakaian kotor compang-camping, hidup dalam iklim yang sangat membahayakan sebagai di Indonesia, kurang terawat kesehatannya, disebabkan wabah malaria, cacing tam-\bang, kolera dan sampar; “hanya” ratusan ribu yang mati di waktu penyakit itu merajalela.

Suatu keuletan yang patut dipuji!

2. Kegelapan

Masih saja “pemerintah tani dan tukang warung” Belanda takut kepada Universitas dan Sekolah Tinggi seperti kepada hantu. Masih saja belum terlepas ia dari gangguan momok “buruh intelektual”. Ia sudah berbuat keliru dalam pandangan politik pengajaran Inggris dan mengambil kesimpulan yang salah. Ia terlalu bodoh untuk memikirkan bahwa berhubung dengan wawasan dan kecakapan imperialisme Inggrislah, maka dulu sudah ada kaum terpelajar di India yang pada masa sulit kerapkali membantu pemerintah Inggris, dan juga berkat adanya kelas intelektual, termasuk juga kaum ekstrimis, maka Tilak dan Mahatma Gandhi beroleh kemenangan ekonomi dengan gerakan boikotnya yang luas. Dan pula karena Inggris bekerja sama dengan borjuasi bumiputra modern, di lapangan politik dan ekonomi, maka Inggris dapat memerintah terus di India walaupun digempur oleh gerakan noncooperation baru-baru ini.

Pemerintah Belanda di dalam perdebatan selalu mengemukakan pelbagai keberatan terhadap pendirian universitas di Indonesia, yaitu keberatan yang hanya dapat diterima oleh anak-anak kecil. Semua dalilnya hanya terpakai di zaman timbulnya penjajahan dan dapat disimpulkan dalam alasan-alasan di bawah ini.

1. Bahwa pemerintah ini, sesudah menyesal, seharusnya sekarang menjadikan dirinya pendidik rakyat Indonesia dengan belanja rakyat sendiri dan sepatutnya memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada anak-anak Indonesia, jika ia tidak doyan omong kosong.

2. Bahwa bangsa Indonesia baik otak maupun kebangsaan tidak lebih tinggi, juga sebaliknya tidak lebih rendah dari bangsa mana saja, dan bahwa mereka itu sungguh matang untuk menerima pengajaran yang macam mana sekalipun.

3. Bahwa universitas Indonesia yang pertama tak perlu cangkokan atau tiruan dari Eropa,tetapi dengan memperhatikan perguruan tinggi di Eropa berdasarkan pada kecerdasan rohani dan keadaan masyarakat Indonesia sendiri pada masa ini.

Filipina — yang 12 juta penduduknya — sudah mempunyai empat universitas dan beberapa sekolah tinggi, tapi Indonesia dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak belum mempunyai sebuah juga.

Sekejap pun tak kita lupakan, bahwa bila “orang Belanda” mendirikan universitas di Indonesia, pengajarannya niscaya dan pasti lebih tinggi daripada di koloni lain sebagaimana, katanya, universitas Belanda jauh lebih tinggi daripada universitas di mana pun. Tanpa mempedulikan tabiat menurutkan kata hati sendiri itu, kita hanya ingin mengatakan kepada Belanda, “Cobalah dulu tunjukkan kecakapanmu itu di Indonesia!”

Perbuatan itulah yang sebenarnya harus kamu buktikan!”

Tetapi, selain duit yang bagi seorang Belanda lebih berat timbangannya daripada cita-cita dan alasan politik, ada pula pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari si Belanda tani dusun yang dungu itu.

Belum selang berapa lama Tuan Hardeman, Kepala Departemen Pengajaran, menerangkan dalam sidang Dewan Rakyat bahwa mendirikan suatu perguruan tinggi belum tentu melahirkan buruh terpelajar, karena kebutuhan akan buruh pelajar itu untuk sementara waktu ini berkurang, disebabkan kesukaran ekonomi yang nanti tentu akan pulih. Dengan ini lenyaplah “momok” seperti yang dibuat oleh Java Bode, tanggal 30 Juni.

Akibat politik pengajaran Belanda di sana-sini kelak akan kita ulas lagi. Di sini kita ingin memastikan, dengan angka-angka, bahwa perguruan rendah, menengah dan tinggi, semenjak dulu tidak cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta. Hal itu harus diakui tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya “pemerintah”.

Kita lewati sepintas lalu sekolah-sekolah tinggi yang sudah beberapa tahun, katanya, mengeluarkan berpuluh-puluh dokter, mister, dan insinyur. Kita tujukan pembicaraan sebentar kepada soal sekolah rendah. Jumlah anakanak yang harus masuk sekolah pada tahun 1919 adalah sebagai berikut: H.I.S. 1%, Sekolah Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang seharusnya bersekolah tak mendapat tempat (menurut laporan kongres N.I.O.G. tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische Courant). Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5% sampai 6%, mungkin juga 2% sampai 3%.

Jumlah belanja perguruan di tahun 1919 menurut kabar yang sah adalah f 20,000,000 dan f 75,000,000 untuk 150,000 orang anak-anak Eropa dan f 12,500,000 untuk anak-anak dari 55,000,000 tukang bayar pajak rakyat Indonesia. Pada tahun 1923 belanja perguruan itu f 34.452.000. Jadi, untuk seorang anak bumiputra pada waktu itu dikeluarkan 30 sen, sama artinya 1/7 dari yang dikeluarkan untuk anak Filipina.

Untuk badan-badan lain, yang memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat yang tak senang, seperti polisi, militer dan armada, pada tahun itu dikeluarkan belanja sebesar f 156,274,000. Tambahan pula seperti yang sudah dimufakati antara dia sama dia, di lain tahun akan dibelanjakan f 300,000,000. Satu beban yang berat sekali di atas bahu si Kromo yang merana itu.

Kita, kaum revolusioner, pada tahun 1921 bermaksud untuk memperbaiki keteledoran pemerintah dalam pendidikan itu dengan mendirikan sekolah-sekolah sendiri. Dengan menempuh pelbagai macam kesusahan, seperti kesulitan teknis, kepegawaian, keuangan, politik dan polisi, akhirnya dapat kita dirikan di seluruh Jawa 52 buah sekolah dengan kira-kira 50,000 orang murid dan jumlah itu bertambah banyak. Akan tetapi, sekolah itu digencet dengan kekerasan. Dengan alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di sekolah itu dilarang mengajar, dan orangtua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan penghabisan dijatuhkan Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini disuruh membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.

Sebuah pergerakan rakyat yang sehat menuju ke pemberantasan buta huruf yang dipimpin dengan gembira dan tak memandang susah payah oleh kaum revolusioner di Priangan pada tahun 1922 ditimpa nasib yang seburuk itu pula.

Politik pemerintah ini dalam soal pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan: “bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum ter pelihara” .

3. Kelaliman dan Perbudakan

Meski sudah 300 tahun Indonesia berkenalan dengan peradaban Barat, masih saja rakyat kita hidup di dalam keadaan yang tak mengenal atau mempunyai hak. Pak tani tak pernah sehari juga mendapat kepastian tentang kepemilikan, kemerdekaan bahkan nyawanya sekalipun. Setiap tahun skrup pajak rakyat semakin keras putarannya. Kaum buruh tidak boleh mengadakan perhimpunan atau mengemukakan keberatannya. Permohonan rakyat yang pantas tidak didengarkan. Pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, dan karena itu, dengan tidak diperiksa terlebih dahulu, dimasukkan ke dalam penjara, disekap di kamar tikus, dihalau keluar negeri atau diketok kepalanya sampai mati. Permintaan dan protes yang beralasan dimusnahkan oleh birokrasi yang rupanya lebih suka tenggelam dalam kebusukannya sendiri.

Sekarang marilah kita persilakan Prof. Van Vollenhoyen yang termashur itu berbicara dan mencela sikap pemerintah Belanda, seperti yang tertulis dalam buku beliau Indonesier en zijn Grond. Indonesia boleh jadi mempunyai tidak kurang dari 70% penduduk yang hidup dari pertanian; dan karena itulah, maka penting bagi seorang terpelajar — yang kehormatan dan kedudukannya belum pernah dicurangi orang — supaya mendengar apakah yang sudah diperbuat terhadap si tani dalam beberapa tahun oleh sebuah kekuasaan yang mengaku dirinya sebagai “pengasuh rakyat” serta merasa berbuat serupa itu.

Kita bukan hendak mengorek-orek yang sudah terjadi maka lebih dulu diperbincangkan kejadian-kejadian semenjak 60 tahun dari abad yang silam. Siapa saja tentu tahu dan membenarkan perkataan bahwa di tahun-tahun itu “orang Jawa dianiaya”. Akan tetapi tidak semua orang dengan lekas melihat macam apa dan sampai ke mana batas penggencetan atas milik kaum tani itu. Untuk mengetahui hal ini, tak usah kita baca buku-buku kelaliman pemerintah Belanda ini sebagai “kaum penghasut dan penyebar kebencian”, tetapi kita ambil saja perslahannya sendiri.

Kesewenang-wenangan Daendels, biar bagaimana busuknya, masih dapat dianggap luar biasa. la mempunyai kekuasaan sendiri atas sawah dan ladang rakyat untuk menggaji pegawai bumiputra (hlm. 12 dan dll).

Seterusnya van Vollenhoven berkata: “dibandingkan dengan peratusan raja-raja Jawa yang hampir sama busuk dengan kebiasaan kita, “masih terbatas” dalam kerajaannya saja, Kedu, Yogyakarta dan Surakarta, tetapi kita meluaskannya sampai meliputi seluruh pulau itu” (hlm. 16).

Pegawai-pegawai desa mengambil suatu kepunyaan rakyat yang baik untuknya dan diberikannya yang buruk kepada rakyat yang bodoh. Semua itu perbuatan sewenang-wenang (hlm. 17).

“Apakah yang kita harapkan sekarang?” tanya van Vollenhoven seterusnya. Apakah kita berangsur-angsur akan menghentikan kerewelan perkara sawah ladang karma pajak tanah (ini sudah terjadi). Apakah kita berang,sur-angsur tidak lagi akan mengambil sawah ladang dan kebun paksaan rakyat (ini sudah terjadi). Apakah kita akan mengurangi dan menghapuskan akibat yang merugikan dari kerja paksa atas tanah-tanah kepunyaan rakyat (ini sudah terjadi). Dan selanjutnya kita belajar mendiamkan tangan kita yang gatal itu. Yang belakangan ini belum terjadi (hlm. 20).

Bila pada tahun 1919 seorang Jawa yang haknya atas tanahnya dirugikan f 1,000 datang mengadukan halnya kepada kontrolir, ia akan dihukum delapan hari kerja paksa. Bila ia menghadap Presiden Pengadilan Negeri, ia akan dijawab, “Tidak ada waktu!” dan bila orang itu pergi minta perlindungan Wali Negeri, “Sri Paduka Tuan Besar tidak berkenan menjawab”. Dalam bahasa Belanda yang agak halus disebut hal itu “godsgeklaagd” (hlm. 26).

Seringkali terjadi di tengah-tengah sebidang tanah yang akan diberikan pemerintah kepada tuan-tuan besar kebun ada sawah atau ladang bumiputra. Menurut undang-undang, tanah itu tidak boleh diambil kecuali jika untuk keperluan pemerintah sendiri. Akan tetapi dalam praktiknya orang berikhtiar membujuk si inlander supaya mau menukar haknya dengan uang (hlm. 26).
Berikut ini adalah kesimpulan dari Prof. van. Vollenhoven yang tak dapat dicela kebenaran dan kenyataannya itu.

“Tetapi rupanya inilah yang sepenting-pentingnya orang Indonesia yang punya tanah sendiri, sungguh sangat susah akan mempunyai perasaan selain dari pelanggaran terus menerus; dusta dan penipuan atas hak tanahnya yang sah di atas kertas, sebagai daya upaya yang tak habis-habisnya untuk merampasi haknya tadi atau berdaya upaya supaya ia jangan dapat mempergunakannya” (hlm. 28).

Kita masih dapat mengutip beberapa gugatan dan kesimpulan van Vollenhoven yang berkenaan dengan penipuan atas tanah dengan jalan mengubah kalimat undang-undang, dengan merusak dan melanggar undang-undang itu sendiri dan tentang sebab-sebab pemberontakan di Sumatera, Borneo, yakni pencurian tanah. Akan tetapi, kutipan tersebut di atas sudah memadai.

Dan tidakkah semua kenaikan pajak sekarang itu adalah suatu kesewenang-wenangan yang kasar jika kita menggunakan perkataan Prof. van Vallenhoven itu sendiri? Adakah rakyat kita diberitahu waktu pemerintah mengambil suatu keputusan dan memperbincangkan kepemilikan, pekerjaan dan kemerdekaan kita?

Tidak pernah! Persis sebagaimana pemerintah tidak pernah bertanya kepada kita, “Apakah kita menyukainya atau tidak?”

Bangsa Indonesia yang 55 juta itu tidak mempunyai wakil seorang jua pun dalam pemerintahan ini yang boleh memperdengarkan suara atau nasihat, protes atau celaan. Gerombolan militeris dan birokrasi yang menghisap darah dan menguasai nasib kita, tak pernah kita sukai dan kita pilih. Mereka tak dapat kita hentikan sebab kita tak punya kekuasaan politik. Mereka ini mesti kita terjang bila kita tidak suka kepada mereka, lain tidak! Kesimpulannya, sekalian dan peraturan yang menguasai kita di Indonesia dibuat sesuka hati mereka sendiri dan pembayaran pajak dalam teori atau praktik, semuanya adalah “pencurian”.

Marilah kita perhatikan nasib 300.000 kuli kontrak, yang “katanya” dilindungi oleh pemerintah ini. Upah yang kurang lebih f 12 sebulan sungguh hampir tak cukup untuk membeli pakaian yang biasanya koyak-koyak, sebab setiap hari dipakai kerja di kebun. Sehari bekerja 14 sampai 18 jam, sebab kebun-kebun tembakau biasanya jauh letaknya dari pondokan kuli, lebih tepat kandang kuli, meskipun di dalam kontrak hanya tertulis 10 jam.

Perlakuan pengawas-pengawas kebun bangsa Eropa lebih tepat digambarkan sebagai penikaman, pembacokan; penganiayaan dan pembunuhan atas asisten-asisten kebun dan “kehalusan yang diusik-usik hingga menjad kekejaman!” Di sinilah terjadi pergaulan sosial yang diracuni oleh judi, candu dan persundalan yang merendahkan tabiat kuli-kuli dan menyebabkan mereka banyak berutang kepada majikannya, hingga kontrak mereka terpaksa selamanya diperbaharui.

Syarat-syarat kerja seperti itu — langsung atau tidak — dipikulkan di atas kaum tani yang kebanyakan buta huruf dan dungu; mereka ditekan dalam satu “kontrak” yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak itu disebutkan mereka “tak boleh berorganisasi dan mogok” — yang dengan jalan itu mereka dapat menagih upah dan syarat-syarat kerja yang sedikit mendingan seperti di negeri-negeri lain. Hal itu diakui oleh pemerintah. Sungguh hal itu hanya dapat dipertahankan oleh “saudagar budak” di zaman biadab.

Marilah kita ingat kejahatan-kejahatan yang dilakukan di Deli. Marilah kita ingat penganiayaan baru-baru ini yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di Lampung dan Sumatera Selatan, yaitu kejahatan yang dianggap sebagai dongeng saja di abad. Bahkan lebih dari dongeng, yaitu ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah atas “bajingan-bajingan” Eropa itu.

Kaum buruh industri, perkebunan dan pengangkutan yang beratus ribu atau beberapa juta di Jawa dan lainnya, yang diperbudak tidak dengan kontrak, yang katanya “buruh merdeka”, bernasib tak lebih baik daripada budak kontrak asli. Satu per satu kakinya diikat dengan rantai aturan, hingga tak dapat berorganisasi dan berjuang melawan kapitalis yang sewenang-wenang. Di dalam Dewan Rakyat, Majelis Tinggi dan Rendah, dan surat-surat kabar yang berlain-lainan tujuan itu, telah berulang-ulang diperbincangkan hak organisasi dan hak mogok dari kaum buruh Indonesia! Tak perlu kita ulang lagi di sini, atau kita uraikan hukum-hukum paksa itu. Sekali lagi dikatakan undang-undang itu bukanlah menurut perasaan modern, tetapi aturan paksa yang dihadapkan oleh segerombolan kaum birokrat kepada buruh Indonesia, buat pengikat segala daya upaya mereka menuju perbaikan nasib.

Semua undang-undang yang dijalankan itu menyebabkan kita teringat kepada zaman biadab dan perbudakan yang gelap. Begitu banyak undang-undang paksa terhadap politik gerakan sehingga tak dapat kita terus-terang mengatakan atau menulis sesuatu mengenai si penjajah atau yang dapat membukakan mata rakyat yang terbelenggu ini.

Rakyat Indonesia mesti menutup mulutnya jika terjadi penganiayaan atas diri pemimpin-pemimpin yang mereka percayai dan kasihi, juga apabila dengan sengaja para pemimpin dirampas beberapa bulan kemerdekaannya atau tanpa diperiksa lebih dulu terus dibuang sebab dianggap berbahaya atau secara khianat ditikam, dibacok, diketok kepalanya sampai mati, atau dicabut nyawanya dengan peluru.

Bila diceritakan kepada rakyat bahwa seorang pemimpin yang dicintai, seperti Haji Misbach yang katanya mati “disebabkan demam hitam” pada satu pembuangan yang ditentukan oleh pemerintah, mau tidak mau, mereka mesti percaya saja.

Bilamana rakyat mendengar bahwa seorang pemuda yang terpelajar dan sopan, seperti Soegono kita, pemimpin V.S.T.G yang katanya “membunuh diri” dalam penjara, sedangkan pada kepala dan tangannya terdapat bekas-bekas penganiayaan dan sebuah jarinya hancur sama sekali, rakyat “tak dapat mendakwa”, juga tidak boleh mengajukan protes sama sekali.

Dan pemerintah yang “katanya” jadi pengasuh dan pelindung rakyat kita, tidak mengadakan pemeriksaan saksama tentang sebab-sebab kematian yang sekonyong-konyong dari pemimpin rakyat yang cakap berjuang dengan dada terbuka dan pendek kata dicintai dan dipercayai rakyat. Dia tidak mempedulikan atau tak punya keberanian moral akan mengakui dan membetulkan kesalahannya dan menghukum yang bersalah menurut undang-undang Fiat justitiaruate cellum.

(Jalankanlah keadilan meskipun langit akan runtuh!)

Keadilan di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si penjajah kulit putih. Bagi bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.

VI

KEADAAN SOSIAL

Kecurangan tukang waning Belanda yang sudah tiga ra­tus tahun dalam dunia imperialistis yang disebut kolo­nisator menciptakan pertentangan sosial dan kebangsaan yang satu-satunya di seluruh Asia. Di satu pihak tampak kapital yang beranak pinak dalam pertanian yang sangat modern, dengan produksi yang sangat tinggi dan dengan jalinan hubungan internasional yang bersatu dalam se­jumlah sindikat dan trust yang memberi untung yang berlipat ganda. Di lain pihak, tampak kaum tani, pedagang­-pedagang kecil dijadikan buruh. Mereka berjubel-jubel sebagai buruh industri di kota-kota dan buruh tani di ke­bun-kebun. Semua ini melahirkan kesengsaraan, perbu­dakan dan kegelisahan.

Jika pertentangan kelas yang sebenarnya menyerupai satu jurang yang tak dapat ditimbun, yang di negeri-ne­geri Barat dan Jepang menimbulkan sosialisme, anarkisme dan bolsyevisme, di Indonesia jurang itu diperdalam lagi oleh pertentangan bangsa Belanda kontra Indonesia. Pertentangan ini, meskipun bukan satu sebab yang terpenting, tetapi mungkin sekali dapat memancing perang-perang kemerdekaan. “Pertentangan” Belanda kapitalist dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan oleh ketiadaan kapital modern dar bangsa Indonesia, melainkan juga oleh perbedaan agama, bangsa, bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si terjajah.

Di negeri-negeri kapitalis yang maju, pertentangan sosial terbagi atas dua kelas: kelas kaum kapitalis dengar para pengikutnya dan kelas buruh. Kaum kapitalis ialah yang mempunyai tanah, pabrik, kereta api, kapal dan bank, dan menambah kekayaan dalam keadaan biasa dengan jerih payah kaum buruh yang tidak dibayar, yang dilukiskan oleh Marx “met de zijn kapitaal geaccumuleenk meerwaarde“. Kaum buruh ialah mereka yang kepunyaan dan tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka yang dulunya adalah petani dan pedagang kecil, tetapi waktu ini segala miliknya punah sama sekali kecuali tenaga, badan dan nyawa. Harga tenaga ini “tunduk” kepada turun naiknya harga di pasar tenaga. Kaum kapitalis hidup dari pemerasan dan kaum buruh dari upah kerjanya. Upah ini disebabkan oleh “undang-undang besi” dalam “tawar-menawar” di pasar tenaga — tidak dapat menutup harga kerja yang dilakukan (karena persaingan hebat di pasar tenaga dan kecemasan akan mati kelaparan, terpak­sa buruh itu menerima upah yang serendah-rendahnya).

Supaya dapat mengadakan pemerasan atas kelas bu­ruh yang jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jum­lahnya kecil, mempergunakan “senjata gaib”, seperti se­kolah, gereja atau masjid, dan surat kabar, juga perkakas kelas seperti polisi, tentara, penjara, dan justisi. Parlemen, masjid, gereja, sekolah dan surat-surat kabar berdaya upaya menidurkan dan melemahkan hati buruh dengan pendidikan yang banyak mengandung racun. Bila mere­ka tak dapat berlaku seperti itu, dipergunakanlah penja­ra, polisi dan militer.

Persaingan ekonomi sesama kaum kapitalis menye­babkan timbulnya kongsi. Mereka dapat melawan mu­suh-musuhnya yang terpencil. Kalau kongsi dalam per­saingan “mati-matian” tak dapat menaklukkan lawannya, ia mencoba mengadakan kompromi. Kedua kongsi yang dulunya bermusuhan, sekarang menjadi satu sindikat. Demikianlah mereka dapat menaikkan harga barang­barangnya dengan sesuka hati, sehingga merugikan si pembëli (buruh dan tani miskin).

Jadi, sindikat itu adalah gabungan dari beberapa kongsi. Akan tetapi kongsi bekerja itu menurut caranya sendiri dan merdeka seperti biasa. Supaya kekuatannya bertambah besar dan terpusat ke satu pimpinan untuk per­juangan ekonomi, dibentuklah satu trust. Jadi, sindikat mempunyai banyak ketua, sedangkan trust seorang saja, dan begitu juga cara kerjanya, sebuah trust dapat secara lebih sempurna menguasai pasar dunia daripada sindikat.

Di pasar negeri-negeri Barat, terutama Amerika, kita lihat sejumlah tambang arang, industri besi, pabrik-pab­rik minyak dan maskapai kapal yang dulunya terpecah-­pecah sekarang bersatu dalam trust yang besar, dikepa­lai oleh raja-raja trust. Kita dengar nama-nama seperti Mor­gan Raja Bank, Rockefeiler Raja Minyak, Carnagie Raja Baja dan Ford Raja Mobil.

Di Jerman kita lihat bagaimana trust yang banyak itu diikat menjadi satu “gabungan trust“. Pabrik-pabrik besi, arang dan kertas, maskapai kapal dan kereta api se­muanya tunduk di bawah pimpinan Stinnes yang baru meninggal dunia. Demikianlah, Stinnes dapat menguasai harga bahan-bahan mentah dan barang-barang pabrik, se­lanjutnya ongkos pengangkutan dan advertensi dari ba­rang-barang pabrik itu. Pembentukan trust seperti ini di­tiru pula oleh bank-bank yang menyatukan diri dari mas­kapai menjadi sindikat, dari sindikat ke trust dan dari trust ke gabungan trust.

Bank meminjamkan uang kepada industri dan perke­bunan; bank itu senantiasa bertambah kaya oleh bunga uang yang tinggi, yang dibayar oleh si peminjam. Akan tetapi, bunga uang yang tinggi itu ditarik si peminjam da­ri buruh mereka, dan si buruh menarik hanya dari keri­ngat dan tenaganya. Kepada negara, bank juga memin­jamkan uang yang mesti dibayar dengan bunga yang ti­dak rendah. Bank negara pada gilirannya menarik pajak yang banyak sekali dari kaum buruh (sebab merekalah yang terbanyak jumlahnya) untuk membayar utang itu beserta bunganya. Ke negeri-negeri asing, bank memimjamkan uangnya dengan bunga yang serupa. Bank, “benteng kapitalisme”, jadi penguasa industri, pertanian dan pemerintahan suatu negeri, dan dengan penanaman modal di negeri asing itu, ia juga menguasai negeri-negeri itu.

Supaya tetap memperoleh bunga, maka ia jugalah yang mengangkat dan memberhentikan kepala-kepala industri, ahli negara dan ahli politik, dan langsung atau tidak menggaji atau menyuap mereka. Dengan adanya trust maka ditaruhnya pimpinan perusahaan bank ke tangan beberapa bankir. Jadi, bangkirlah pada hakikatnya yang jadi pemimpin industri, pengangkutan, pertanian perdagangan, negara dan politik, pendeknya masyarakat kapitalis modern.

Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, tampaklah kepada kita bahwa makin maju kapitalisme, makin sedikit orang yang berharta dan jumlah kaum buruh miskin menjadi lebih besar. Di negeri-negeri kapitalistis yang cerdas seperti Inggris, Jerman dan Amerika, jumlah buruh yang pandai dan yang tidak kurang lebih 75% dari penduduk. Jumlahnya pemangku tangan, tetapi berkapital dan produksi makin lama makin sedikit. Kekuasaan dan kekayaan mereka semakin besar. Jumlah buruh, tapi tak mempunyai apa-apa, makin lama makin banyak, dan organisasi mereka demikian pula. Pertentangan kaum pemangku tangan dengan buruh miskin makin lama semakin tajam dan akhirnya menimbulkan revolusi sosial.

Di Indonesia proses kapitalisasi itu hampir tidak berbeda dengan garis-garis besar yang diuraikan di atas. Sau­dagar-saudagar Indonesia dan perusahaan yang kecil-ke­cil sudah lama lenyap dari masyarakat.

Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan “pagi makan, petang tidak”. Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Ke­kuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan badan perdagangan, kini semuanya dipesatkan dalam ta­ngan beberapa sindikat seperti Avros, Suikersyndikaat, Handeslvereeniging Amsterdam dan lain-lain. Pimpinan sindikat-sindikat besar itu tergantung di tangan beberapa orang kapitalis.

Pertentangan sosial antara kapitalis dan buruh di In­donesia — berhubungan dengan satu dan lain hal — le­bih tajam daripada apa yang kelihatan oleh mata. Keun­tungan besar dari gula, minyak, karet, kopi, teh dan lain-lain sebagian besar mengalir ke Eropa, ke kantong bang­sa Belanda, dan sebagian kecil ada juga kembali ke Indo­nesia, tetapi bukan sebagai kenaikan gaji buruh, melain­kan sebagai penambah “kapital” yang sudah ada, buat jadi “alat penghisap” yang baru pula. Sebagian besar ke­untungan itu ada di negeri Belanda sebagai gaji uang ver­lof atau pensiun pegawai-pegawai Belanda.

Kemalangan nasib buruh Indonesia hanya dapat di­perbaiki dengan jalan menaikkan gaji mereka yang sepa­dan (dengan memperhatikan) harga barang keperluan se­hari-hari. Dengan pembukaan beberapa kebun besar, me­mang ada kaum buruh atau penganggur yang mendapat pekerjaan, tetapi sebaliknya tanah mereka disewakan dan dijual hingga banyak petani yang kehilangan miliknya. Tambahan lagi, karena perluasan kapitalisasi itu, barang keperluan sehari-hari bertambah tinggi harganya. Sung­guh tak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga barang dalam sepuluh tahun belakangan ini tidak sejalan dengan kenaikan gaji buruh.

Demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa (malahan ke­rapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal. Dan oleh persaingan yang makin lama makin hebat, karena cacah jiwa cepat sekali bertambah­nya dan kuat, berkuranglah kepastian akan mendapat pe­kerjaan.

Jika kaum kapitalis itu bangsa Indonesia, tentulah ke­miskinan dan kemelaratan tak akan sepedih itu sebab si­sa keuntungan yang sangat banyak itu mungkin dilem­parkan pada rakyat. Gaji buruh boleh jadi dinaikkan; pe­ngajaran, koperasi rakyat, industrialisasi dan kesehatan mungkin diperhatikan dan diperbaiki. Sekarang tak se­mua itu terjadi, sebab untung yang berlipat ganda terus menerus diangkut dari Indonesia keluar negeri.

Selain dari proses pengeringan ini, pertentangan so­sial dipertajam oleh perbedaan bangsa dan apa saja yang bersangkutan dengan hal itu. Kaum kapitalis berbahasa lain dari rakyat dan pemerintah bukan pemerintah rak­yat. Kaum kapitalis dan pemerintah memeluk agama lain, mempunyai kesusilaan dan kebiasaan lain, serta ideo­loginya berbeda dengan rakyat. Dalam pergaulan seha­ri-hari antara kapitalis dan buruh, antara pemerintah dan rakyat, yang tersebut tadi penting sekali. Kapitalis Belan­da tidak mengenal buruhnya, pemerintah Belanda mengenal rakyatnya. Bukan dia tak ingin mengenal rak­yat.

Meskipun dia sekiranya mau berbuat serupa itu, tidaklah mudah bagi Belanda akan menyelami batin peng­huni khatulistiwa ini sebab mereka tidak menyiapkan faktor-faktor yang perlu, seperti pendidikan, bahasa per­gaulan sosial dan kepercayaan rakyat. Oleh karena itu­lah, Belanda yang katanya “sopan” kerapkali mengeluar­kan kata-kata yang kotor terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan menyukai pemerintah Be­landa. Sebagaimana Filipina yang tak langsung merasa­kan kekuasaan Gubernur Jenderal Amerika dan boleh di­katakan tidak mendapat kesusahan dari pembesar-pem­besar Amerika, masih saja terus mereka menuntut kemer­dekaannya, demikian jugalah bangsa Indonesia-selatan akan tetap menagih kemerdekaan yang mutlak dan se­luas-luasnya. Sebagaimana seorang manusia tak suka di­ganggu dan dikuasai oleh orang lain, demikian pula rak­yat. Mereka lama-kelamaan tak akan membiarkan dirinya dijajah atau dikuasai oleh bangsa lain.

Terserah kepada kita memperhatikan, apakah perten­tangan Belanda kapitalis dan Indonesia buruh akan tetap selama-lamanya atau sementara waktu saja!

Pertentangan ini lambat laun berkurang bila pemerin­tah sekarang, bukan nanti, mengadakan perubahan besar, perbaikan ekonomi, politik dan sosial yang memperbaiki keadaan seluruh rakyat Indonesia.

Hak ini hanya terjadi dengan mendirikan industri ba­ru (kapas, karet, pabrik-pabrik mesin, perkapalan, tam­bang dan lain-lain), membuka pertanian besar-besar dan memperbanyak jalan-jalan raya, mendirikan koperasi rakyat dengan bunga yang rendah, memberi bantuan pi­kiran dan bahan kepada kaum tani, tanah kepada bekas­-bekas petani yang miskin, menaikan gaji buruh dan mengurangkan jam bekerja, meringankan atau menghapus­kan pajak dan membesarkan pajak perkebunan atau ke­bun-kebun besar, dan industri dijadikan hak bersama, yai­tu pemerintah, memberikan hak dalam pemilihan umum yang seluas-luasnya kepada bumiputra, mendirikan perwakilan rakyat yang “sejati” yang daripadanya dipilih sa­tu badan yang bertanggung jawab sepenuh-penuhnya ke­pada rakyat Indonesia, menghapuskan segala badan birokrasi yang tak berfaedah, seperti Raad van Indiede Al­t gemeene Secretaris dan lain lain.

Tentu tak akan terjadi!

Setengah dari itu pun tak akan terjadi. Taruhlah secara tiba-tiba imperialis Belanda melemparkan “politik warung kecilnya” dan mempergunakan politik kolonial sesungguhnya, itu sudah terlambat! Sekali lagi terlambat! Imperialisme Belanda tak punya cita-cita, keberanian dan alat-alat untuk mengadakan perubahan yang berarti sedikit. Ia terlalu “daif” (lemah) untuk melakukannya dan tidak ada pula borjuasi bumiputra modern dapat membantunya.

Adapun “kapital luar negeri” yang bertitik-titik beberapa dollar dari wallstreet hanya seumpama beberapa butir kerikil yang dilemparkan untuk menimbuni jurang yang sangat dalam antara imperialisme Belanda dan rakyat Indonesia.

Perbaikan radikal seperti di Filipina dapat dan mau Amerika jalankan, bila ia menerima kekuasaan politik di Indonesia dari Belanda si tukang warung itu. Jika terjadi yang seperti ini, Amerika dalam waktu yang singkat nis­caya akan datang di Indonesia dengan beberapa ribu juta rupiah. Tetapi mustahil! Sebab bertentangan dengan ke­pentingan dan “kehormatan” Belanda. Sebab kapital Amerika yang besar di Indonesia akan mendesak kapital Belanda ke sisi! Dan kalau keuangan terikat, kapital Be­landa tak berarti (dan tukang warung Belanda terpaksa jadi boneka-boneka Paman Sam).

Tentu saja “Meneerge” tidak mau! Tambahan lagi yang tak kurang pentingnya, ini berarti kekuasaan eko­nomi dan politik Amerika akan bertambah besar di bagian yang strategis dan penting sekali di Pasifik. Hal itu tentulah dengan sekuat-kuatnya akan ditentang oleh Inggris dan Jepang yang dengki, dan mungkin akan menimbulkan perang dunia yang lama dan dahsyat.

Oleh sebab itu, bagi Belanda cilik yang enggan mus­nah, lebih baik ia berbuat sesukanya sambil menunggu keruntuhannya. Lagi pula, penjajah lain (Inggris, Amerika dan Jepang) lebih baik membiarkan Belanda bergumul dengan jajahannya yang mulai durhaka.

VII

KEADAAN POLITIK

1. Tinjauan ke Belakang

“Politik” di Indonesia belum pernah jadi “a common good“, kepunyaan umum rakyat. Paham kenegaraan tak pernah melewati segerombolan kecil penjajah Hindu atau setengah Hindu.

Sebagaimana dalam kebanyakan negeri feodalistis di Indonesia, pemerintahan negeri dipegang oleh seorang raja dan komplotannya. Seorang raja sesudah berhasil menjalankan peran “jagoan”, lalu mengangkat dirinya jadi raja yang bertuan. Anaknya yang bodohnya lebih dari seekor kerbau atau seorang tukang pelesir, di belakang hari, menggantikan ayahnya sebagai yang dipertuan di dalam negeri. Peraturan turun-temurun ini “lenyap” apabila seorang “jagoan” baru datang menjatuhkan yang lama, dari mengangkat dirinya pula jadi raja.

Konstitusi tidak ada yang menentukan penobatan atau pemaksulan seorang raja dengan menteri-menterinya, serta menetapkan dengan saksama. Semua kekuasaan dan cakupan pengaruhnya bersandarkan pada kekerasan dan kemauan raja, juga kepercayaan dan perhambaan masa. Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, rakyat sebagai yang dikatakan Lincoln tak pernah dikenal di Indonesia.

Kadang-kadang ada seorang rajalela yang “agak adil” di panggung politik. Akan tetapi, hal ini adalah suatu perkecualian, kebetulan dan keluarbiasaan. Tidak ada yang dapat dilakukan rakyat jika tiada raja yang begitu selain berontak. Indonesia hanya mengenal pemerintahan beberapa orang dan tak pernah mengenal hukum-hukum yang tertulis.

Keadaan di Minangkabau sedikit berlainan. Pemerintahan oleh adat diserahkan kepada wakil-wakil rakyat para penghulu, yakni datuk-datuk. Mereka mesti memerintah menurut undang-undang tertentu. Kekuasaan tertinggi bernama “mufakat” yang diperoleh dari perundangan dalam satu rapat.

Tiap-tiap rapat mesti terbuka seluas-luasnya dan menurut kebiasaan yang pasti. Laki-laki dan perempuan dalam rapat mempunyai hak bicara sepenuh-penuhnya yang dengan cara bagaimanapun tak boleh dikurangi. Baik terhadap perkara daerah atau nasional, “undang-undanglah” yang berkuasa setinggi-tingginya.

Akan tetapi, keadaan seperti itu terdapat di Minangkabau saja, yaitu daerah kecil terpencil di Kepulauan Indonesia. Oleh sebab itulah, orang di sana tidak seberapa terpengaruh oleh Hindu dan Arab, pendeknya, dalam hal politik.

Meskipun orang Belanda, andaikata ingin memperlakukan rakyat Indonesia dengan hormat seperti terhadap sesamanya, misalnya seperti di bagian lain-lain dari Indonesia, dalam merancang dan menjalankan undang-undang dan dalam membentuk dan memaksulkan pemerintah, “rakyat tidak boleh campur tangan”.

a. Pokok Undang-Undang Minangkabau

“Anak kemenakan beraja kepada penghulu,

Penghulu beraja kepada mufakat.

Mufakat beraja kepada alur dan patut”.

Demikian pula halnya di Kerajaan Poko-Dato, Sriwijaya, Majapahit dan Mataram.

Karena rakyat tidak campur tangan dalam pemerintahan negeri, dapatlah Kompeni Hindia-Timur menaklukkan atau berkompromi dengan raja-raja Indonesia, dan mendapat kekuasaan sedikit ke sedikit, dan akhirnya seluruh Indonesia jatuh ke tangannya.

b. Perwakilan Rakyat atau Soviet

Selama penjajahan Belanda, terlahir nisbah sosial yang lambat laun meminta pemecahan atas soal susunan negara tetapi pemerintahannya belum tentu secara parlemen atau Soviet.

Parlementarisme di negeri-negeri Barat dilahirkan oleh kaum borjuis sewaktu kekuasaan sewenang-wenang merajalela di sana dan kaum borjuis dengan perniagaan dan industrinya yang semakin maju merasa digencet dalam memperbesar perusahaannya, oleh raja-raja feodal: yang merintangi dengan pelbagai cukai dan pajak yang tinggi-tinggi, sementara borjuasi tidak mempunyai hak politik. Dalam keadaan begitulah lahir Magna Charta, Cromwellisme, dan Revolusi Prancis. Selanjutnya Voltaire, pemimpin borjuasi yang hebat habis-habisan menggempur agama Katholik dan pendeta-pendetanya, lalu ia mengajarkan paham “atheis” (memungkiri Tuhan).

Rousseau menentang autokrasi dengan demokrasi dan untuk menentang pemerintahan turun-temurun, diajarkannya “kontrak sosial”, yakni satu pemerintahan yang mengadakan kontrak dengan rakyat. Menurut ajaran Rousseau, seorang raja hanya boleh memerintah selama ia berbuat sesuai perjanjian; rakyat harus menentangnya bila perjanjian itu dilanggar.

Karena borjuasi Prancis merasa kurang kuat melawan kekuasaan raja, bangsawan dan pendeta, bersatulah mereka dengan massa revolusioner, yaitu kaum buruh dan tani. Akan tetapi, massa ini tidak boleh berkuasa. Mereka semua hanya dipakai sebagai umpan meriam dalam revolusi borjuasi, sedang kekuasaan dipegang oleh kaum borjuis. Dengan semboyan “Liberte, Egalite, dan Fraternite” yang sekarang jadi demokrasi, liberalisme dan parlementarisme, mereka dapat merobohkan pemerintah feodalistis.

Sesudah memperoleh kekuasaan politik, “demokrasi borjuasi” menunjukkan dirinya. Biarpun dalam negara parlementer, seperti Inggris, Prancis dan Amerika, tiap rakyat diberi hak dalam pemilihan, tetapi kaum buruh dan si miskin di sana (orang yang terbesar jumlahnya) senantiasa tidak dapat mempertahankan calon-calonnya dalam pemilihan parlemen sebab mereka terkurung di dalam pengaruh pikiran borjuis yang dikembangkan di sekolah-sekolah, gereja, surat-surat kabar, dan terlebih lagi, karena mereka kekurangan alat-alat propaganda (ruangan rapat, koran dan brosur yang semuanya mahal).

Borjuis dengan profesor, jurnalis, pendeta dan kaum diplomatnya yang bergaji besar, dapat memperoleh kemenangan waktu pemilihan parlemen.

Karena anggota-anggota parlemen memegang jabatannya selama tiga atau empat tahun, hubungan antara si pemilih dengan yang dipilih sangat renggang. Mereka berhadapan dengan rakyat di waktu pemilihan saja, dan itulah yang menyebabkan wakil tadi menjadi birokrat sejati. Oleh karena perceraian Majelis Rendah dan Majelis Tinggi (badan yang membuat undang-undang) dengan kabinet (badan yang menjalankan undang-undang) jatuhlah kekuasaan yang sesungguhnya ke tangan kantor-kantor yang selalu berhubungan rapat dengan bank-bank. Begitulah akhirnya, asas demokrasi dan aturan parlementer ditelan oleh tuan-tuan besar bank (Morgan di Amerika, Locheur di Prancis, dulu Stinnes di jerman), itulah “demokrasi resmi”: terbentuk karena dana.

Begitulah, demokrasi yang sebenarnya di masa ini menjadi diktator dari borjuasi (Cromwellisme, Napoleonisme dan sekarang berupa Pascisme) yang bersembunyi di belakang pers, sekolah, gereja dan bertopeng parlemen dalam ketenangan masa kecerdasan kapitalisme Dan kekuasaan politik yang sebenar-benarnya, seperti ekonomi, selamanya di tangan borjuasi.

Sovietisme dan parlementarisme sudah saya uraikan dalam brosur “Parlemen atau Soviet” (dicetak tahun 1911) Oleh sebab itu, di sini hanya pokok-pokoknya yang saya uraikan.

Di zaman pergerakan proletar dan revolusi ini, kaum buruh yang tak mau damai itu mengemukakan segala pertentangan dan pendiriannya terhadap kekuasaan kaum. borjuis, seperti borjuasi merobohkan kaum feodalis dalam perjuangan rohani dan jasmani selama 100 tahun (1740-1848).

Peraturan ekonomi komunis dipertentangkan dengan kapitalis, diktator buruh dengan diktator borjuis, Sovietisme dengan Parlementarisme.

Sebagaimana parlemen adalah ciptaan borjuasi, Soviet adalah ciptaan diktator buruh yang dengan pertolongan kaum tani menguasai borjuasi. Jadi Soviet adalah alat politik di tangan kaum buruh yang diadakan sebelum atau selama revolusi. Soviet itu merupakan keadaan politik yang membelokkan masyarakat kapitalisme ke arah komunisme dengan jalan nasionalisasi segala alat-alati produksi serta mengurus sekalian produksi dan distribusi secara komunistis.

Badan-badan ekonomi, politik dan pendidikan yang dibentuk selama pemerintahan diktator itu, dipakai bukan saja untuk melemahkan dan menghancurkan borjuasi di gelanggang politik, ekonomi, dan ideologi, melainkan juga untuk mencerdaskan semua tenaga masyarakat ke arah komunisme.

Sementara buruh mengadakan diktator terhadap borjuis, di dalam kelasnya sendiri sudah ada demokrasi yang sesungguhnya. Ia berkekuasaan politik yang sebenarnya sebab ia menguasai semua alat produksi dan distribusi. Tambahan lagi, ia akan mempunyai semua alat penyebar semangat, seperti sekolah, surat kabar dengan secukupnya.

Soviet berikhtiar menghancurkan “birokrasi” yang biasa terdapat dalam susunan parlementer. Supaya tercapai maksud ini dijalankan tindakan-tindakan berikut ini.

(1) Waktu pemilihan dipersingkat.

(2) Hubungan si pemilih dengan yang dipilih didekatkan dan si penyusun undang-undang dengan si pelaksana disatukan dan dibentuk satu badan yang sama-sama membuat dan menjalankan undang-undang.

(3) Wakil-wakil itu kapan saja boleh diangkat dan diberhentikan.

(4) Ke dalam pemerintahan sedapat mungkin dimasukkan kaum buruh.

Kaum buruh yang berkesadaran tinggi, yang seharusnya memegang pemerintahan negeri karena kaum borjuis akan selalu berdaya upaya menuntut kekalahannya yang dulu dirampas oleh buruh, dan hal ini tentulah dijalankan mereka dengan kontrarevolusi. Mereka ini disusun dalam partai komunis.

Menurut keadaan itu, nanti kekuasaan politik diperas sampai kepada buruh-buruh berorganisasi dan serikat sekerja dan akhirnya ke seluruh kaum buruh.

Semestinya, tiap-tiap kelas yang revolusioner hendaknya merampas dan mempertahankan semua kekuatan politik. Karena kalau ketentaraman politik di tiap negeri sudah kokoh, dapatlah usaha-usaha ekonomi dijalankan dan, bersama dengan itu, hiduplah demokrasi ang sesungguhnya.

Indonesia belum pernah mengenal “demokrasi”. Dan arena borjuasi bumiputra yang kuat tak ada, buat sementara waktu, Indonesia tidak akan berkenalan dengan demokrasi itu. Semua daya upaya untuk memperolehya tidak akan berhasil, dan boleh dikatakan bahwa semua cita-cita seperti itu — diktator — demokrasi borjuis – adalah tidak mungkin. Hanya kelas buruh Indonesia aja yang dapat memegang diktator (bila ia tetap insaf dan bekerja). Ia menguasai kehidupan ekonomi.

Dan di waktu sekarang, buruh merupakan salah satu kelas yang mempunyai organisasi yang terkuat di Indonesia. Kita tak usah menyesal bila kita langkahi zaman “demokrasi tipuan” itu!

Kekokohan politik Republik Indonesia dapat dipertahankan oleh diktator buruh yang kekuasaan semangatnya terkandung dalam satu partai revolusioner yang “kuat”. Lama-kelamaan kekuasaan politik dapat diperluas kepada tiap-tiap buruh Indonesia.

2. Dewan “Rakyat” Kita!

Perbuatan birokrasi yang buruk dan kemunafikan besar! Sungguh hanya pada bangsa Filistin dahulukah kita dapati kekerasan dan kecurangan seperti sekarang ini?

Di manakah rakyat yang berdiri di belakang Dewan Rakyat itu? Dan apakah yang sudah diperbuat Dewan Rakyat yang mahal itu untuk rakyat? Di antara 48 orang anggota, 20 orang adalah bangsa Indonesia dan 28 orang asing yang mewakili kapital asing. Dengan keadaan demikian sia-sialah semua ikhtiar anggota akan mendapat kemenangan suara.

Andaipun dewan itu adalah dewan yang sesungguhnya, sebenarnyalah dewan itu tak dapat berbuat sesuatupun sebab semua nasihatnya boleh dibuang ke dalam keranjang sampah oleh orang yang berkuasa (Dewan Rakyat bukanlah badan pembuat undang-undang, melainkan badan penasihat).

Jumlah anggota bangsa Indonesia terlalu kecil dan, oleh sebab itu, mereka tak dapat menyatakan kehendak rakyat. Jika kita ingat negara Belanda yang jumlah penduduknya 7,000,000 mempunyai 100 orang anggota Tweede Kamer (anggota Eeste Kamer tidak masuk), niscaya Indonesia yang jumlah penduduknya 55,000,000 sepatutnya secara parlemen mempunyai sekurang-kurangnya 600 orang anggota.

Di antara 20 orang anggota Indonesia yang ada di dalam dewan itu tak seorangpun yang betul-betul wakil rakyat atau dipilih rakyat, apalagi untuk rakyat. Delapan orang diangkat oleh Gubernur Jenderal dan kebanyakan dari mereka ini pemburu pangkat, seperti wakil Sumatera, Demang Loetan, dan dari Jawa, Dawidjosewojo. Atau mereka itu seperti anak bengal politik seperti contoh yang sebaik-baiknya, ditunjukkan oleh yang dipertuan Tuan Soetadi. Anggota lain-lainnya dipilih oleh rapat-rapat gementee (PEB), bukti ini cukup terang! Tak ada faedahnya dalam buku ini kita tuliskan semua kebusukan birokrasi Belanda. Pun tak ada faedahnya bagi kita, kaum revolusioner, mengeritik dengan sungguh-sungguh semua usul-usul yang diperbincangkan atau yang telah diterima oleh dewan itu. Jika kita tak mau diperdaya oleh nama-nama yang bagus dan janji yang manis-manis dari pemerintah ini, dapatlah kita menyimpulkan semua politik kolonial Belanda sebagai berikut.

1. Bangsa Indonesia yang 55,000,000 itu tak mempunyai hak bersuara tentang politik.

2. Kapitalis besar memerintah dengan perantaraan kaum birokrat yang tak punya hati dan militeris yang picik.

3. Dewan Rakyat itu “seekor lintah” yang melekat di punggung rakyat Indonesia.

3. Harapan kepada Badan Perwakilan Rakyat.

Adakah harapan bagi Indonesia kelak akan memperoleh semacam Badan Perwakilan Rakyat? Jawab yang pasti: “tidak”. Mendirikan Badan Perwakilan Rakyat selama pertentangan sosial dan kebangsaan seperti sekarang, berarti matinya imperialisme Belanda atau” hancur” mesin politiknya.

Hal ini harus diketahui oleh tiap-tiap bangsa Indonesia!

Ini bukan soal “matang” atau “mentahnya” bangsa Indonesia melainkan, seperti yang sudah berulang-ulang kita uraikan di bagian lain dalam buku ini, disebabkan oleh ketiadaan borjuasi bumiputra modern, yang kepentingan ekonominya sedikit banyak sama dengan borjuasi imperialistis-kapitalistis.

Kalau di masa sekarang wakil-wakil dari seluruh atau sebagian rakyat Indonesia dipilih oleh orang Indonesia dengan pemilihan yang sebebas-bebasnya niscaya dengan segera akan menghadapi masalah kelas. Jika mereka tak suka menipu si pemilih, wakil-wakil mereka seharusnya mengangkut masalah perbaikan ekonomi, sosial dan politik untuk melawan kapital besar. Hal ini bukanlah perbaikan kecil-kecilan yang dijalankan perlahan-lahan oleh kaum birokrat, melainkan perubahan radikal yang dikerjakan dengan cepat dan praktis di bawah pimpinan dan pengawasan wakil-wakil rakyat.

Sebagai misal pencuri-pencuri seperti pada Perusahaan Beras di Selat Jaran dan perusahaan pemerintah yang lain semestinya tidak dihukum dengan pemecatan yang “tidak terhormat” seperti yang biasanya dilakukan pada pencuri kecil-kecil. Tuan-tuan yang berbuat begitu yang digaji oleh rakyat tapi merusakkan perusahaan rakyat, semuanya harus digantung “dengan hormat”.

Jika kelak wakil-wakil rakyat dapat mengadakan islah yang nyata, rakyat akan merasa, bahwa material dan moral mereka sungguh bertambah maju, dan soal “bendera” (terjajah atau terlepas dari Belanda) akan dilupakan sementara waktu. Bukan karena soal itu tidak penting melainkan karena kesukaran yang besar-besar dapat disingkirkan dan cita-cita politik sebagian besarnya dapat diwujudkan.

Kita tidak akan memperbincangkan hal bentuk pemerintahan yang akan diadakan seperti yang digambarkan di atas. Soal itu adalah soal angan-angan dan susunan pemerintahan negeri yang disandarkan kepada “pertimbangan teoretis” belaka.

Pati soal itu, apakah imperialisme Belanda akan sanggup kelak mengadakan islah-islah yang nyata? Jika sekali lagi kita ingat jurang pertentangan Belanda-kapitalis dengan buruh Indonesia, ketiadaan borjuasi bumiputra, kelemahan dalam hal keuangan dan kepicikan politik imperialis Belanda, pertanyaan itu tanpa menanggung risiko besar dapat kita jawab dengan “mustahil!”

Kesimpulannya, segala kerewelan tentang perubahan pemerintahan negeri di Indonesia yang sekarang sedang ramai diperbincangkan oleh orang-orang pintar dan birokrasi Belanda itu membuang-buang waktu percuma. Jika rakyat Indonesia satu waktu memperoleh Badan Perwakilan Rakyat, niscaya ini bukan “karunia dari atas” melainkan disebabkan “desakan kuat” dari bawah.

VIII

REVOLUSI DI INDONESIA

1. Kemungkinan Besar Akan Timbulnya Revolusi

Masalah politik, ekonomi dan sosial yang mungkin menimbulkan revolusi di Indonesia rasanya tak perlu kita kupas lagi, karena sudah beberapa kali kita terangkan di atas. Cukuplah dikemukakan kesimpulan yang di bawah ini.

1. Kekayaan dan kekuasaan sudah tertumpuk ke dalam genggaman beberapa orang kapitalis.

2. Rakyat Indonesia semuanya makin lama semakin miskin, melarat, tertindas dan terkungkung.

3. Pertentangan kelas dan kebangsaan makin lama semakin tajam.

4. Pemerintah Belanda makin lama semakin reaksioner.

5. Bangsa Indonesia dari hari ke hari semakin bertambah kerevolusionerannya dan tak “mengenal damai”.

Karena dugaan bahwa imperialis Belanda dengan tiba-tiba menjadi cerdas, cerdik dan sanggup mengadakan islah-islah yang merugikan kapitalis besar dapat dipandang sebagai khayal dalam “Cerita Seribu Satu Malam” maka proses revolusi yang berlangsung sekarang tidak akan tertahan. Sebaliknya, perjalanan makin lama semakin pesat dan tiap-tiap waktu pecahnya revolusi boleh diharapkan.

Apalagi sebagian dari revolusi itu sudah terbukti. Beberapa pemberontakan yang pecah dengan sendirinya di Jawa dan Sumatera selama 300 tahun dalam “keberkahan” imperialisme Belanda adalah akibat perbenturan kelas dan kebangsaan yang pada mulanya berupa pemberontakan agama. Juga kekacauan politik semenjak 15 tahun, ini berupa berbagai hasutan dan aksi dan yang lebih jelas berupa niatan dan perbuatan anarkis di Jawa dan pembunuhan atas pegawai-pegawai Pamong Praja di Sumatera Barat yang melunturkan kepercayaan terhadap kekebalan imperialisme Belanda, semuanya tergolong akibat perbenturan kelas dan kebangsaan.

Akan tetapi, perbenturan besar antara kelas dan kebangsaan yang dahsyat, pecah semata-mata karena pertentangan itu sendiri dan bersifat modern, yaitu berupa “revolusi”, belum terjadi di Indonesia!

Kelak ia pasti melanda seluruh kepulauan ini dan meletus-letus dengan sendirinya.

2. Sifat Revolusi Indonesia yang Akan Timbul

Bagaimana rupa revolusi itu? Apakah sifat-sifatnya yang ditunjukkan bila ia meletus besok atau lusa? Inilah yang harus kita, sebagai revolusioner, tanyakan kepada diri sendiri dan menjawabnya sekali, jika kita mau menjauhi politik “terombang-ambing” seperti Douwes Dekker dan Tjokroaminoto. Menurut jawaban atas pertanyaan itu, kita tempa alat-alat revolusi, yaitu program organisasi dan taktik kita.

Pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia merupakan syarat terutama untuk mendapat perkakas revolusi. Hal itu pulalah yang menjadi syarat pertama yang mendatangkan kemenangan revolusi kita.

Jika pengupasan itu tidak sempurna atau kita keliru dengan ramalan dan kesimpulan kita, kemenangan itu tidak akan pasti atau sebentar saja. Kita tak mempunyai horoskop yang dapat melihat peristiwa yang bakal terjadi layaknya ahli nujum meramalkan kehidupan seseorang di kemudian hari. Akan tetapi, dengan Marx dan Lenin sebagai penunjuk jalan dapatlah kita tentukan sedikit garis-garis besar dari revolusi di Indonesia (melihat tingkat kecerdasan kapitalisme pada waktu ini).

Tentulah revolusi itu akan berbeda dengan “Pemberontakan Maroko”. Hal ini benar sekali sebab Indonesia tenaga produksinya lebih tinggi (industri, pertanian, pengangkutan dan keuangan yang besar kuat) daripada negeri tani kecil dan gembala domba seperti Maroko. Juga Indonesia, terutama Jawa, tidak berpegunungan yang dapat didiami dan gurun pasir luas tempat kaum revolusioner menyembunyikan diri bertahun-tahun untuk kemudian setiap saat dapat meneruskan perang gerilya.

Dan lagi, ia tak akan berupa revolusi proletar sejati seperti di Jerman, Inggris dan Amerika (yang penduduknya sebagian besar terdiri dari kaum buruh) karena kapital Indonesia masih terlalu muda, belum subur dan masih lemah. Oleh karena itu, kaum buruh kita kalau dibandingkan dengan kaum buruh di negeri Barat, jauh ketinggalan, baik kuantitas maupun kualitasnya. Tambahan pula, keadaan kaum yang bukan buruh yang juga akan turut mengadakan revolusi masih ada di dalam zaman revolusi borjuasi dan revolusi nasional.

Revolusi kita juga tidak akan menyamai revolusi borjuasi seperti di Prancis tahun 1789 karena borjuasi kita masih terlampau lemah dan feodalisme sebagian besar sudah dimusnahkan oleh imperialisme Belanda. Juga ia tidak akan menyamai Revolusi Prancis tahun 1870 karena kita agaknya mempunyai tenaga-tenaga produksi lebih cerdas, tambahan lagi nisbah sosial sangat berlebihan.

Akan berlainan pula ia dengan Revolusi Rusia yang feodalismenya boleh dikatakan lemah dan borjuasinya muda yang oleh perang bertahun-tahun menjadi sangat mundur, sedangkan kaum buruhnya muda, gembira dan dididik menurut aturan Lenin. Kita harus berjuang melawan imperialisme Barat meskipun kecil, ia tak boleh diabaikan sebab ia mempunyai tipu kelicinan dan suka menjadi “pelayan” imperialisme Inggris yang besar itu.

Ia akhirnya tidak akan menjadi revolusi politik semata-mata seperti yang biasa akan terjadi di India, Mesir dan Filipina, yaitu borjuasi bumiputra merebut kekuasaan politik saja (kekuasaan parlemen) karena kapitalis nasionalnya kuat dan kaum intelektualnya sudah lebih banyak daripada di Indonesia.

Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim. Ia juga didorong oleh kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menindas dan menghina mereka.

Pati revolusi (sekurang-kurangnya di Jawa) harus dibentuk oleh kaum buruh industri modern, perusahaan dan pertanian (buruh mesin dan tani). Benteng-benteng politik, terutama ekonomi imperialisme Belanda, hanya dapat dipukul oleh kaum buruh. Di sekitar kaum bumi itu berbaris kaum borjuasi kecil yang mundur maju tak pungguh hala (Kaum borjuis akan menurut bila mereka tahu akan memperoleh kemenangan; itu pun di belakang sekali. Pun kalau mereka sungguh suka turut. Lebih dari itu “tidak” dan jangan diharap).

Revolusi Indonesia yang memperoleh kemenangan akan mendatangkan perubahan yang tepat dalam perekonomian, politik dan sosial pada waktu kecerdasan kapitalistis menghadapi krisis. Bila kaum buruh kita tetap giat, dapatlah mereka memegang peran yang terpenting.

IX

PERKAKAS REVOLUSI KITA

Dengan pelbagai ragam suara, dalam keadaan yang berbeda-beda dan oleh berbagai golongan rakyat, tujuan politik kita sudah dinyatakan yaitu kemerdekaan nasional. Tentang tujuan akhir ini, orang di seluruh Indonesia telah bulat sepakat. Hanya tentang jalan yang akan ditempuh serta alat-alat yang akan dipakai, berlain-lainan pendapat orang.

Pertukaran susunan negara feodalistis ke kapitalistis yang cepat dan tidak sesuai dengan kemauan alam menyebabkan bangsa Indonesia berubah cepat cara berpikirnya. Tetapi, perubahan cara berpikir ini biasanya tertinggal dari perubahan ekonomi. Umumnya bangsa kita secara lahiriah tampak modern sesuai dengan zaman kapitalis tetapi cara berpikirnya masih kuno, masih tinggal di zaman dahulu, seperti masih menganut Mahabarata, Islam, dan berbagai macam takhayul dan kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu keramat dan lain-lain. Mereka masih terus seperti anak-anak dan berpikiran fantastis.

Kekalahan dalam persaingan ekonomi dengan kapital Barat yang lebih kuat itu menyebabkan terbitnya pikiran tidak betul dan anarkistis (melanggar peraturan) tidak melihat sesuatu dalam sifatnya yang sebenarnya. Ini terjadi terutama di kalangan penduduk dusun-dusun kecil yang baru dikalahkan dan digencet dan sebagian dari kaum buruh industri dan pertanian yang masih muda yakni mereka yang baru dirampas miliknya.

Sebagaimana perbedaan tingkat dalam industrialisasi demikian pulalah perbedaan pikiran penduduk di berbagai daerah di Indonesia. Kita tunjukkan saja perbedaan kemajuan pikiran antara penduduk Jawa dan saudara-saudara kita di Halmahera, atau antara saudara-saudara yang ada di Surabaya dan Semarang yang telah sadar itu dengan penduduk desa yang tidak berindustri. Di mana kapitalisme tumbuh, serta berurat-berakar, di sana mulai hiduplah rasionalisme dan pikiran yang sehat serta lenyaplah dengan perlahan-lahan kepercayaan kepada segala takhayul. Jadi, psikologi dan ideologi jiwa dan akal rakyat bangsa Indonesia sejalan dengan kecerdasan kapitalisme yang senantiasa berubah-ubah. Yang lama lenyap dan yang baru menjadi cerdas.

Sukar sekali membawa sekalian perbedaan pikiran yang sedang dalam transformasi itu kepada satu cita-cita yang sama membangun dan tak berubah. Karena itu pekerjaan yang berat sekali bagi kaum revolusioner akan membawa seluruh rakyat Indonesia kepada garis-garis yang sesuai dan selaras dengan aksi-aksi marxistis. Ia mudah tergelincir menjadi tindakan cari untung, anarki, dan mempercayai jimat-jimat.

Sampai waktu ini belum ada satu partai yang pandai menarik satu garis yang cocok dengan keadaan-keadaan yang ada di Indonesia dan memimpin rakyat kita di sepanjang garis itu. Beberapa partai berturut-turut tersesat di jalan yang tidak membawa ke tujuan.

Mempercayai jalan parlementer yang tenteram, yakni meretas jalan kemerdekaan Indonesia dengan cara berebut kursi dalam Dewan Rakyat dan meminta-minta supaya diberikan kekuasaan politik, kita namai “percobaan untung-untungan” yang menyesatkan. Percobaan ini hanya dapat dipikirkan secara teoretis dan praktis di dalam negeri jajahan yang mempunyai borjuasi bumiputra. Kerja bersama yang jujur dengan golongan penjajah Belanda di luar atau di dalam Dewan Rakyat adalah pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia.

Tidak dimaksudkan bahwa kita selamanya membelakangi Dewan Rakyat. Sebaliknya, bila besok atau lusa kita mendapat kesempatan melalui jalan pemilihan yang langsung untuk menduduki Dewan Rakyat, kewajiban kitalah memasukinya. Sungguh kita berbuat keliru dan penakut bila tidak bertindak begitu. Tetapi, belum semenit juga kita bermaksud bekerja bersama di dalam Dewan Rakyat dengan perampok gula, pencuri minyak dan penyamun getah, kita terpaksa memasukinya, menentang, melakukan aksi oposisi dengan penuh keberanian, dan memecahkan topeng mereka. Kita pergunakan Dewan Rakyat sebagai “Pengadilan Rakyat” dan kita rintangi tindakan pemerintah dari dalam. Dengan berbuat demikian, dapatlah kita sekadarnya mendidik rakyat yang tak boleh menulis dan bicara politik di luar Dewan Rakyat itu.

Mempergunakan cara yang sangat bertentangan dengan yang tersebut di atas, kita anggap suatu kebodohan pula karena lebih banyak merugikan usaha kemerdekaan seperti yang dipikir-pikirkan oleh kebanyakan bangsa kita. Selama seorang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan “putch” atau anarkisme, hal itu hanyalah impian seorang yang lagi demam. Dan pengembangan keyakinan itu di antara rakyat merupakan satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja atau tidak.

Putch” itu adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu bisanya hanya membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan kesanggupan massa. Ia sekonyong-konyong keluar dari guanya tanpa memperhitungkan lebih dulu apakah saat untuk aksi massa sudah matang atau belum. Dia menyangka bahwa semua lamunannya tentang massa adalah benar sepenuhnya. Dia lupa atau tak mau tahu bahwa massa hanya dengar berturut-turut dapat ditarik ke aksi politik yang keras (secara modern!) dan pada waktu sengsara serta penuh reaksi yang membabi buta. “Tukang-tukang putch” lupa bahwa pada saat revolusi ini kapan aksi massa berubah menjadi pemberontakan bersenjata tak dapat ditentukan berbulan-bulan lebih dulu, sebagaimana yang dapat dilakukan oleh seorang “tukang-tenung”. “Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai macam keadaan”. Bila tukang-tukang “putch” pada waktu yang telah ditentukan oleh mereka sendiri, keluar tiba-tiba (seperti Herr Kapp tukang “putch” yang termasyhur itu), massa tidak akan memberikan pertolongan kepada mereka. Bukan karena massa bodoh atau tidak memperhatikan, melainkan karena “massa hanya berjuang” untuk kebutuhan yang terdekat dan sesuai dengan kepentingan ekonomi.

Tiada satu kemenangan politik pun, hingga sekarang, yang diperoleh massa (bukan oleh segerombolan militer!) jika tidak dengan aksi ekonomi atau politik! Kerapkali pada awalnya orang melalui jalan yang sah. Akan tetapi, karena tukang-tukangputch keluar dari jalan yang sah, yaitu tiba-tiba memakai kekerasan senjata penggempur pemerintah maka 99 dari 100 kejadian, mereka ditinggalkan oleh massa sebab mereka dari mula sudah memencilkan diri dari massa. Demikian juga, 99 dari 100 kejadian, “komplot” putch dapat diketahui musuh. Rancangan putch selamanya bocor karena setengah anggotanya tidak sabar dan mereka ceramah atau karena pengkhianatan anggota yang ketakutan. Atau gerakan mereka dapat dicium mata-mata yang mondar-mandir di mana-mana.

Membuat putch di negeri, seperti Indonesia (terutama di Jawa), di tempat kapital dipusatkan dengan rapinya dan dilindungi oleh militer dan mata-mata ala Barat yang modern – sebaliknya, rakyat masih mempercayai yang gaib-gaib, takhayul dan dongeng – samalah artinya dengan “bermain api”: tangan sendiri yang akan hangus. Kaum anarkis yang biasanya berkata bahwa kekuasaan Barat yang kokoh ini dapat dirobohkan dengan beberapa butir telur “yang meletup” tidak lebih cerdik daripada seorang yang menembak batu dengan kepalanya.

Hanya “satu aksi massa”, yakni satu aksi massa yang terencana yang akan memperoleh kemenangan, di satu negeri yang berindustri seperti Indonesia!

Aksi-Massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka. Ia disebabkan oleh kemelaratan yang besar (krisis ekonomi dan politik) dan siap, bilamana mungkin, berubah menjadi kekerasan. Sebuah partai yang berdasarkan aksi massa yang tersusun pasti mampu membawa aksi massa yang memecah pelabuhan yang tenang dan aman.

Sebagian dari aksi massa menunjukkan dirinya dengan “pemogokan atau pemboikotan”. Bila buruh yang berjuta-juta meletakkan pekerjaannya dengan maksud tertentu (menuntut keuntungan ekonomi dan politik) niscaya kerugian dan kekalutan ekonomi akibat aksi mereka dapat melemahkan kaum penjajah yang keras itu.

Menurut kekuatan dan kemenangan kita pada waktu itu, dapatlah kita memperoleh hak-hak politik dan ekonomi. Di India pemboikotan itu ternyata adalah pisau bermata dua. Di satu pihak ia sangat merugikan importir Inggris, di lain pihak ia memajukan perdagangan bumiputra. Di Indonesia ketiadaan kapital besar bumiputra yang penting itu memberatkan pemboikotan terhadap perdagangan asing.

Bukan saja kekuasaan besar itu disebabkan oleh ikhtiar mengumpulkan kapital yang diperlukan, tapi juga meneruskan pemboikotan itu. Kita mudah memperkirakan bahwa pemboikotan nasional Indonesia yang hebat dan keras sangat dibenci dan dimusuhi oleh imperialis Belanda yang buas, seperti dia membenci pemogokan umum.

Akan tetapi, pemboikotan di Indonesia bukanlah pekerjaan mustahil. Di Pulau Jawa dan di luarnya bukankah banyak kapital bumiputra kecil-kecil yang kalau dikumpulkan ke dalam koperasi nasional dapat melahirkan kapital yang sangat besar. Tapi ikhtiar yang serupa itu terlalu banyak meminta kesadaran, keaktifan dari seluruh lapisan penduduk Indonesia.

Pemboikotan pajak yang dianggap menjadi aksi itu di India tidak pernah dilakukan karena kekuatiran borjuasi terhadap akibat revolusioner. Di Indonesia pemboikotan pajak adalah sebuah senjata ekonomi politik yang sangat sakti.

Tetapi, perbuatan seperti itu berarti “melanggar undang-undang” dan hanya terjadi dalam keadaan-keadaan revolusioner di bawah pimpinan satu partai revolusioner yang kuat betul.

Bagian politik dari aksi massa menunjukkan diri dengan demonstrasi dan di India dengan keengganan kerja bersama mengandung maksud politik dan ekonomi, menagih pemerintahan sendiri (home rule) dari imperialisme Inggris. Bagian politiknya berupa tindakan meninggalkan hal-hal sebagai berikut:

1. badan-badan pemerintahan;

2. pengadilan pemerintahan;

3. sekolah-sekolah pemerintahan; dan

4. polisi dan tentara.

Tindakan yang keempat, karena takut kepada pemberontakan, tidak pernah dijalankan. Yang pertama sampai yang ketiga tidak cukup lama dilakukan dan tak cukup memberi hasil. Apakah di Indonesia dapat lebih lama dijalankan dan lebih berhasil daripada di India? Pertanyaan ini akan kita jawab kelak dalam satu pembicaraan yang khusus.

Demonstrasi politik ditunjukkan dengan massa yang berbaris di sepanjang jalan raya dan di gedung rapat, dengan maksud mengajukan protes dan memperkuat tuntutan politik dan ekonomi dan menunjukkan kepada musuh berapa besarnya kekuatan kita. “Bila semboyan dan tuntutan” sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik dapat jadi gelombang hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga meruntuhkan benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa.

Di negeri yang berindustri seperti Indonesia, “aksi-massa”, yakni boikot, mogok dan demonstrasi, boleh dipergunakan lebih sempurna sebagai senjata yang lebih tajam (di India tidak terjadi sebab bumiputra yang berkapital takut pada pemogokan umum dan kekuasaan politik dari kaum buruh, ketakutan yang tak berbeda dengan borjuasi Inggris!).

Bila sebuah partai revolusioner berhasil mengerahkan kaum buruh yang berjuta-juta agar meninggalkan pekerjaannya dan yang bukan buruh agar tak mau bekerja sama serta seluruh rakyat berdemonstrasi untuk menuntut hak ekonomi dan politik tanpa melempar sebutir kerikil pun kepada pegawai pemerintah, niscaya akibat politik moral dari aksi itu sangat besar artinya. Ia akan mendatangkan keuntungan dalam perjuangan politik dan ekonomi lebih besar daripada seratus Pemberontakan Jambi atau huru-hara, pembunuhan yang aneh-aneh dan dikerjakan oleh anggota-anggota “bagian B” dan tukang-tukang putch yang gagah. Kita tidak boleh melupakan bahwa aksi yang akan kita lakukan itu sekarang dilarang oleh undang-undang tetapi, tidak ada alasan bagi kita untuk meninggalkan jalan satu-satunya itu.

Tambahan pula, menjadi pertanyaan besar, apakah pemerintah dapat mempertahankan larangan itu, sekurang-kurangnya jika tidak lekas patah arang oleh kekalahan kecil seperti yang sudah-sudah. Hak-hak manusia yang asli seperti mogok (menolak penjualan tenaga sendiri), boikot (menolak kerja bersama, membeli atau menjual barang-barang) dan hak berdemonstrasi (mengumumkan cita-cita) akan lenyap selama-lamanya dari bangsa Indonesia kalau di belakang tiap-tiap orang Indonesia berdiri seorang serdadu imperialis yang bersenjata.

Kelebihan aksi massa daripada putch, ialah bahwa dengan aksi massa perjuangan kita dapat dijaga, sedangkan denganputch, kita memperlihatkan iri kepada musuh. Di dalam aksi massa, pemimpin boleh berjalan sekian jauh menurut kepatutan yang perlu di waktu ini. Ia selamanya dapat menentukan berapa jauh ia boleh mengadakan tuntutan politik dan ekonomi tanpa tidak menanggung kerugian besar (pengorbanan mesti ada dalam tiap-tiap aksi massa). Dan ia tidak kehilangan hubungan dengan massa. Demikian pun, hubungan antara massa itu sendiri tidak putus. Dengan serangan sekonyong-konyong, yaitu tindakan keras tukang-tukang putch yang disengaja terhadap musuh, mereka dari awalnya gampang diserang musuh. Pemimpin aksi massa dengan memegang “peta perjuangan” di tangannya dapat mempermainkan musuh dengan jalan maju selangkah-selangkah dan kemudian sekali menggempur habis-habisan.

Aksi massa membutuhkan pemimpin yang revolusioner, cerdas, tangkas, sabar dan cepat menghitung kejadian yang akan datang, waspada politik. Ia harus juga bekerja dengan kekuatan nasional yang sudah ada dan tidak mengharapkan kekuatan yang sekadar lamunan. Selanjutnya, ia harus mengetahui tabiat massa yang dipimpinnya (mengetahui waktu dan cara bagaimana reaksi rakyat terhadap kejadian-kejadian politik dan ekonomi).

Ia harus pandai pula bersemboyan yang menyemangatkan rakyat sehingga mengubah “kemauan massa” menjadi “tindakan massa”. Selain itu, kedudukan politik dan ekonomi mesti diketahuinya betul-betul dan ia harus pula pandai mempergunakannya tanpa ragu-ragu. Disebabkan kelas yang berkuasa (pemerintah) mempunyai laskar yang lengkap dan senantiasa siap siaga maka kecakapan dan ketangkasan pemimpin gerakan modern aksi massa mesti mempunyai pengetahuan yang praktis tentang politik dan ekonomi dari negeri serta psikologi rakyat dan kemudian pandai memperhitungkan kejadian kejadian politik yang akan terjadi. Terlebih lagi, pemimpin itu harus dapat mempergunakan “waktu” dengan cepat dan benar, juga mempergunakan sekalian pertentangan di dalam masyarakat kapitalistis (juga di dalam laskar) yang dapat mendatangkan keuntungan.

Jadi, kalau “tenaga bodoh” (seperti di zaman feodal) dapat mengadakan putch, seorang pemimpin pergerakan massa yang modern haruslah seorang manusia cerdas dan bijaksana.

1. Partai dan Sifat-Sifatnya

Apakah yang dinamakan partai? Jika kita mau mengumpulkan dan memusatkan kekuatan-kekuatan revolusioner di Indonesia dengan jalan aksi massa yang terencana buat meretas jalan kemerdekaan nasional, tentulah kita mesti mempunyai satu partai yang revolusioner. Adapun, hingga kini Indonesia belum mempunyai partai revolusioner, yang ada hanya perhimpunan-perhimpunan dari orang-orang yang “berlain-lainan” pandangan dan tindakan politiknya. Satu partai revolusioner ialah gabungan orang-orang yang sama pandangan dan tindakannya dalam revolusi. Dan sebaik-baiknya perbuatan revolusioner adalah tiap-tiap anggota bersama, satu dengan lainnya, dipusatkan.

Untuk menghilangkan suatu perasaan yang kurang baik dari tiap-tiap anggota partai, mestilah tiap-tiap orang diberi hak bersuara, mengemukakan dan mempertahankan keyakinannya dengan seluas-luasnya. Dan sesuatu keputusan partai mestilah dianggap sebagai hasil permusyawarahan dan pertimbangan bersama-sama yang matang dari seluruh anggota. Tiap-tiap permusyawarahan hendaknya dijalankan dengan secara demokratis yang sesungguhnya. Tiap-tiap tanda yang berbau birokrasi dan aristokrasi mesti dicabut hingga ke akar-akarnya. Tetapi, birokrasi dan otokratisme dalam partai tak dapat dihapuskan dengan “maki-makian” atau dengan menggebrak meja tetapi dengan membiasakan bertukar pikiran secara merdeka dan kerja sama dari semua anggota. Tiap-tiap keputusan partai mesti diambil menurut suara yang terbanyak. Jika satu keputusan sudah diterima oleh suara yang terbanyak, mestilah suara yang terkecil, meskipun bertentangan dengan keyakinannya, ” tunduk” kepada putusan dan dengan jujur menjalankan keputusan itu. Jika tidak begitu, niscaya tak akan pernah sebuah partai mencapai tenaga yang revolusioner. Keputusan yang “setengah betul” tetapi dengan gembira dikerjakan oleh seluruh barisan lebih baik daripada keputusan yang ” bagus sekali” tetapi dikhianati oleh setengah anggota.

Partai mesti mempunyai “peraturan besi”. Selanjutnya, barulah ia mampu memusatkan tindakan partai. Partai mesti mempunyai alat-alat revolusioner untuk memeriksa dan memperbaiki segenap perbuatan anggota. Belumlah mencukupi bila seorang “mengakui setuju” dengan suatu keputusan atau peraturan partai. Ia mesti membuktikan dengan perbuatan bahwa ia menjalankan keputusan itu dengan betul dan setia terhadap partai. Perbuatan itu biasanya adalah, misalnya, mencari kawan dalam surat-surat kabar partai, kursus, serikat sekerja dan mengerjakan administrasi dan organisasi partai. Jika ia tak memenuhi hal-hal tersebut atau “terbukti”, bahwa ia tidak setia kepada partai, mestilah dijalankan pendisiplinan. Lebih baik ia keluar dari partai daripada ia merusak partai atau memberikan teladan busuk sebagai seorang revolusioner pemalas kepada anggota-anggota yang lain.

2. Program Nasional Kita

Tujuan politik, ekonomi dan sosial yang revolusioner dari satu partai untuk negeri tertentu dan jalan yang akan dituntut bersama, diterangkan dengan “program nasional” yang revolusioner. Program itu ialah penunjuk jalan bagi partai dan harus diakui, dipahamkan, dipertahankan dan dikembangkan oleh tiap-tiap anggota. Perihal program nasional kita dan sifat-sifatnya yang umum sudah cukup jelas saya uraikan di dalam brosur Naar de republik Indonesia dan Semangat Muda (yang masing-masing dikeluarkan bulan April 1925 dan Januari 1926). Di sini masalah itu tidak akan diuraikan lagi dan silakan pembaca membaca buku-buku kecil tersebut. Tetapi, demi memudahkan pembaca, saya lampirkan juga program nasional itu (tidak dengan keterangan) di belakang buku ini.

3. Tugas dan Organisasi Partai

Partai itu menjalankan tujuan dan pelopor (avantgarde) pergerakan di segala tingkatan revolusi. Pandangannya lebih jauh dan senantiasa berjuang di barisan depan sekali dan, karena itu, ia menjadi “kepala dan jantung” massa yang revolusioner.

Di dalam “revolusi borjuasi” Prancis (1789), avantgarde terdiri dari borjuasi yang revolusioner dan kaum buruh terpelajar yang borjuis.

Merekalah yang mengepalai dan memikirkan revolusi itu, sedangkan kaum buruh industri yang masih lemah dipergunakan sebagai “tenaga budak”, sebagai kuda-kuda. Kejadian seperti ini mungkin juga terjadi di negeri jajahan yang borjuasi bumiputranya kuat tapi tidak diberi kekuasaan politik oleh si penjajah sehingga mereka terpaksa menjadi revolusioner. Di Mesir dan India, pengemudi gerakan kemerdekaan sampai sekarang boleh dikatakan di tangan kaum intelektual yang borjuis.

Adapun yang berjuang di negeri-negeri kolonial itu terutama sekali kaum buruh dan tani revolusioner. Di Indonesia borjuasi bumiputra tak dapat memimpin, moril dan materiel.

Karena kondisi sosial dan ekonomi terlalu lemah, kaum buruh mesti mendirikan cita-cita dan menyusun laskarnya sendiri. Jika kaum borjuis, besar atau kecil, di Indonesia mau memasuki massa, mereka jangan berjuang dengan kapital nasional dan parlementarisme tapi mereka mesti berdiri di atas asas-asas buruh, nasionalisasi dan pemerintahan buruh dan tani. Mereka mesti_ menjadi kaum buruh terpelajar dan berjuang dengan kaum buruh untuk cita-cita buruh dan dengan logika.

Jika kaum terpelajar borjuis mau diakui oleh massa sebagai teman, mereka mestilah berbuat lebih dari kawan-kawannya segolongan yang ada di Mesir, India dan Tiongkok. Sebagai kelas, tentulah mereka tak dapat berbuat begitu sebab dirintangi oleh keturunan, pendidikan dan lingkungan mereka sendiri.

Kelas buruh di Indonesia tak bisa mengharapkan sekalian buruh terpelajar pada borjuis kita, besok atau lusa, akan menerjunkan diri ke dalam massa yang sedang berjuang itu. Tetapi beberapa orang dari mereka (tidak sebagai kelas) “boleh jadi” masuk ke dalam barisan baru sebagai laskar sukarela. Kaum terpelajar borjuis yang revolusioner jika dengan mentah-mentah dimasukkan dalam partai buruh yang revolusioner, itu berarti memborjuiskan kaum buruh kita. Di Indonesia, terutama, hal itu sama artinya dengan “mengebiri”, merampas perasaan revolusioner dan cita-cita yang lanjut dari kaum buruh. Tak kan mungkin keluar tenaga dari kaum buruh yang seperti itu. Partai seperti itu, “bukan ikan dan bukan daging”, bukan borjuis revolusioner proletar.

Malahan jika borjuasi Indonesia lebih kuat dan lebih revolusioner dari sekarang ini, ia tak kan mau dan sanggup berjalan lebih jauh dari “kemerdekaan politik”, yakni merampas kekuasaan politik dari imperialisme Belanda.

Pemecahan-pemecahan masalah ekonomi dan politik yang radikal (dimisalkan ada borjuasi Indonesia yang revolusioner dan kuat) hanya dapat dijalankan dengan merugikan kapital bumiputra itu sendiri. Terhadap pemecahan itu, borjuasi yang dimisalkan itu niscaya tidak menyetujuinya . Di tiap-tiap negeri yang terjajah, borjuasi bumiputra yang revolusioner (terhadap imperialisme) itu dengan segera berubah menjadi reaksioner buruh pada saat imperialisme dirobohkan. Tujuan akhir dari tiap-tiap borjuasi bumiputra yang revolusioner adalah “politik” semata-mata. Di India, Tiongkok, Mesir dan Filipina hal itu sudah berbukti. Begitu pulalah segerombolan kaum borjuis kecil Indonesia. Di dalam perjuangan politik mereka terhadap imperialisme Belanda, tersembunyi cita-cita kepada harta dan kekuasan yang lebih besar. Mereka ingin menjadi tuan-tuan tanah, saudagar kaya raya, bankir dan juga ingin menjadi gubernur, menteri dan lain-lain. Pendeknya mereka ingin menjadi borjuis besar, seperti di lain-lain negeri. Nisbah antara kapital dan tenaga, antara kapitalis dan buruh serta sistem politik, ketiga-tiganya mereka kehendaki supaya tetap kapitalistis. Dengan menggulingkan imperialisme Belanda, kaum borjuis kecil Indonesia ingin kelak dapat menjalankan sekalian kekuasaan politik dan ekonomi terhadap kaum buruh.

Tujuan buruh melewati batas “anti-imperialisme”. Mereka berniat, terang atau kabur, merobohkan kaum kapitalis sama sekali. Kaum buruh Indonesia menghendaki pemecahan yang radikal di dalam perekonomian, sosial, politik dan ideologi, sekarang atau nanti. Bila sekiranya kelak sesudah imperialis Belanda ditentang dan dimusnahkan hingga ke akar-akarnya, meskipun tak mungkin dalam arti kemenangan nasional semata-mata, niscaya kaum buruh akan dan mesti memperkuat barisannya melawan borjuasi.

Jadi, borjuasi Indonesia yang kecil, apalagi yang besar hanya anti-imperialisme saja, sedangkan kaum buruh anti kedua-duanya: imperialisme dan kapitalisme.

Jadi, buruh Indonesia jika dibandingkan dengan borjuasi revolusioner menghadapi perjalanan yang jauh lebih panjang sebelum sampai kemerdekaan sejati. Jadi, semestinyalah mereka lebih giat dan radikal dalam perjuangan dan sekarang pun sudah begitu, seperti di negeri lain-lain.

“Soal organisasi” berhubungan rapat sekali dengan cita-cita sosial, ekonomi dan politik, serta tingkatan revolusioner dari kelas-kelas yang revolusioner. Menurut cita-cita dan “liatnya” sekalian kelas yang revolusioner, bolehlah kita bagi laskar nasional kita dalam: (1) barisan pelopor, yaitu terdiri dari kaum buruh industri yang seinsaf-insafnya dan kaum buruh terpelajar; (2) cadangan yaitu terdiri dari kaum buruh yang kurang insaf dan bukan kaum buruh yang revolusioner yang di masa revolusi berjuang di bawah pimpinan dan berdiri di sisi barisan pelopor.

Seringkali hubungan itu ditimbulkan oleh pemusatan kerja. Pekerjaan partai sehari-hari ialah merapatkan anggota dengan anggota, partai dengan organisasi “sepupunya”, mengurus pembacaan anggota partai, antara partai dan rakyat seluruhnya. Kadang-kadang hubungan itu didatangkan pula oleh agitasi yang cocok dan benar.

Agitasi itu mesti didasarkan kepada kehidupan massa yang sebenarnya. Tak cukup dengan meneriakkan kemerdekaan saja. Kita harus menunjukkan kemerdekaan dengan alasan yang sebenarnya. Kita harus menerangkan semua penderitaan rakyat sehari-hari seperti gaji, pajak, kerja berat, kediaman bobrok, perlakuan orang atas yang menghina dan kejam. Seorang agitator yang cakap setiap waktu harus siap sedia memecahkan sekalian soal yang bersangkutan dengan kehidupan materiel Pak Kromo dengan benar dan revolusioner. Ia juga harus senantiasa bersedia menarik dan memimpin Pak Kromo-Pak Kromo itu kepada aksi politik dan ekonomi yang memperbaiki kebutuhan materiel mereka. Tak boleh kita harapkan bahwa massa akan masuk ke dalam perjuangan karena didorong cita-cita saja!

Massa (di Timur atau di Barat) hanya berjuang karena kebutuhan materiel yang terpenting. Dengan perjuangan ekonomi, seperti pemogokan atau pemboikotan serta ditunjang oleh demonstrasi politik, kita akan dibawa kepada tujuan yang penghabisan!

Segala agitasi mestilah cocok dengan keadaan tiap-tiap daerah. Penerangan terhadap seorang buruh industri tak boleh disamakan dengan seorang tani sebab keduanya mempunyai kebutuhan materiel yang lain-lain. Seorang tani di Jawa pun tak boleh disamakan dengan seorang tani di Sumatera sebab keduanya mempunyai soal-soal tanah dan ekonomi yang berlainan.

Jika agitasi itu benar nyata dan mengenal segala kebutuhan rakyat yang tergencet pada tiap-tiap daerah di Indonesia, bilamana program tuntutan dan semboyan-semboyan kita “sungguh” dipahamkan dan dirasai oleh seluruh lapisan penduduk, jika pemimpin partai liat, tangkas dan cerdas mempergunakan sekalian pertentangan yang ada di dalam masyarakat Indonesia, niscaya hubungan yang perlu “dengan” — pengaruh yang diinginkan “atas” dan akhirnya kepercayaan yang dibutuhkan ” dari” — massa dapat diperoleh partai.

Pasal ini sudah lebih panjang daripada maksud kita yang semula, apalagi bila ditambah pula dengan pembicaraan perihal “teknik” aksi massa. Pun hal ini mestilah kita serahkan kepada pembicaraan yang praktis karena kita tidak “menelanjangi” diri di hadapan musuh dengan membukakan rahasia pun teknik perjuangan kita. Tetapi, di sini mesti kita peringatkan bahwa soal “persenjataan” — meskipun hal itu penting sekali serta sangat kuat menarik perhatian kaum revolusioner! — bagi kita bukanlah soal hidup mati. Ia tunduk kepada soal politik dan organisasi yang revolusioner. Dengan kata lain bahwa massa yang gembira dalam pimpinan partai revolusioner yang berdisiplin baja, berkelahi dengan tangan serta suara nyanyian yang revolusioner, akan merobohkan laskar imperialis sampai ke urat akarnya.

Sebagai penutup pasal ini, boleh kita tambahkan bahwa bagi kemenangan revolusioner, perlu dua faktor berikut ini.

1. Faktor “objektif”, yaitu sebuah tingkatan dari tangan produksi dan kemelaratan massa. Tingkatan itu terutama di Jawa dan di beberapa tempat di Sumatera dalam pandangan kita dianggap cukup.

2. Faktor “subjektif”, yaitu kesediaan bangsa Indonesia yang mesti diwujudkan dalam suatu partai revolusioner yang “sempurna” (teratur dan matang betul) dan keadaan-keadaan revolusioner yang baik.

Untuk mencapainya, partai mesti mempunyai disiplin; massa yang tidak senang itu harus di bawah pemimpinnya. Kemudian dipecah-belah musuh-musuh dalam dan luar negeri. Lihat seterusnya Menuju Republik Indonesia pasal “pukulan strategis”.

Andaipun partai yang revolusioner tidak dapat diperoleh dengan pembicaraan-pembicaraan akademis di dalam partai ataupun tak ada kesempatan bagi bangsa kita yang sengsara dan dihina-hinakan, senantiasa kita dapat mendorong partai itu ke dalam perjuangan ekonomi dan politik yang besar ataupun yang menciptakan “disiplin” yang diinginkan yang memberi pengaruh yang tak dapat ditinggalkan atas massa dan kepercayaan yang dibutuhkan dari massa serta, selain itu keliatan, kecerdasan dalam perjuangan. Itulah syarat-syarat yang akan membawa kita pada kemenangan.

Barisan penduduk yang terdiri dari kelas menengah dan borjuasi yang lemah hanya akan turut berjuang bila terpaksa.

Akan terlampau panjang bila diperbincangkan di sini dengan panjang lebar perihal satu-dua partai. Maksud kita dengan itu ialah apakah kaum buruh dan kaum borjuis yang kecil-kecil mesti dihimpunkan dalam “satu” organisasi nasional dengan “satu” pusat pemimpin atau dipecah dalam “dua” organisasi dengan dua pemimpin tetapi bekerja bersama-sama (Pada waktu ini kaum buruh — sebab sistem yang pasti belum dipakai — boleh dikatakan belum tersusun dalam Partai Komunis Indonesia (P.K.I.) dan bukan-buruh dalam serikat rakyat. Keduanya mempunyai satu pengurus besar.).

Bagaimanapun wujud organisasi itu di dalam satu koloni seperti Indonesia, kaum buruhlah yang paling aktif dan radikal. Organisasi tidak boleh menghalang-halangi keaktifan itu. Sebaliknya, ia mesti tahu mempergunakannya dan dapat menghidup-hidupkannya. Organisasi itu semestinya menjadi gabungan dan pemusatan segala keaktifan kaum buruh.

Semestinya diikhtiarkan supaya kaum buruh sebanyak-banyaknya duduk di dalam partai dan memegang pimpinan. Partai revolusioner kita akan berkembang hidup sebesar-besarnya dan sesehat-sehatnya bilamana benih-benih partai ditanam pada tiap-tiap pusat industri.

Demikianlah jadinya, kedudukan P.K.I. terbatas di dalam kota-kota, pusat-pusat ekonomi, pengangkutan; dan Serikat Rakyat (S.R.) harus menjadi partai yang bukan buruh. Selain di kota-kota, di desa-desa pun mestinya didirikan. Dengan jalan seperti itu, dimasukkanlah api revolusioner ke dalam P.K.I. dan S.R., kaum buruh yang setengah insaf dan belum insaf sama sekali tak boleh tinggal di luar organisasi. Mereka mesti diajak masuk ke dalam perjuangan ekonomi yang setiap waktu berubah menjadi perjuangan; mereka dihimpun dalam serikat-serikat kerja sebagai barisan cadangan yang berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I.

Kaum bukan-buruh yang setengah insaf dan yang belum insaf sama sekali dalam politik dan ekonomi, juga tergencet mesti dihimpun ke dalam koperasi rakyat yang juga merupakan barisan pembantu yang berdiri langsung di bawah pimpinan P.K.I. dan S.R.

Demikianlah, P.K.I. mesti mempunyai beberapa organisasi serikat kerja, koperasi dan serikat rakyat yang tiap-tiap beraksi-massa langsung berada di bawah pimpinan P.K.I. Organisasi itu — yang semangatnya dipengaruhi surat-surat kabar partai dan serikat kerja — merupakan laskar revolusi nasional dalam perjuangan menentang imperialisme dan kapitalisme Barat.[1]

Jika satu partai revolusioner benar-benar ingin menjadi pemimpin massa di Indonesia, terlebih dulu partai itu sendiri harus dipimpin sebaik-baiknya. Organisasi partai ialah kesimpulan dari beberapa susunan partai. Dengan kata lain, menjadi “tali nyawa” dari partai, menjadi yang “terpenting”, misalnya seperti penyusunan, pelatihan, pendidikan bagi pemimpin dan anggota-anggotanya. Tambahan pula, partai mesti berhubungan rapat dengan massa, terutama pada saat yang penting, dengan segala golongan rakyat dari seluruh Kepulauan Indonesia. Dengan tidak berhubungan seperti itu, tak kan ada pimpinan yang revolusioner.

[1] Seorang anggota P.K.I. sedapat mungkin adalah seorang buruh atau buruh terpelajar (bukan borjuis). Ia harus mengetahui dan pandai menerangkan komunisme dalam teori dan praktik, taktik nasional dan internasional. Di atas segalanya, ia harus lebih banyak dan lebih canggih untuk melakukan pekerjaan revolusioner, yaitu pekerjaan menyusun dan menggalang pertemanan. Seorang anggota S.R. biasanya adalah bukan buruh, tani, saudagar atau pelajar (mahasiswa). Ia tak usah melakukan pekerjaan revolusioner sebanyak yang dikerjakan anggota P.K.I cukuplah jika ideologinya anti-imperialis dan menghendaki kemerdekaan nasional. Bila dipakai sistem satu partai, kaum buruh dan bukan buruh dihimpun dalam sebuah organisasi yang revolusioner. Dalam partai itu, golongan yang lebih “sadar” dan buruh terpelajar merupakan sayap kiri. Sayap kiri inilah motor pergerakan Indonesia.

X

SEKILAS TENTANG GERAKAN KEMERDEKAAN DIINDONESIA

1. Kegagalan Partai Borjuis

Sesungguhnya bukan kualitas pimpinan itu sendiri yang menyebabkan partai-partai borjuis Indonesia “beriring-iringan patah di tengah”. Para penganjur, seperti Dr. A. Rivai dan Dr. Tjipto, niscaya akan memegang peranan yang jauh berlainan sekali di dalam gerakan kemerdekaan Indonesia jika di sini ada kapital besar milik bumiputra. Lambat laun, dengan sendirinya, mereka akan sampai pada program nasional borjuis yang dengan perantaraan satu organisasi dan taktik yang cocok, sebagian atau seluruhnya, dapat diwujudkan.

Karena kapital besar bumiputra tidak ada, program nasional dan organisasi mereka sebagai partai borjuis tak tahan hidup. Mereka dibesarkan oleh pendidikan borjuis secara Barat sehingga tidak tercerabut massa Indonesia dan tidak berperasaan akan mencari logika untuk mendapat program nasional yang proletaris. Partai borjuis yang didirikan dengan perlahan-lahan, lenyap sama sekali, “hidup enggan mati tak mau” atau tinggal namanya saja yang hidup.

a. Budi Utomo

Budi Utomo — didirikan pada tahun 1908 — adalah sebuah partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia. Seperti seekor binatang pemalas, ia merana sombong karena umurnya panjang. Karena ia tak mendapat cara-cara aksi borjuis yang radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakkan rakyat maka dari dulu sampai sekarang, kaum Budi Utomo menghabiskan waktu dengan memanggil-manggil arwah yang telah lama meninggal dunia. Borobudur yang kolot, wayang dan gamelan yang merana, semua basil “kebudayaan perbudakan” ditambah dan digembar-gemborkan oleh mereka siang malam. Di dalam “lingkungan sendin” kerapkali dukun-dukun politik itu menyuruh Hayam Wuruk — Raja Hindu atau setengah Hindu itu — dengan laskarnya yang kuat berbaris di muka mereka. Di luar hal-hal gaib itu, paling banter hanya dibicarakan soal-soal yang tak berbahaya. Di dalam Kongres Budi Utomo berkali-kali (sampai menjemukan) kebudayaan dan seni Jawa (?) dibicarakan. Soal yang penting, yaitu mengenai kehidupan rakyat di Jawa — jangan dikata lagi di seluruh Indonesia — tak pernah disentuh, apalagi diperbincangkan mereka. Belum pernah, barangkali, diadakan suatu aksi untuk memperbaiki nasib Pak Kromo yang tidak hidup di zaman Keemasan Majapahit, tetapi di dunia kapitalistis yang tak memandang bulu. Panjangnya umur Budi Utomo sebagian besar diperolehnya dari “mantera-mantera” pemimpinnya, dari hasil “main mata” dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan teman seperjuangannya. Sebuah semangat kosong seperti Budi Utomo dapat diterima oleh pemerintah seperti Belanda.

Selain itu, Budi Utomo tidak menumbuhkan cita-cita “kebangsaan Indonesia”. Fantasi “Jawa-Raya”, yakni bayangan penjajahan Hindu atau setengah Hindu terhadap bangsa Indonesia sejati, langsung atau tidak, menyebabkan timbulnya keinginan akan Sumatera Raya, Pasundan Raya atau Ambon Raya dan lain-lain.

Budi Utomo yang mengangkat kembali senjata-senjata Hindu-Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum. Perbuatan itu menimbulkan kecurigaan golongan lain yang mencita-citakan persaudaraan dan kerja sama antara penduduk di seluruh Indonesia (bukan antara penjajah satu terhadap Iainnya). Dengan jalan sedemikian, Budi Utomo menimbulkan gerakan ke daerah yang bila perlu (misalnya Budi Utomo kuat), dengan mudah dapat dipergunakan imperialisme Belanda. Dengan keadaan seperti ini, keinginan “luhur” yang satu dapat diadu dengan yang lain, yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.

b. National Indische Party

Dengan pikiran pincang dan ragu-ragu tidak dapat juga N.I.P. yang didirikan pada tahun 1912 “mencium” kebangsaan Indonesia. Pohon-pohonan yang terapung-apung — indo-indo Eropa itu — berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan Indonesia. Yang terutama tidak mempunyai cita-cita nasional yaitu borjuasi Indonesia; masa bercerai-berai. Karena itulah, satu program nasional yang konstruktif dan konsekuen tak dapat diwujudkannya. Rumpun “Indonesisme” ala Douwes Dekker ialah cita-cita dari Belanda Indo yang tidak kurang imperialisisnya daripada Belanda totok, mereka merasa dikesampingkan oleh yang tersebut belakangan dan itulah semangat yang dikembangkannya. Mereka meminta “persamaan” dengan totok dan kadang-kadang dibisikkannya perkataan kemerdekaan. Maksud mereka yang sesungguhnya mau membagi kekuasaan, satu orang separo diantara mereka berdua. Karena si totok kerapkali terlalu banyak mengambil bagian untuknya sendiri, si Indo mengancam “bekerja sama dengan Inlander”. Cap yang lebih dalam tak dapat kita tempelkan kepada kebangsaan Belanda Indo itu. Mereka tidak berbeda coraknya dengan bangsa Hindu dan Muslim di zaman perang saudara dulu.

Tatkala Si Jenaka Van Limburg Stirum “pelayan liberal dari kapital besar” memberikan pekerjaan yang menguntungkan Teeuwen dan Co waktu itu, program N.I.P. mencapai tujuannya tanpa menumpahkan darah.

Douwes Dekker berjalan terus; untuk mencapai itu, dia menganggap perlu memakai kekuatan bumiputra. Dengan perkataannya yang kabur tentang hak dan kemerdekaan, tertariklah Dr. Tjipto, Soewardi dan Co ke dalam N.I.P. Kejadian ini memberi jiwa kepada pohon kebangsaan Indonesia yang tidak dikenal di seluruh pergerakan Indonesia.

Satu cita-cita modern tentang kebangsaan yang jauh lebih sehat dan lebih luas daripada fantasi Jawa Raya (cita-cita penjajahan Hindu dan kasta-kasta) boleh dikatakan lahir di seluruh Kepulauan Indonesia. Tetapi, sesudah Dr. Tjipto, Soewardi dan Co duduk di dalam N.I.P., orang betul-betul memperhatikannya; di sana dapat dilihat satu pertentangan antara anggota-anggota perkumpulan itu. Di satu pihak berdiri Indo-Borjuis yang dididik secara imperialistis, sombong dan penuh curiga, di pihak lain berdiri bumiputra yang ekonomi dan politiknya tergencet, diperas dan diinjak-injak.
Sebuah asimilasi baik sosial ataupun ideologi belum pernah tercapai. Seorang anggota N.I.P. merasa sangat senang mendapat pembagian kerja 50 banding 50 dengan si totok yang sangat dibenci itu.

Pengangkatan Teeuwen menjadi aggota Dewan Rakyat, kemudian menjadi pegawai tinggi, sesungguhnya menjadi obat yang mujarab buat penyakit politik N.I.P.

Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan Indo anggota N.I.P. Apalagi revolusi meminta hubungan yang rapat serta asimilasi sejati dengan bangsa Indonesia, bukan dengan priyayi-priyayi yang bersih saja, melainkan juga dengan Pak Kromo. Dan yang lebih utama, pembagian kekuasaan politik dengan si Inlanders yang terbesar jumlahnya.

Dan pemogokan yang mungkin berubah menjadi revolusi meski sekecil apa pun, tentulah takkan pernah cekcok dengan kepentingan dan ideologi tuan tanah dan pegawai-pegawai Belanda-Indo.

Selama perkataan “hak dan kemerdekaan” tetap tinggal gelap, selama itulah Belanda-Indo dapat bergandengan tangan dengan priyayi-priyayi Jawa. Tetapi, pertentangan kelas yang beberapa tahun belakangan ini terbukti dalam pemogokan maka keluarlah nasionalis-imperialis (nasionalis menurut sebutan dan imperialis menurut perbuatan) dari “nasional” Indische Party.

Apa yang diidamkan oleh Indo anggota N.I.P. sekarang dibukakan oleh I.E.V.: hak tanah dan fasisme. Anggota N.I.P. bumiputra umumnya lebih radikal dari Belanda Indo.

Akan tetapi, mereka terkungkung dalam “kebangsaan Douwes Dekker” (satu teori yang menggembirakan perihal “darah Timur dan perasaan Timur”) yang bagian ekonominya ditutup dengan wardisme yang kacau itu. Sekiranya N.I.P. mempunyai seorang pemimpin yang sanggup mempertalikan kebangsaan Indonesia dengan program proletaris dan sanggup menarik kaum buruh ke dalam partai itu, niscaya N.I.P., meskipun ditinggalkan oleh Belanda-Indo yang fasistis itu, dapatlah hidup terus dan boleh jadi lebih kuat dari yang sudah-sudah.

Tetapi sekali lagi, sebab tak ada borjuasi bumiputra yang modern maka semangat yang begitu sehat dan revolusioner seperti Dr. Tjipto tak mendapat tempat dalam pergerakan revolusioner yang borjuis. Sebaliknya, daripada mendekati massa berulang-ulang, mereka lebih suka merintang-rintang waktu dengan kerja yang tak layak baginya, yaitu memanggil-manggil arwah kebesaran (Hindu dan Islam) yang telah meninggal dunia.

Satu nasionalistis “maya” yang sejati.

c. Sarekat Islam (S.I.)

Sarekat Islam pada tahun 1913 tampil ke muka disertai suaranya yang gemuruh. Perhimpunan ini adalah penyambung aksi massa Timur setengah feodal yang sudah berabad-abad mengalami penindasan. Tetapi, ia bukanlah suatu aksi massa yang teratur, tetapi manifestasi dari perasaan massa yang kurang senang di bawah pimpinan saudagar-saudagar kecil.

Dengan melibat-libatkan agama, dikumpulkannya si Kromo ke dalam satu organisasi yang sangat picik. Dan pada permulaannya ditujukan untuk menentang saudagar-saudagar Tionghoa.

Di dalam perjuangan ekonomi antara saudagar bumiputra dan Tionghoa tampak betul kelemahan yang disebut duluan. Kecurangan pemimpin S.I. menyebabkan dan menimbulkan datangnya kekalahan ekonomi. Dengan berhentinya gerakan, terhenti pulalah kegiatan saudagar-saudagar kecil di dalam S.I. Jika kita mau menamakan paham campur aduk antara Islam, kebangsaan reformisme dan demagogi dari pemimpin-pemimpin S.I. itu “politik”, maka sekarang kita pandang S.I. sudah menginjak tingkatan “politik”. Pada tingkatan politik ini, berkat pengaruh kaum revolusioner di Semarang, dapatlah mereka mengadakan aksi-aksi ekonomi pemogokan “liar”.

Massa yang kurang senang yang bersatu dalam S.I. tak dapat menjadi sendi aksi massa yang teratur. Untuk itu, pemimpin S.I. tak mempunyai pengetahuan sedikit pun perihal pertentangan kelas, taktik revolusioner dan kepemimpinan. Tambahan pula program revolusioner yang konstruktif dan konsekuen, kecakapan organisatoris dan kejujuran administrasi tak ada. Pergerakan S.I. yang permulaannya demikian hebat dan menarik perhatian umum — hingga kerapkali disamakan dengan gerakan Charterisme — tampaknya menang hanya karena beroleh adat menjongkok-jongkok.

Disebabkan kebimbangan dan kelemahan aksi S.I. itu, pergilah mereka yang kecewa dan yang lebih radikal-islamistis borjuis mengambil jalan yang salah. Segala alat-alat feodal seperti mistik, jimat-jimat dan mantera yang sudah lama terkubur diambil mereka dan dipergunakannya untuk menentang imperialisme, dan tentulah mereka jadi hancur luluh.

Meski Afd. B. dari S.I. berhasil kiranya merangkak-rangkak di bawah tanah lebih lama dan pada waktu yang diperkirakan tepat lalu menyerbukan diri ke dalam perjuangan, ia tidak akan mendapat hasil selain dari pemberontakan dan huru-hara agama seperti yang sudah berulang-ulang terjadi di Indonesia.

Organisasi S.I. mati ketika kaum revolusioner Semarang di tahun 1921 membuang disiplin partai (trade mark Haji A. Salim). Apa yang terjadi sesudah itu tak lain dari perpecahan anggota S.I., yang paling aktif pergi masuk S.R. dan P.K.I. Golongan Muhammadiyah dengan segala kejujurannya menerima subsidi dari tangan pemerintah “kafir” untuk sekolah Islam. Kedua Haji yang termashur itu — Agus dan Tjokro — tak dapat lagi meniup gelembung sabun Islam dengan patgulipat syariat yang lama dan yang baru dipikir-pikirkannya.

2. Bagaimana Sekarang?

Di dalam perjuangan yang luar biasa beratnya selama beberapa tahun yang lalu, berhasillah P.K.I. dan S.R. menghimpun kaum buruh dan revolusioner dari B.U., N.I.P., dan S.I. untuk bernaung di bawah panji-panjinya. Tak ada partai lain yang sudah memberikan korbannya seperti P.K.I. dan S.R. Beribu-ribu anggota yang sudah tertangkap, berpuluh-puluh yang sudah dibuang, dipukul atau dibunuh. Sungguhpun begitu, masih diakui BENDERA-nya di seluruh pulau, bukit, gunung, kota dan desa (Indonesia). Ia dipakai menjadi lambang kemerdekaan yang sekian lama diidam-idamkan.

Dalam beberapa aksi daerah untuk tujuan yang kecil-kecil, P.K.I. dan S.R. sudah menunjukkan kekuatan dan kecakapannya. Akan tetapi, untuk mengadakan satu aksi nasional umum (apalagi di lapangan internasional), mereka betul-betul belum kuasa. Hal ini, atas nama kemerdekaan 55 juta manusia, tak boleh didiamkan. Kalau mereka berbuat seperti itu pula, niscaya akan berarti menjatuhkan diri ke dalam kesalahan seperti yang terus-menerus dilakukan oleh partai-partai borjuis (terutama partai Tjokro & Co). Tatkala muncul Larangan Berkumpul pada penghabisan tahun yang lalu, kita tidak menunjukkan perasaan tak senang. Kini sesudah lebih delapan bulan masih saja belum ada sesuatu yang terjadi. Manakah rakyat yang beratus ribu atau berjuta-juta di jawa, Sumatera, Sulawesi yang langsung berdiri di bawah pimpinan atau tunduk ke bawah pengaruh kita? Kemanakah perginya, dalam waktu delapan bulan itu, kaum revolusioner yang setia terhimpun di dalam V.S.T.P, S.P.P.L., S.B.G., S.B.B. dan lain-lain, serta beberapa juta yang tidak diorganisasi tetapi yang bersimpati kepada kita? Adakah kita dengan segera mengerahkan dan menarik rakyat untuk membalas dendam atas kelahiran Larangan Berkumpul, masa penangkapan dan pembuangan serta kematian saudara Soegono, Misbach dan lain-lain dengan satu aksi massa yang sepadan, tetapi dijalankan dengan gembira.

Tidak, kita sekali-kali tak menangkis serangan lawan sehingga timbul sekarang pertikaian yang tak dapat dihalang-halangi dalam barisan revolusioner, dan anggota yang berdarah anarkis mengambil jalan sendiri serta menarik kawan-kawannya.

Selain   seksi-seksi kita yang baik, yang sangat diharapkan, seperti Sumatera Barat, Medan, Semarang, Surabaya, (semuanya mana yang tidak?) menderita keputusan dan kelemahan organisasi yang tak mudah ditolong lagi.

Bila kita membalas Ultimatum Desember dari imperialis Belanda dengan sepak terjang komunistis yang sempurna, niscaya kekalahan kita tidak seperti sekarang. Sebusuk-busuknya pengorbanan materiel (penangkapan, pembuangan, pembunuhan), tak akan lebih besar dari sekarang, tetapi kemenangan politik dan moral niscaya tinggal tetap. Dan siapakah yang dapat mengatakan apa yang bakal kita peroleh dalam keadaan yang sebaik-baiknya?

Bagaimana larangan berkumpul tidak kita jawab secara komunistis dan selama delapan bulan itu kita terpaksa kerja di bawah tanah. Pada waktu itu, kita kehilangan kawan yang sebaik-baiknya dengan percuma, selain itu, saat-saat yang sangat bahagia, terutama psikologi yang susah kembali dan masih banyak.

Di sini bukan tempatnya memperbincangkan hal itu lebih lanjut, pun bukan tempat untuk memeriksa kepada siapa patutnya dipikulkan kesalahan itu: pada seksi-seksi, pada pimpinan atau pada lain hal?

Biarlah kita serahkan hal ini kepada “riwayat” dan kepada organisasi yang kelak menyelidiki, mengapa kesempatan yang sebaik-baiknya itu kita biarkan saja lenyap. Di sini pun bukan tempatnya untuk mengumumkan kekuatan laskar kita saat ini, serta pengaruh kita terhadap massa dalam keadaan yang sulit ini; demikian pun, maksud-rnaksud kita dan taktik kita pada yang akan datang, juga karena kita sekarang terpaksa bekerja di bawah tanah (ilegal). Jadi, untuk kepentingan pergerakan, sangat banyak yang mesti dirahasiakan, yang di belakang hari akan kita ceritakan kepada kawan-kawan seperjuangan dan kepada mereka yang menyetujui kita (Harap diperhatikan sungguh-sungguh! Maksud kita aksi massa dan bukan putch!).

Harap dicamkan sekali lagi bab IX. Semestinya kita dengan segera mengorganisasi dan memimpin pemogokan dengan tuntutan yang cocok dan semboyan-semboyan yang jitu untuk menentang dan menjawab larangan berkumpul itu.

Sekiranya dari aksi seperti itu pecah revolusi, kita mesti terima. Berpikir dan berbuat lain dari yang seperti itu tidaklah komunistis!

Pekerjaan “ilegal” penuh dengan bahaya. Sambil lalu hal itu patut dan mesti juga kita uraikan di sini. Pekerjaan legal dan hanyalah pekerjaan legal yang melahirkan organisasi, pembicara, organisator dan pemimpin. Majalah, partai dan pidato-pidato yang legal dapat mendidik bangsa kita yang tercecer itu melalui cara yang berfaedah sekali untuk jadi ahli politik dan menghidupkan pikiran umum revolusioner yang penting itu. Sebaliknya, di dalam satu negeri yang sedang dalam transformasi seperti Indonesia, pekerjaan ilegal mudah sekali terperosok ke dalam anarkisme, huru-hara atau kepercayaan akan jimat yang sangat merugikan itu. Segala macam yang bersangkutan dengan organisasi dan ideologi yang sudah lama kita peroleh akan lenyap kembali disebabkan ilegalitas yang “tidak pada waktunya”. Provokasi lawan mudah menjatuhkan pemimpin-pemimpin kita yang kurang berpengalaman dan juga menghancurkan organisasi sama sekali.

Organisasi legal “harus bersedia” untuk menciptakan suatu organisasi ilegal pada waktu revolusi. Hubungan rahasia, rapat rahasia, percetakan rahasia, dan markas mencetak rahasia. Apabila larangan berkumpul dan berorganisasi sekonyong-konyong dikeluarkan, organisasi itu harus bekerja terus dengan teratur. Organisasi ilegal mesti selamanya berhubungan dengan massa dan tak boleh sekali-kali memisahkan diri darinya. Ia mesti senantiasa mengetahui perasaan dan keinginan massa. Karena itu, is mesti mempunyai badan-badan yang cukup dan orang-orang yang bekerja pada badan partai “bona fido“, yaitu perkumpulan-perkumpulan yang masih diizinkan oleh pemerintah. Kalau tidak berhubungan dengan massa dan keadaan yang sesungguhnya, sama halnya dengan sebuah kapal. selam yang tidak mempunyai kaleidoskop.

Dengan bekerja legal atau ilegal, kita tak boleh sekalikali melupakan senjata revolusioner kita, yakni aksi massa yang teratur. Larangan berkumpul dan bersidang harus kita patahkan dengan aksi massa kita yang teratur, supaya “atas” pemandangan yang dalam dan tenaga yang besar dapat diteruskan barisan kita menuju kemerdekaan yang sepenuhnya.

Apakah kita memang bekerja di bawah tanah? Pertanyaan seperti itu berulang-ulang timbul kepada kita. Ini berhubungan dengan soal pernahkah kita mempunyai tenaga yang cukup di dalam partai, yang tidak menghiraukan segala rintangan, setia menjalankan aksi massa yang teratur. Seterusnya, apakah pendidikan Marxistis benar dan cukup lama dijalankan sehingga kaum buruh kita sudah mempunyai kemantapan Marxistis, kelenturan Leninistis? Bila hal ini tidak dan belum terjadi, niscaya satu ilegalitas yang dipaksa akan menimbulkan kakacauan dalam seluruh gerakan revolusioner di Indonesia. Kaum yang bukan buruh akan memegang komoditi dan menuntun partai kepada putch atau anarkisisme sehingga akhirnya hancur sama sekali. Bahaya ini akan semakin besar karena pemimpin revolusioner yang ulung dan berpengaruh atas massa sebentar-sebentar dibuang dari Indonesia, sedangkan reaksi tambah lama tambah sengit.

Karena itu, kita berhadapan dengan satu krisis revolusioner yang tak mudah dipahami oleh orang luar.

Kini kebutuhan bukan pada keberanian semata-mata melainkan terlebih lagi, “pengetahuan revolusioner dan kecakapan mengambil sikap revolusioner”.

Imperialisme Belanda berniat betul-betul menghancurkan organisasi revolusioner: Delenda est Chartago (Chartago mesti dihancurkan). Dan jawablah sekarang atau nanti (selama-lamanya) segala daya upaya musuh untuk menghancurkan kita; dengan jalan aksi massa yang teratur, pastilah kita menuju kepada kemenangan!

3. De Indonesische Studieclub

Sampai saat ini saya belum beruntung untuk mengetahui apakah yang sebenarnya yang diinginkan oleh Indonesische Studieclub dan alat apakah yang akan dipakainya untuk melaksanakan maksudnya. Keterangan “majalah bulanan dari studieclub” tidak berarti apa pun bagi saya.

Keterangan itu terlalu gelap, terlalu elastis dan sangat kurang. Karena itu, ia tak boleh dianggap sebagai satu “dasar” nasional buat perjuangan yang praktis. Suluh Indonesia mengumumkan sekian banyak pandangan yang bermacam-macam. Akan tetapi, dengan perantaraan ini, kita tak juga dapat mengambil kesimpulan apakah hal itu dilakukan dengan sengaja atau hanya sulap-sulapan karena, kadang-kadang, studieclub dapat bercerita menurut kebiasaan intelektual Indonesia, bahwa “di dalam kegelapan tersembunyi penerangan”.

Dari pidato Mr. Singgih seperti yang diumumkan di dalam Suluh Indonesia dan majalah lain-lain dapat kita “raba-raba” sedikit (tak lebih dari itu!) bahwa Mr. Singgih dan konco-konconya mempunyai maksud yang menyerupai nonkoperasi. Jadi,belum pasti! Kesan saya secara umum, Mr. Singgih seakan-akan lebih bersikap sebagai seorang advokat yang menarik diri terhadap anggota-anggota pemerintah yang mengintip-intip daripada sebagai seorang duta dari sebuah cita-cita baru yang menyala-nyala untuk berjuta-juta budak berian. Sebuah politik yang dapat dipahami, tetapi menurut pemandangan saya, mendatangkan kerugian yang tidak kecil. Menurut pengalaman, rasanya dapat kita ketahui bahwa rakyat kita yang sederhana ini tidak suka “lempar batu sembunyi tangan”, tidak suka paham-paham yang muskil dan menghabiskan waktu untuk membalas kata-kata yang kosong. Rakyat kita menghendaki perkataan yang terang dan pas. Kalau tidak begitu, ia akan tetap meraba-raba dan menduga-duga dan tak kan dapat diajak mengadakan aksi.

Juga saya tak mengenal isi Studieclub yang borjuis itu. Tetapi, sesudah dua puluh lima tahun pergerakan kebangsaan, patutlah kita mempunyai satu ketentuan. Bukankah kita tak boleh menganggap bahwa kaum terpelajar Studieclub akan tinggal berabad-abad di dalam laboratorium sosial — mengupas-ngupas dan mematut-matut saja? Karena itu, biarlah kita menganggap untuk sementara waktu bahwa Studieclub “menghendaki” kemerdekaan nasional dan ia mau memakai senjata nonkoperasi. Akan tetapi, dengan sebab-sebab yang sudah kita maklumi, hal-hal itu sementara waktu dirahasiakan dulu. Jika sungguh seperti itu, kita akan gembira dan sejauh dan sepantas mungkin akan kita sokong dengan sepenuh tenaga sebab nonkoperasi termasuk sebagian dari aksi kita yang termasuk ke dalam program aksi, dan kita anggap sebagai penambah pemogokan dan demonstrasi.

Tetapi masih jadi satu pertanyaan besar, apakah nonkoperasi saja — meskipun ia, baik dalam politik maupun ekonomi, dapat dijalankan dengan sempurna dapat mendatangkan hasil bagi Indonesia secara umunmya. Perihal ekonomi dan pemboikotan, kita persilakan pembaca melihat uraian-uraian di muka. Bagian ekonomi dan pemboikotan itu di Indonesia (terutama di Jawa) sangat meminta perhatian dan bila kita tidak keliru, belum pernah sekali juga dibicarakan dalam Studieclubsesungguhnya, inilah tanda kelemahan nonkoperasi Studieclub.

Pemboikotan tanpa disertai bagian ekonomi merupakan pekerjaan yang terlampau khayal dan jauh dari memadai. Meskipun demikian, biarlah kita mengalah. Bahwa nonkoperasi politik saja yang dapat membawa kemenangan politik, biarlah tetap tinggal sebagai perumpamaan; dengan boikot ekonomi, kita dapat mencapai tujuan politik.

Kini tinggal soal yang terpenting, bagian manakah dari penduduk Indonesia yang mesti digerakkan oleh Studieclub yang akan memutuskan hubungan “kerja sama” dengan imperialisme Belanda.

Di sinilah sendinya! Kita tidak berhadapan dengan satu negeri yang pemerintahannya sama sekali ataupun sebagian kecil dikemudikan oleh wakil-wakil rakyat, seperti di Filipina, Mesir dan sekarang di India. Jadi, kita tak mempunyai satu pemerintahan yang “bergerak” (boleh diturunkan dan dinaikkan dengan jalan pemilihan”), tetapi sebuah kolonial birokrasi yang berkarat mati. Untuk menimbulkan keributan yang berarti dalam politik, kita harus lawan dan robohkan birokrasi itu mulai dari sendi-sendinya. Jadi, mestilah kita mendekati pegawai-pegawai, seperti bupati, wedana, demang, jaksa dan guru-guru sekolah supaya masing-masing meletakkan jabatannya.

Kita secara apriori percaya bahwa hal itu tidak mungkin sama sekali, dan sementara waktu janganlah diberi bukti aposteriori. Sungguh terang sekali bahwa bupati itu konservatif dan pasti merangkak-rangkak di bawah kursi, menjilat pantat Belanda serta takutnya kepada bangsa Eropa lebih dari yang semestinya. Mereka ditempel oleh saudara-saudaranya dan biasanya banyak utang; karena itu, mereka akan bergantung seteguh-teguhnya kepada gaji mereka. Mereka “terlampau suka” memerintah dan merasa terlalu tinggi, tak layak menyertai pergerakan dan bersekongkol dengan rakyat yang mau mengadakan huru-hara. Wedana dan jaksa pun tak kurang dari itu, bahkan terlebih lagi, sangat haus pangkat yang tinggi; sebab itu, mereka lebih “perangkak” dan “penjilat” daripada pegawai Indonesia yang lebih tinggi.

Kita percaya bahwa Mr. Singgih dan teman-temannya akan mengerjakan pekerjaan yang tak terhingga beratnya untuk mematahkan birokrasi Belanda yang kokoh itu; seterusnya, memperoleh kemerdekaan nasional atau konsesi politik yang besar-besar.

Tinggal lagi bagi Studieclub nonkoperasi terhadap rapat kota. Kita rasa perbuatan itu tak cukup keliru sama sekali! Kita rasa lebih berguna bila Dr. Soetomo dan teman-temannya tetap duduk di dalam rapat kota Surabaya, yaitu badan imperialis satu-satunya yang boleh dimasuki bangsa Indonesia dengan pemilihan langsung (meskipun sangat terbatas) dan dapat mengemukakan sesuatu dengan leluasa. Di sana Dr. Soetomo dan teman-temannya dengan pengetahuannya yang luas tentang segala tipu-muslihat pihak sana, dengan mengadakan perlawanan yang tidak putus-putus dan kritik terhadap si pemegang kekuasaan, akan berhasil “menyusahkan” kedudukan rapat kota.

Setelah memperhatikan semua yang tersebut di atas, sesungguhnya kita sangat menyesali politik dan aksi Studieclub yang dilakukannya sampai sekarang ini. Jika Studieclub tidak “mengambil semua atau sebagian dari program buruh kita” (kita mengatakan ini bukan karena mau merendahkan atau menyakitkan hati kaum terpelajar Studieclub), niscaya ia akan menerima nasib sebagai B.U. dan N.I.P. Sebab hubungan sosial antara imperialisme Barat dengan bangsa Indonesia yakni borjuasi bumiputra yang kuat “tidak ada”, maka menciptakan satu modus vivendi politik adalah sebuah pekerjaan yang belum dimulai. Studieclub besok atau lusa niscaya akan berhadapan dengan dilema sebagaimana yang sudah dialami oleh partai-partai borjuis, yaitu:

(1) kerja sama dengan Pemerintah Belanda, dan dengan demikian berarti mengikuti politik imperialisme Belanda; atau

(2) kerja sama dengan rakyat yang sebenarnya, merebut kemerdekaan yang seluas-luasnya, dan dengan demikian, ia akan menjadi partai massa buruh serta berpikir secara buruh. “Politik sama tengah, liberal, bagi Studieclub berarti ‘politik matt’.”

(3) Politik perlawanan seperti no.2 itu kita yang anjurkan kepada Dr, Soetomo, Mr. Singgih dan teman-temannya bila mereka kelak diangkat atau dipilih oleh pemerintah anggota Dewan Rakyat.

(4) Jadi, kaum terpelajar Studieclub mestilah membuang cara berpikir berjuang, bercita-cita untuk revolusi borjuis atau pemerintahan borjuis, tapi menjadi buruh, yaitu memakai cara pikiran buruh dialektis-materialistis dan berjuang buat kepentingan kaum buruh

XI

FEDERASI REPUBLIK INDONESIA

Meskipun atas kehendak kita sendiri, kita tidak akan membatasi aksi kita “hanya” pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang terhindar oleh imperialisme Belanda. Pembatasan seperti itu akan segera menyempitkan kita di dalam arti ekonomi, strategi dan politik.

Kekuasaan atas Semenanjung Tanah Melayu dengan pusat armada Singapura di dalam tangan imperialisme Inggris bagi kita sebagai satu “strategisch Umfasung” senantiasa memaksa kita menjauhi medan perjuangan. Umfasung ini dilengkapi dengan Australia putih yang anti kulit berwarna di sebelah selatan.

Dalam arti ekonomi, semenanjung bagi kita adalah sangat penting sebab negeri itu sudah menjadi pasar terbesar bagi berbagai macam hasil bumi Indonesia; tambahan pula, banyak hubungannya dengan seluruhnya. Kedudukan kita di antara Malaya dengan Australia, dan kapital Inggris yang sangat besar di Indonesia, membesarkan dan mengekalkan perhatian politik imperialisme Inggris atas segala kejadian di Indonesia. Kita tak akan dapat merampas kemerdekaan Indonesia tanpa keributan, dan bila ribut, serdadu Inggris tentulah akan siap dengan senapannya.

Tetapnya kedudukan Amerika di Indonesia-Utara (Filipina) bagi kita lebih berbahaya daripada yang dapat diduga oleh seorang Indonesia biasa. Strategi kita tetap terancam, baik dari utara maupun dari selatan oleh imperialisme modern. Ekonomi Filipina yang mengeluarkan hasil bumi seperti Indonesia-Selatan menjadi persaingan yang hebat. Pendeknya, selama politik Indonesia masih terpecah-pecah jadi beberapa bagian seperti sekarang (bagian Belanda, Inggris, Amerika), tak akan dapat diadakan persatuan aksi ekonomi, seperti menetapkan harga maksimum hasil bumi dari negeri-negeri tropik ini di pasar-pasar dunia. Kemerdekaan kita, bagi Paman Sam yang mungkin sekali berniat untuk selama-Iamanya duduk di Filipina, bukanlah satu soal “filsafat” politik saja.

Indonesia merdeka yang sekarang meringkuk di bawah imperialisme Belanda akan dihormati oleh bangsa Indonesia-Utara dengan gembira dan akan menyebabkan timbulnya agitasi baru untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi mereka. Filipina dalam genggaman Jepang tidak bagus bagi kita.

Sebaliknya, lambat laun ia berarti “penaklukan kita bersama” kepada kawanan perampok Asiria modern. Satu pusat persatuan antara seluruh bangsa Indonesia, yakni Indonesia kita. Semenanjung dan Filipina — tak usah dibicarakan dulu Kepulauan Oceania dan Madagaskar yang jumlahnya tidak sedikit — adalah sine qua non, sarat untuk merampas dan menjaga kebebasan kita. Celaka sungguh, bangsa Indonesia di Semenanjung Malaka tak dapat mempertahankan diri dari kebanjiran bangsa India dan Tiongkok yang terus mengalir ke sana. Perniagaan industri boleh dikatakan semuanya ada di tangan asing. Bumiputra di kota-kota pesisir senantiasa didesak ke pinggir kota, dan yang tinggal di darat makin hari makin jauh menyingkir ke puncak-puncak gunung.

Pabrik-pabrik kereta api, kantor-kantor gubernemen dan perniagaan sama sekali ada di tangan bangsa asing. Orang perantauan dari Jawa, Sumatera, Borneo dan Sulawesi terlampau sedikit dan terlampau lemah kekuatannya untuk mengadakan perjuangan ekonomi melawan bangsa Benua Asia yang biasanya pandai bekerja, hidup sederhana dan kompak. Proses pendesakan bangsa Indonesia dalam hal kediaman, ekonomi, politik dan negeri menyebabkan lahirnya sebuah pergerakan baru di sana. Satu perkumpulan orang-orang Indonesia yang bernama “Kesatuan-Melayu” menguntungkan dan mesti kita perhatikan yang segala daya dari orang Indonesia di Semenanjung untuk pertahanan dan politik. Meskipun masih suram dalam perkataan dan ragu-ragu dalam aksi, sebuah badan politik seperti itu haruslah dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dan mesti kita perhatikan dengan perhatian yang sepenuh-penuhnya. Segenap daya upaya mengembang dan menciptakan suatu Persatuan Indonesia Raya di seluruh Kepulauan lndonesia “mesti dan perlu” ada dan didirikan. Tambahan lagi, boleh diharapkan bahwa besok atau lusa bangsa Indonesia-Semenanjung akan berikhtiar melahirkan satu pergerakan yang maksudnya akan memindahkan bangsa Indonesia-Selatan ke sana. Dengan jalan serupa itu, dapatlah dibatasinya proses pendesakan itu dan diciptakannya satu dasar tempat Indonesia merdeka “bersandar” dan akhirnya akan mewujudkan Kemerdekaan Semesta-Indonesia.

Filipino yang terletak di antara Sciylla, Amerika dan Charyb di Jepang, strategis, “sepenting-pentingnya di Pasifik” bagi 12.000.000 orang Indonesia di sana sungguh menjadi satu soal yang memutuskan harapan untuk merebut kemerdekaan nasional. Kedudukan Filipina terlalu penting, sedangkan jumlah penduduknya terlalu sedikit untuk dapat mengusir musuh selama-lamanya. Karena itu, memang sudah pada tempatnya jika mereka merasa sangat bersyukur oleh imigrasi dari Indonesia-Selatan ke sana sebab para imigran itu dalam sedikit waktu saja dididik bergaul niscaya akan jadi satulah dengan mereka.

Sebagai bangsa satu keturunan, Filipina dengan Indonesia Selatan tentulah tidak akan berselisih rupa, muka, hidung, percakapan, kesukaan dan kemauannya bekerja, juga mempunyai perhubungan bahasa yang tak dapat disangka.[1]

Imigrasi dari Indonesia-Selatan sekali-kali bukanlah akan berarti “penjajahan” atas bangsa Filipina, baik dalam hal ekonomi, kebudayaan, politik atau apa pun juga. Sebaliknya, imigrasi itu berarti menguatkan bangsa itu.

Hanya saja imigrasi tentu tidak akan diizinkan oleh imperialisme Belanda. Pergaulan antara bangsa Indonesia-Selatan yang berabad-abad lamanya dijajah dan diabui matanya dengan bangsa Indonesia-Utara yang mempunyai lebih banyak kemerdekaan dalam perekonomian politik dan kebudayaan, bukankah sebentar saja akan membukakan mata mereka dan membangunkan semangat revolusioner? Meskipun bangsa Filipina — berhubung dengan pertimbangan ekonominya (tingkat penghidupan yang lebih tinggi) — menentang imigrasi kaum buruh dari Benua Timur tetapi mereka setuju dengan imigrasi dari Indonesia-Selatan biarpun besar jumlahnya. Bangsa Filipina sangat sulit memungkiri riwayatnya sendiri sebab mereka pun adalah bangsa Indonesia-Selatan; Jawa, Sumatera, Semenanjung dan lain-lain juga pindah ke sana.

Kejadian ini bagi kita sekarang dan seterusnya sangat penting karena hal itu adalah salah satu sendi persatuan dan kerja pertama di masa yang akan datang. Selain itu, tidak kecil pula artinya politik Filipina yang bekerja bersama dengan kita. Kebanyakan pemimpin politik yang besar pengaruhnya pernah berkata kepada kita bahwa mereka sangat menanti-nantikan “All Indonesian Conference” yang pertama. Tetapi sayang kita sekarang tidak sempat. Sesungguhnya inilah waktu yang baik untuk meletakkan batu pertama di atas gunung “Persatuan seluruh bangsa Indonesia”.

Marilah kita mulai, dari menit ini, dengan sungguh-sungguh dan gembira bekerja untuk menjadikan sebagai tujuan kita yang penghabisan: pendirian “Federasi Republik Indonesia” (FRI) di dalam arti yang sebenarnya adalah persatuan dari 100,000,000 manusia yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan perhubungan seluruh Benua Asia dan samuderanya. Selain itu, ia berarti telah memusatkan semua hasil bumi negeri-negeri panas; dan bersamaan dengan itu, pembangunan kebudayaan baru, yakni kebangunan satu bangsa dan kekuasaan baru di Timur. Oleh karena itu, ia akan menjadi pokok semangat baru yang tak tertahan-tahan bagi bangsa Asia yang jumlahnya lebih dari 1,000,000,000 dan haus akan kemerdekaan; dan ia berarti pula kerugian yang tak dapat diperbaiki oleh penjajahan putih.

Bangsa Indonesia-Selatan yang menghendaki kemerdekaan pasti mengerti benar tugas dan akibat dari perbuatan serta kemenangannya. Mulai sekarang ia harus menumbuhkan semangat juang terhadap imperialisme Barat, baik dalam politik perdagangan ataupun militer. Jangan sekali-kali kita mundur atau meninggalkan perjalanan yang dicita-citakan.

Singsingkanlah lengan baju dengan segera buat menghidupkan serta menyatukan semua kekuatan nasional; seterusnya, ciptakan satu pertalian dengan bangsa Indonesia yang lain, yang anti-imperialis Barat atau Timur.

Akan tetapi, jangan kita menggantungkan diri semata-mata kepada pertolongan luar negeri. Hendaknya kita berkeyakinan kepada kekuatan sendiri dari awal sampai akhir.

[1] Sebelum bangsa Spanyol datang di Filipina, bahasa Melayu menjadi bahasa politik yang resmi di seluruh Filipina, menjadi lingua franca antar pulau yang berjumlah tak kurang dari dua ribu buah. Akan tetapi, politik devide et impera bangsa Spanyol membunuh bahasa itu. Selain itu, karena “Utusan Tuhan” itu mengembangkan segenap dialek yang ada di tiap-tiap pulau-pulau dan daerah di Filipina, dan mereka juga menghapuskan bahasa Melayu, maka lenyaplah bahasa politik yang resmi tadi. Setelah bahasa pergaulan itu mati maka lambat laun mati pula rasa persatuan di antara penduduk sehingga akhirnya Spanyol dapat mengadu domba mereka. Itulah sebabnya maka hingga kini sangat susah untuk membangun persatuan nasional.

XII

KHAYALAN SEORANG REVOLUSIONER

Sebuah tugas yang berat tapi suci, sekarang dipikulkan di atas bahu setiap orang Indonesia untuk memerdekakan 55 juta jiwa dari perbudakan yang beratus-ratus tahun lamanya, dan memimpin mereka ke pintu gerbang hidup baru.

Zaman yang lalu, zaman penjajahan Hindu dan Islam serta zaman “kesaktian” yang gelap itu, tak dapat menolong kita sedikit pun. Marilah sekarang kita bangun termbok baja antara zaman dulu dan zaman depan, dan jangan sekali-kali melihat ke belakang dan mencoba-coba mempergunakan tenaga purbakala itu untuk mendorongkan masyarakat yang berbahagia. Marilah kita pergunakan pikiran yang “rasional” sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar — kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran. Kita sangat menjunjung tinggi kesaktian dan adat istiadat serta kebenaran bangsa Timur. Akan tetapi semuanya itu tidaklah mendatangkan pencerahan, kemauan kepada peradaban dan kemajuan, cita-cita tentang masyarakat yang baik, tinggi, bagus, serta tidak pula mendatangkan yang baik di dalam sejarah dunia. Pujilah kepintaran Timur sang pemilik batinnya sendiri, kegaiban atau kekeramatan Timur, bilamana anda suka. Semuanya itu sebenarnya merupakan asal mula dari kesengsaraan dan penyiksaan mematikan semangat kerja dalam masyarakat yang tak layak bagi pergaulan manusia. Manusia haruslah berdaya, mencoba berjuang, kalah atau menang dalam ikhtiarnya itu. Sebab, inilah yang dinamakan hidup! Karena itu, hapuslah segala macam kepuasan yang menyuburkan semangat budak dan buanglah kesalahan kosong sebab ini adalah kesesatan pikiran semata.

Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka! Sebuah bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau berubah dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan dan kemauannya. Tiap-tiap manusia atau bangsa harus mempergunakan tenaganya buat memajukan kebudayaan manusia umum. Jika tidak, ia tak layak menjadi seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikit jua dengan seekor binatang.

Tetapi kamu orang Indonesia yang 55,000,000 tak kan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala “kotoran kesaktian” itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia. Tenaga ekonomi dan sosial yang ada pada waktu ini, harus kamu persatukan untuk menentang imperialisme Barat yang sedang terpecah-pecah itu, dengan senjata semangat revolusioner-proletaris, yaitu dialektis materialisme. Kamu tak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Juga kamu tidak boleh dikalahkan mereka dalam perjuangan sosial. Akuilah dengan tulus, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka mengikuti kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat.

Sebelum bangsa Indonesia mengerti dan mempergunakan segala kepandaian dan pengetahuan Barat, belumlah ia tamat dari sekolah Barat. Karena itu, janganlah menjatuhkan diri dalam kesesatan dengan mengira bahwa kebudayaan Timur yang dulu atau sekarang lebih tinggi dari kebudayaan Barat sekarang. Ini boleh kamu katakan, bilamana kamu sudah melebihi pengetahuan, kecakapan dan cara berpikir orang Barat. Sekurang-kurangnya masyarakat kamu sudah mengeluarkan orang yang lebih dari seorang dari Newton, Marx dan Lenin, barulah kamu boleh bangga. Pada waktu ini sungguh sia-sia dan tak layak bagi kamu mengeluarkan perkataan sudah “lebih pintar” dan tak perlu belajar lagi, sebab banyak sekali yang belum kamu ketahui. Pun jika perkataan itu keluar dari seorang bekas murid yang melupakan ajaran gurunya. Kamu belum boleh membanggakan kelebihanmu karena kamu belum layak jadi seorang murid, seperti terbukti dengan kekolotan dan akar-akar takhayul yang masih berbelit-belit dalam kepalamu. Bila sekalian keruwetan itu sudah lenyap dari kepalamu, barulah kamu dianggap orang sebagai murid, dan mulailah mempergunakan pikiran “baru” dengan sempurna.

Jadi, janganlah bimbang merampas kemerdekaan bila kamu ingin jadi seorang murid Barat. Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum seorang manusia, bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja sendiri! Bagi bangsa Indonesia, manusia tiada harapan akan memperoleh kemajuan bila berada di bawah tumit imperialisme Belanda. Bila seseorang ingin menaiki tangga sosial dan kebudayaan, haruslah ia merdeka lebih dulu. Adapun paham tentang kemerdekaan, di Baratlah dilahirkan dan dipergunakan.

Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaklah merdeka dengan mernakai senjata Barat yang rasional. Apabila sudah dapat memakainya, barulah ia dapat menciptakan sebuah pergaulan hidup yang baru dan rasional.

Kemudian kecakapan dan kemauan menurut alam dapat tumbuh, dan dengan itu pula kekayaan tanah Indonesia yang tak terkira itu dapat diusahakan dan dipergunakan buat keluhuran bangsa Indonesia yang telah tertindas dan merana sekian lama di bawah tapak kaki Belanda.

Karena itu, wahai kaum revolusioner, siapkanlah barisanmu dengan selekas-lekasnya! Gabungkanlah buruh dan tani yang berjuta-juta, serta penduduk kota dan kaum terpelajar di dalam satu partai massa proletar.

Tunjukkan kepada tiap-tiap orang Indonesia yang cinta akan kemerdekaan tentang arti kemerdekaan Indonesia dalam hal materi dan ide. Panggil dan himpunkanlah orang-orang yang berjuta-juta dari kota dan desa, pantai dan gunung, ke bawah panji revolusioner. Bimbingkanlah tangan si pembanting tulang dan budak belian itu hari ini dan besok; bawalah mereka menerjang benteng musuh yang rapi itu! Di sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner! Di muka barisan laskar itulah tempatmu berdiri dan kerahkanlah teman sejawatmu menerjang musuh; inilah kewajiban seorang yang berhati singa! Dirikanlah di tengah-tengah laskarmu itu satu pusat pimpinan, tempat menjatuhkan suatu perintah kepada mereka semua yang haus serta lapar itu, dan pasti kata-katamu akan didengar dan diturut mereka dengan bersungguh hati.

Kamu, ahli pidato pahlawan Homerus modern, berserulah di tengah-tengah massa yang tak sabar menanti-nantikan kedatanganmu dengan tepuk sorak dan kegembiraan.

Dan dengan pidatomu itu, tegakkanlah mereka yang lemah, bukakan mata yang buta, korek kuping yang tuli, bangunkan yang tidur, suruh berdiri yang duduk dan suruh berjalan yang berdiri; itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban seorang putera tumpah darahnya. Di situlah tempatmu berdiri dan berdiri, di situ sampai nyawamu dicabut oleh peluru atau pedang musuh yang bengis keji dan hina itu.

Itu kewajibanmu!

Kamu pahlawan dari angkatan revolusioner! Tuntunlah massa si lapar, si miskin, si hina, si melarat, si haus itu menempuh barisan musuh dan robohkanlah bentengnya itu, cabut nyawanya, patahkan tulangnya, tanamkan tiang benderamu di atas bentengnya itu. janganlah kamu biarkan bendera itu diturunkan atau ditukar oleh siapapun. Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.

Biarlah yang tersebut di atas itu senantiasa menjadi kenang-kenangan bagi kita semua. Bersama massa, kita berderap menuntut hak dan kemerdekaan.

LAMPIRAN: RANCANGAN UNTUK PROGRAM PROLETAR DI INDONESIA

 

A. Politik

1. Kemerdekaan Indonesia dengan segera dan mutlak.

2. Mendirikan satu Republik Federasi dari berbagai-bagai pulau di Indoesia.

3. Dengan segera mengadakan Rapat Nasional, yang mewakili semua golongan rakyat dan agama-agama di seluruh Indonesia.

4. Dengan segera memberikan hak memilih yang penuh kepada penduduk Indonesia, laki-laki dan perempuan.

 

B. Ekonomi

1. Menjadikan milik nasional pabrik-pabrik, tambang-tambang, seperti tambang batu arang, minyak dan emas.

2. Menjadikan milik nasional hutan-hutan dan kebun-kebun besar modern seperti kebun gula, karet, teh, kopi, kina, kelapa, nila dan ketela.

3. Menjadikan milik nasional alat-alat pengangkutan dan lalu lintas.

4. Menjadikan milik nasional bank-bank, kongsi-kongsi dan maskapai-maskapai dagang yang besar-besar.

5. Elektrifikasi seluruh Indonesia dan mendirikan in­dustri-industri baru dengan bantuan negara, misal­nya pabrik tenun, mesin dan perkapalan.

6. Mendirikan koperasi-koperasi rakyat dengan mem­berikan pinjaman yang murah oleh negara.

7. Memberikan ternak dan perkakas kepada kaum tani untuk memperbaiki pertaniannya dan mendirikan kebun percobaan negeri.

8. Memindahkan rakyat besar-besaran dengan ongkos negara dari Jawa ke tanah seberang.

9. Membagi-bagikan tanah yang kosong kepada tani yang tak bertanah dan miskin dengan memberikan sokong­an uang untuk mengusahakan tanah itu.

10. Menghapuskan sisa-sisa feodal dan tanah-tanah par­tikelir dan membagikan yang tersebut belakangan ini kepada tani-tani yang miskin.

 

C. Sosial

1. Menetapkan gaji minimum, tujuh jam bekerja dan mem­perbaiki syarat-syarat bekerja dan penghidupan buruh itu.

2. Melindungi buruh dengan mengakui hak mogok dari kaum buruh.

3. Buruh mendapat bagian dari keuntungan industri besar-besar.

4. Mendirikan rapat-rapat buruh pada industri besar­besar.

5. Memisahkan negara dari Gereja ataupun Masjid dan mengakui kemerdekaan agama.

6. Memberikan hak sosial, ekonomi dan politik kepada tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki mau­pun perempuan.

7. Menjadikan milik nasional rumah kediaman yang be­sar-besar, mendirikan kediaman baru dan membagi­-bagikan kediaman kepada pekerja negara.

8. Memerangi sekuat mungkin penyakit-penyakit me­nular.

 

D. Pengajaran

1. Pengajaran diwajibkan dan diberikan secara Cuma-­cuma kepada setiap anak-anak warga negara Indone­sia sampai berumur 17 tahun, dengan bahasa Indo­nesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terutama.

2. Meruntuhkan sistem pengajaran yang sekarang, dan mengadakan sistem baru, yang berdasarkan langsung atas kebutuhan industri yang ada atau yang bakal dia­dakan.

3. Memperbaiki dan memperbanyak sekolah pertukang­an, pertanian dan dagang dan memperbaiki serta memperbanyak sekolah teknik tinggi dan sekolah un­tuk pengurus tata usaha.

 

E. Militer

1. Menghapuskan tentara imperialistis dan menjalankan milisi rakyat untuk mempertahankan Republik Indo­nesia.

2. Menghapuskan aturan tinggal dalam tangsi atau kampemen dan semua aturan yang merendahkan serdadu-serdadu bawahan, dan memperkenan­kannya tinggal di kampung-kampung dan di rumah yang bakal didirikan untuknya, memberi perlakuan yang baik dan memperbesar gajinya.

3. Memberikan hak penuh untuk mengadakan organi­sasi dan rapat kepada serdadu-serdadu bawahan.

 

F. Polisi dan Justisi

1. Memisahkan pamong praja, polisi dan justisi.

2. Memberikan hak penuh kepada tiap-tiap orang yang didakwa untuk membela dirinya di depan pengadil­an dari serangan undang-undang dan membebaskan yang didakwa itu dalam 24 jam, jika bukti-bukti dan saksi kurang cukup.

3. Tiap-tiap perkara yang mempunyai dasar yang sah, harus diperiksa dalam lima hari di pengadilan yang terbuka, tertib dan pantas.

G. Program Aksi

1. Menuntut tujuh jam bekerja, gaji minimum dan syarat bekerja yang lebih baik bagi dan penghidupan kaum buruh.

2. Mengakui Serikat Sekerja dan hak mogok.

3. Pengorganisasian buruh untuk hak ekonomi dan politik.

4. Menghapuskan poenale sanctie.

5. Menghapuskan undang-undang dan peraturan yang menindas gerakan politik, seperti hak luar biasa, la­rangan mogok, larangan pers, larangan rapat dan la­rangan memberi pengajaran, dan juga mengakui ke­merdekaan bergerak yang sepenuh-penuhnya.

6. Menuntut hak berdemonstrasi, dikuatkan oleh mas­sa-demonstrasi di seluruh Indonesia untuk pelawan penindasan ekonomi dan politik, seperti melawan peraturan pajak, dan menuntut dengan segera pem­bebasan orang-orang buangan politik; aksi massa tersebut harus dikuatkan oleh pemogokan umum dan massa yang tak menurut perintah.

7. Menuntut penghapusan Volksraad Raad van Indie dan Algemeene Secretaris, dan membentuk Rapat Nasional. Majelis Nasional yang darinya akan dipi­lih Badan Pekerja yang bertanggung jawab kepada Rapat NasionalGambar

 

Sumber : http://www.marxist.org

Kaktus

KAKTUS (Ferocactus pilosus)

Klasifikasi ilmiah, Kerajaan: Plantae. Divisi: Magnoliophyta. Ordo: Caryophyllales. Famili: Cactaceae. 1/4 dari keseluruhan total spesies kaktus yang hidup di daerah gurun. Sisanya hidup pada daerah semi-gurun, padang rumput kering, hutan meranggas, atau padang rumput. Umumnya, tumbuhan ini hidup di daerah beriklim tropis dan subtropis. Sebagian besar spesies kaktus berasal dari Amerika Utara, selatan dan tengah.

kaktus_kubines-d4b09m4

Saya tertarik dengan tumbuhan yang satu ini, Kaktus namanya. Tumbuhan yang biasa hidup di tanah yang gersang dan tandus ini akan saya jabarkan secara filosofis menurut pandangan saya.

cactus-flower

Kaktus adalah tumbuhan yang memiliki duri di sekitar tubuhnya namun akan terlihat indah bagi mereka yang menyukai, disini akan saya artikan seperti ini bahwa kaktus itu enak dipandang, bahkan menyegarkan mata yang melihatnya tetapi jangan sesekali menyentuh jika tidak mau tertusuk oleh duri yang dimilikinya. Jika di ibaratkan seorang manusia, manusia itu memiliki senjata yang tajam dalam dirinya, namun jika diperhatikan orang kaktus itu indah, rapi, bersih. Tapi jangan sesekali mengusiknya jika tidak mau melihat orang itu mengangkat senjata yang siap menyerang siapa saja yang mengusiknya.

cactus-1

Kaktus adalah tumbuhan yang hidup di tanah gersang dan tandus terbiasa tanpa air, kuat dan memiliki usia yang cukup lama, disini saya mengartikan bahwa Kaktus terbiasa hidup bukan di lahan yang subur atau tanah yang gembur, Kaktus justru hidup ditempat tumbuhan lain tidak bisa hidup. Tetapi kaktus tetap bisa menyesuaikan dirinya bahkan tanpa air dalam waktu yang lama sekalipun, kaktus bisa tetap hidup. Ini saya artikan sebagai semangat hidup yang dimiliki kaktus walaupun di tempat yang minim air sekalipun. Hal ini merupakan perjuangan hidup yang bisa saya ambil dan saya terapkan dalam kehidupan bahwa seseorang jika ingin tetap hidup harus memiliki rasa perjuangan yang tinggi dan pantang menyerah.

Saguaro_cactus_in_Arizona

Jika ingin mencontoh pada kaktus untuk kehidupan sehari-hari tidaklah terlalu buruk bagi saya, karena sifat kaktus yang sangat beragam, yaitu: tetap indah jika dipandang, bisa hidup didaerah kering bahkan daerah yang sangat panas, diam (artinya tidak menyerang) tapi jika disentuh dapat tertusuk duri tajamnya.

tanaman-hias-kaktus

yellow flower kaktus

ANTARA IDEALISME DENGAN REALITA

Image

Oleh: Sigit Riono

            Mahasiswa sebagai kaum intelektual dewasa ini banyak melakukan perubahan dari melengserkan suatu rezim, sampai melahirkan orang-orang yang memiliki intelektual serta pemahaman yang luar biasa bagi negara. Sejak saya membaca sebuah artikel tentang pergerakan mahasiswa di era Bung Tomo hingga era modern saat ini, membuat saya begitu tertarik untuk menjadi mahasiswa yang sejati. Berbagai tantangan pun banyak dialami oleh para aktivis kampus, dari yang diculik hingga yang dibunuh oleh kaki tangan suatu rezim. Kekejaman mereka begitu mengagetkan hingga mengalahkan serigala yang sedang memburu mangsanya, suatu rezim bisa begitu kuat mengalahkan para aktivis dengan senjatanya, yang menurut mereka keberadaan para aktivis ini cukup membuat ancaman bagi kesejahteraan para petinggi suatu rezim tersebut.

            Padahal disinilah suatu kebenaran dibuka secara gamblang layaknya mengambil tikus yang sudah mati di sebuah ruangan hingga menimbulkan bau yang amat sangat tidak sedap. Tetapi apa yang terjadi? Mereka langsung menutup mata dan telinganya untuk tidak melihat suatu permasalahan yang ada, segelintir petinggi negara yang merasa dirinya terancam langsung mengambil ancang-ancang untuk mengamankan jabatannya yang pada dasarnya jabatan itu tidak untuk kepentingan bersama maupun atas dasar suara rakyat. Jabatan itu mereka manfaatkan untuk kesejahteraan diri dan keluarganya, mereka begitu tidak peduli akan kesalahan yang mereka lakukan. Ada ungkapan seperti ini “pemimpin itu ketika sudah mempunyai jabatan akan lupa daratan”, ungkapan tersebut boleh saya artikan seperti ini, jadi, seseorang akan berjuang keras dan semaksimal mungkin untuk mendapatkan sebuah kekuasaan hingga menjalin hubungan dengan rekan kerjanya yang menurut mereka bisa memuluskan jalan atas dirinya untuk mencapai sebuah kekuasaan, dan ketika kekuasaan itu bisa diraih, pemimpin tersebut seakan-akan lupa diri, mereka begitu ingin memenuhi hasratnya untuk menyejahterakan dirinya.

            Dari sinilah peran mahasiswa sangat dibutuhkan untuk menyadarkan para petinggi dan jajarannya itu bahwa mereka berada dijalan yang salah. Dari sini juga peran mahasiswa dibutuhkan untuk mengkritisi atas permasalahan yang timbul, bukan sekedar itu mahasiswa juga harus memberikan berbagai solusi atas permasalahan yang ada. Untuk memberikan pencerahan serta perubahan dalam tatanan negara. Maka dari itu banyak mahasiswa yang memiliki gagasan-gagasan idealisme tersendiri berkat pelajaran dan ilmu-ilmu yang mereka dapatkan didalam kampus. Jika mahasiswa memiliki pemikiran-pemikiran yang begitu brilliant akan suatu konsep kepemimpinan maka tinggal langkah implementasilah yang selanjutnya diterapkan.

            Mengapa saya membuat judul paper ini “antara idealisme dengan realita” karena menurut hemat pikiran saya buat apa memliki gagasan yang benar tanpa ada realisasi di kehidupan nyata? Manusia pada dasarnya dilahirkan untuk berpikir dan menentukan akan jalan hidupnya sendiri, bukan oleh orang lain, karena kita mengenal kebebasan untuk hidup, kita juga mengenal persepsi yaitu setiap manusia bebas untuk mensejahterakan dirinya, tentu dengan ketentuan-ketentuan yang benar. Maka dari itu jika mahasiswa sudah memiliki suatu gagasan yang baik dan benar, langkah selanjutnya adalah merealisasikan gagasan tersebut.

            Tapi apa yang terjadi di kehidupan nyata saya melihat perbandingan yang sangat contrast yaitu saya coba memberi contoh kecil, disaat seseorang menjadi mahasiswa, ia begitu kukuhya dengan paham idealisme yang ia yakini, seakan akan merasa dirinya paling benar walaupun tak selalu yang ia yakini benar akan tetapi gagasan orang ini begitu luar biasa sekali. Setelah lulus dan kuliah orang inipun melanjuti jalan hidupnya, ia bekerja di sebuah instansi negara. Diawal karirnya di dunia kerja ia begitu terampil, jujur, tegas, dan disegani oleh atasannya.  Dan setelah sekian lama berkerja, atasan orang ini mulai gerah dengan tindakan-tindakan yang beitu frontal dan mengancam kedudukan atasannya dari jabatannya. Seketika itu orang ini sudah tidak memiliki rekan kerja yang baik, ia selalu sendiri di kantor instansi tempat ia berkerja, dan ada panggilan untuk ia agar bertemu dengan atasannya, hingga ia kaget karena pemimpinnya melakukan kesalahan yang fatal menurutnya dan ia tidak mau diajak untuk menutupi kesalahan ini hingga ia disuruh memilih menutupi kesalahan atau membeberkan kesalahan pemimpinnya itu.

            Walaupun ia kecewa dengan pemimpinnya ia tetap berkerja dan terpaksa menutupi kesalahan pimpinannya itu. Perjuangan sejak ia menjadi mahasiswa begitu tidak terlihat ketika seorang ini memasuki dunia kerja. Menurut saya orang yang dicontohkan ini tidak lagi berintegritas tinggi terhadap kehidupan yang padahal secara jelas sudah terbukti ada kesalahan dalam instansi negaranya. Ia seolah-olah menjadi orang yang terbawa arus, dan tidak memiliki pegangan hidup. Apakah perjuangan orang ini selama menjadi mahasiswa masih diingatnya? Apakah perjuangan tersebut hanya sebatas menjadi mahasiswa saja? Kalau seperti itu buat apa mahasiswa disebut Agen of change, atau mahasiswa adalah kam intelektual.

            Begitu payahnya idealisme orang yang saya contohkan ini ketika mendapat pekerjaan dalam sebuah instansi, akan tetapi dari pimpinan instansi tersebut ada yang memiliki kesalahan yang fatal. Dimana sikap serta sifat dia selama menjadi mahasiswa yang begitu tegas, jujur, berani, dan selalu mengatakan salah pada hal yang salah dan mengatakan benar pada hal yang benar. Memang tidak semua orang seperti yang saya contohkan ini, tetapi sudah terlihat bahwa idealisme begitu rapuhnya ketika memasuki dunia yang myata, yaitu kehidupan nyata sehari-hari.

            Bagaimana menyikapi hal ini, menurut hemat piker saya adalah dengan cara menyatukan hati, akal serta pikiran, lisan dan perbuatan. Jika faktor ini semua sudah bisa di sinkronisasi saya yakin hanya Tuhan lah yang bisa mengatur hidupnya. Bukan seperti kapal yang ada ditengah laut yang begitu mudah goyah terombang-ambing ke kanan dan kiri, serta ke depan dan ke belakang. Jadi berpegang teguhlah pada gagasan yang anda yakini kebenarannya dengan ketentuan yang baik pastinya. Semangat! Hidup Mahasiswa!!!Image

masa-masa Proses Pergerakkan saat menjadi Mahasiswa

“secerca kisah yang bisa aku rangkum dalam sebuah kata-kata yang sangat singkat”

 

Berawal dari masa SMA, saya tidak sekolah seperti anak-anak seusia saya yang mayoritas lebih memilih di sekolah menengah atas yang kategorinya sekolah umum. saya lebih memilih bersekolah yang dasarnya Agama, yaitu Madrasah Aliyah Annajah. Disekolah saya biasa bermain, berkelahi, membuat keributan, main futsal, berpacaran dan juga terkadang mengikuti beberapa Majelis sholawat. Tidak ada prestasi yang saya buat saat duduk di bangku SMA, saya memang mencoba ikut beberapa kali perlombaan antar sekolah tetapi hasilnya sangat tidak memuaskan. Singkatnya dari masa SMA saya lebih banyak bersenang-senang, jauh dari hal akademik, hasil belajar dari bangku sekolah pun standar saja.

 217455_100588196618033_100000005595823_12115_2145153_n

Kegiatan yang saya ikuti pada masa SMA, baik di dalam sekolah maupun di lingkungan rumah tidak terlalu banyak kegiatan yang saya miliki. Yang banyak memberikan pelajaran adalah di tempat saya berkumpul bersama lingkungan rumah, kami berkumpul dalam wadah ikatan yang bernama “IKAR” Ikatan Remaja. Disitu saya mengabdi, berbakti, bekerja untuk masyarakat sekitar rumah. Kegiatannya bersifat sosial seperti kerja bakti, membuat acara lomba 17 agustus atau mengisi hari kemerdekaan, penarikan uang sampah + keamanan, relawan hajatan (misalnya, dalam acara pernikahan, khitanan) bahkan menjaga keamanan lingkungan warga. Dari situ saya banyak belajar tentang realita sosial di masyarakat, mengerti bagaimana situasi lingkungan warga yang kondusif ataupun tidak, mengerti bagaimana mencintai lingkungan dimana saya tinggal.

 

Pada masa akhir-akhir waktu saya di SMA, banyak cerita dari teman teman kelas yang berbicara tentang perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dari bicara nama besar, sampai berbicara bagaimana nantinya jika diterima di suatu perguruan tinggi yang disebut. Banyak teman saya seperti Chibay, Parong, Onta, engkong Mail (Nama disamarkan) sibuk membicarakan hal hal tersebut saat di kelas, bahkan sampai di warung Enya (tempat kami berkumpul) masih saja memmbahas hal yang sama. Saya tidak terlalu semangat jika teman-teman sedang membahas hal itu, sampai pada suatu sore saya ditanyai oleh Chibay dan Onta, dia menanyakan dimana tujuan saya nanti… dan saya hanya menjawab universitas sawata dekat rumah…

168032_1527894604301_1442777888_31152261_7622010_n

Seiring berjalannya waktu, teman-teman saya merencanakan untuk membeli soal untuk mengikuti ujian SNMPTN (nama pada saat itu) dan saya memutuskan untuk mengikuti tes seleksi tersebut, mulai meminta uang pada Ibu dan membelikannya soal SNMPTN itu. Dari sinilah ada beberapa cerita yang mengesankan buat saya. Pertama, pada saat saya belum lulus sekolah, Almarhum Bapak meminta saya untuk memilih jurusan di sebuah universitas swasta di dekat rumah dan segera mendaftarkan diri. Kedua, Ibu saya seperti atau memang tidak percaya pada saya, bahwa beliau tidak yakin jika saya bisa masuk perguruan tinggi negeri, pernah dikatakannya apabila saya bisa sampai masuk di perguruan tinggi negeri, akan diadakan selamatan dirumah. Ketiga, dari sekian banyak teman-teman yang gencar membahas perguruan tinggi negeri dengan nama besar, saya justru memilih universitas negeri di jakarta yang kurang superior, dan memilih universitas nomor dua di semarang jika dilihat dari nama besarnya. Keempat, dari beberapa teman saya yang mengikuti SNMPTN diantaranya Onta, Chibay, Parong, Engkong Mail, dan Boyo, hanya saya yang lulus dari SNMPTN saat itu. Beberapa hal itu yang membuat saya mengingat kembali, bahkan hingga mengesankan diri saya.

 208312_197521406951525_100000810016199_427117_1453985_n

Akhirnya saya bisa bangga, dan saya bisa menunjukkan dengan diterimanya saya di perguruan tinggi negeri tercinta ini kepada keluarga saya, kepada teman saya di sekolah, kepada guru-guru saya di sekolah. Tetapi saya sedikit kebingungan dengan diterimanya saya di perguruan tinggi negeri karena jurusan yang saya dapati ialah ilmu hukum. Jelas cukup memnjadikan tidur saya terganggu, karena sejak kelas 12 saya ingin sekali kuliah sosiologi. Tapi tak apalah saya tetap bersyukur dengan hal sudah saya dapati. go to unnes

Mulai masuk masa kuliah, jujur saja saya merasakan tekanan batin yang cukup besar saat di kelas, apa yang diberikan dosen baik materi ataupun tugas saya kurang memahami. Menjadikan saya membaca dua kali saat perkuliahan selesai. Begitu lama proses semester satu berjalan, banyak hal-hal baru yang saya rasakan. Di akhir masa semester satu, saya mulai memasuki dunia pergerakkan mahasiswa. Pertama saya mengikuti masa penerimaan calon anggota PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia)  di tingkat daerah. Disitu saya bergaul dengan berbagai mahasiswa dari universitas yang berbeda, disitu pula saya belajar filsafat hukum, dan disitu saya juga belajar tentang pergerakkan kaum proletar (rakyat kelas menengah kebawah). Turut ikut dalam aksi masyarakat jateng, petani dan buruh dalam perkara agraria bersama LSM. Banyak hal baru yang saya dapati disana seperti bisa berkomunikasi dengan pengurus partai dan juga beberapa aktivis dari LSM serta salah seorang pengurus dari YLBHI Semarang. PERMAHI yang bergerak di bidang hukum dan sosial, menjadikan saya sedikit mengerti bagaimana hakekat hukum menurut masyarakat kelas bawah. Itulah organisasi ekstra kampus yang saya ikuti, jika di dalam kampus organisasi yang saya ikuti cukup berbeda dengan organisasi ekstra kampus. Di semester dua saya masuk organisasi tingkat fakultas yakni BEM FH UNNES (Badan Eksekutif Mahasiswa) disinilah saya banyak belajar dan bagaimana cara menyesuaikan diri di dalam kampus, di BEM fakultas saya menjadi lebih percaya diri dalam kelas perkuliahan berbagai macam mata kuliah. Saya juga menjadi mengerti seperti apa sistem itu dan seperti apa kegiatan itu bisa berjalan sesuai rencana atau tidak. Menjadi relawan kampus bisa saya katakan ketika saya masuk organisasi BEM fakultas ini, karena segala apa yang dikerjakan tidak dibayar uang sepeser pun. Tetapi disini saya menjadi mengerti bagaimana kita bisa memikirkan kepentingan orang banyak dengan perbuatan yang kita lakukan (intinya saya belajar memikirkan keinginan orang lain, tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi). Kegiatan yang saya jalani di BEM fakultas diantaranya, membuat berbagai macam seminar, membuat berbagai macam acara untuk kepentingan mahasiswa, membuat berbagai macam acara untuk mahasiswa baru (masa penerimaan mahasiswa baru).

397890_329571980404549_100000552480364_1226537_927472802_n

Saat saya mengikuti organisasi baik intra dan ekstra kampus, menjadikan pikiran saya liar. apa yang menurut saya dirasa kurang tepat saya segera menolaknya, walau hanya sekedar lewat perkataan, media sosial ataupun tindakan langsung. ada beberapa contoh yang merupakan tindakan saya yang berdasarkan keliaran berpikir, pertama, saya pernah bergabung dengan aliansi masyarakat Jawa tengah tentang aksi Agraria, saat itu saya bersama PERMAHI, Kedua, saya pernah tergabung dalam KONAMI (Konsolidasi Aksi Mahasiwa Indonesia) pada saat itu aksi yang dilakukan ialah penolakan terhadap kenaikan harga BBM di jakarta, dari FH UNNES saya bersama Tablo dan Ibas (Nama telah disamarkan) kami berkumpul bersama anak UMJ, dari Makassar, dari Maluku, dan berbagai universitas swasta di jakarta. Disitulah pengalaman yang mempunyai banyak arti bagi saya, karena apa yang saya gambarkan sebelum berngkat ke jakarta berbanding terbalik saat di lokasi. Pada akhirnya saat itu aksi yang kami lakukan berakhir dengan bentrokan keras oleh pihak polisi. Ketiga, saya kembali melakukan aksi bersama teman-teman BEM fakultas di semarang, tepatnya di jalan pahlawan. Kami tergabung dengan beberapa universitas di semarang, dan juga ada beberapa buruh dan LSM. Yang kami lakukan pada saat itu tetap menekan bahwa menolak terhadap rencana kenaikan harga BBM. Berbeda dengan di Jakarta, aksi yang kami lakukan berjalan dengan damai. DSC_0082

Cukup lelah saya melakukan kritikan, protes, penolakan, dengan aksi demo langsung di jalan. Saya mulai sadar bahwa apa yang tidak kita senangi atau dirasa tidak pas, tidak harus dengan aksi-aksi keras yang bisa berakhir dengan bentrokan dan membuat macet jalan. Menurut saya, kita tidak harus melakukan hal tersebut. Saya berpikiran alangkah lebih baiknya jika masing-masing dari kita mampu mengukir prestasi di bidangnya masing-masing, alangkah indahnya negeri Indonesia tercinta ini jika masyarakat yang cinta akan tanah air saling mengisi kesuksesan dan mengukir prestasi. Tentunya hidup semakin lebih bermakna dan lebih mulia.

IMG_7072

Pada semester tiga dan empat saya benar-benar fokus pada kuliah, karena saya tidak terikat satupun dalam suatu organisasi maupun unit kegiatan mahasiswa. Walaupun tidak terikat dengan satupun organisasi, saya tetap berpartisipasi dalam beberapa acara seperti KPU fakultas, membantu beberapa acara di BEM fakultas, membantu acara National Moot Court National Piala Konservasi I. Tetapi hal itu tidak malah menjadikan nilai saya membaik, justru pada saat itulah nilai yang paling rendah yang saya terima sejak di perkuliahan. Kecewa, sedih, penyesalan campur jadi satu. Dan masa-masa berat saya alami di semester 4, orang yang saya jadikan pandangan, contoh, panutan justru pergi lebih cepat meninggalkan kami semua. Ialah seorang Bapak yang banyak memberikan pelajaran, banyak memeberikan nilai-nilai kehidupan, banyak memberikan amalan hidup, banyak memberikan nasihat-nasihat pada saya. “Bapak, maafkan saya, saya belum bisa menepati janji”.

IMG_20140329_234040

Mulai Semester 5 saya harus memilih konsentrasi dalam jurusan di prodi tempat saya kuliah, dan saya memilih konsentrasi hukum pidana. Pada saat itu ada dua pilihan yang saya inginkan, yaitu antara hukum pidana dengan HTN/HAN. Saat masa awal kuliah semester 5 dimulai, ada tawaran dari senior untuk membantu mengkoordinir mahasiswa semester 5 pada saat itu, ada tawaran menjadi koodinator PSC (Penal Study Club) untuk semester 5. Dan saya dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Jadilah saat semester 5 saya aktif di PSC. PSC yang merupakan kelompok belajar mahasiswa hukum pidana di fakultas hukum UNNES adalah pelopor terbentuknya kelompok belajar di FH UNNES. Dari sinilah saya mulai menggemari hukum pidana, pada saat awal semester 5 mungkin bisa dibilang tiada hari tanpa hukum pidana, ya! hukum pidana! saya rutin menggelutinya hingga saat ini. Kegiatan yang sering dilakukan oleh PSC yaitu Diskusi, yang membahas kasus-kasus terkini berkaitan dengan hukum pidana, lalu ada Bedah Buku, yaitu analisis dan mengkritisi suatu buku yang telah diterbitkan oleh para Doktor hukum di FH UNNES, lalu juga ada Seminar Nasional, yang istimewa dari seminar ini adalah waktu kami mengadakan acara seminar nasional ini dihadiri oleh pembicara Prof. Barda Nawawi Arief, S.H. sang Begawan hukum pidana dari semarang. dan biasanya kami (PSC) melakukan studi banding ke lapas Nusakambangan.

pamflet_bedah_buku

Saat menjadi koordinator semester 5 kelompok belajar PSC, saya diberikan amanat oleh para senior untuk membuat acara Makrab dari 3 kelompok, ada kelompok belajar, dan dua unit kegiatan mahasiswa, yaitu: Unit Peradilan Semu dan Unit Debat. Acara Makrab ini adalah pertama kalinya diadakan menjadi satu diantara ketiganya, saat itu mengambil tema “STORY OF US” dengan jargon Menolak Lupa!!! Baru pertama kalinya saya mengetuai suatu acara diluar kampus, dan acara itu merupakan yang pertama kalinya diadakan. Menjadikan sebuah pengalaman besar bagi saya bisa melaksanakan acara Makrab tersebut, rasa terima kasih saya haturkan kepada para senior yang telah mempercayakan saya membuat acara Makrab itu.

#Makrab

IMG_9207

Setelah itu Reorganisasi Penal Study Club, Unit Peradilan Semu, dan Unit Debat. dalam proses yang cukup panjang saya dipercaya menjadi wakil ketua di kelompok belajar tersebut yaitu PSC. Saya cukup senang karena dipercaya untuk mengemban posisi itu. Seiring berjalannya waktu saya diajak untuk bergabung dalam Unit Peradilan Semu (UPS) untuk menjadi staf di unit kegiatan mahasiswa tersebut. Memang sebelumnya saya ingin bergabung dalam UPS ini, tepatnya pada semester 4 saya sangat ingin masuk pada Unit Peradilan Semu ini. Akhirnya ajakan untuk bergabung dalam UPS itu saya terima dengan senang hati. Disini (UPS) saya bergabung dengan orang-orang hebat, dan beraneka macam prilaku yang unik tetapi memiliki ciri khasnya masing-masing. Disini pula saya banyak belajar antara organisasi, kesetiaan, perasaan, logika, karakter manusia, dan juga sopan santun kepada senior.

LOGO UPS NEW

Dengan segala kesibukan kuliah saya di semester 6 ini saya tetap senang menjalani harii-hari bersama UPS, setiap hari saya bercengkrama dengan UPS, ya! Bercengkrama, karena disisni (UPS) kami memiliki keterikatan dan rasa kekeluargaan yang sangat kuat. Kami (UPS) akan melakukan kegiatan lomba tingkat nasional di Universitas Indonesia yang rencananya akan berlangsung pada bulan juni 2014. Saya sangat bangga dapat mengikuti kegiatan ini, setidaknya saya ingin membuat harum nama FH UNNES di tingkat nasional. dan membuat besar nama Universitas Negeri Semarang di Universitas Indonesia. Dan membuktikan pada Universitas besar yang ada di Indonesia bahwa kami (FH UNNES) bisa dan tidak kalah!

UPS quote:

“Ad Astra Per Aspera”

“cepat tau salah biar cepat tau benar”

“urip iku urup”

“usaha sebanding dengan hasil, tidak ada sedikitpun usaha yang tidak menghasilkan yang baik”

“nothing to lose”

“lebih baik terlihat jahat tapi untuk kebaikan daripada terlihat baik tapi untuk keburukan”

“lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikkan”

Politik – Tan Malaka

Politik

Tan Malaka (1945)

Ditulis oleh Tan Malaka di Surabaya, 24 November 1945

Sumber: Tulisan ini diambil dari buku Merdeka 100%, cetakan pertama, Oktober 2005, dengan ijin dari penerbit Marjin Kiri. Buku ini mengandung tiga tulisan Tan Malaka: PolitikRencana Ekonomi Berjuang, dan Muslihat.

Transcribed to HTML by Ted Sprague

PENGANTAR

DUA LUSIN TAHUN lamanya saya menunggu-nunggu kejadian yang berlaku dengan pesat dahsyat di Indonesia sekarang ini. Berbahagialah rasanya hidup saya karena bisa menyaksikan perjuangan di Surabaya selama satu minggu lamanya (17 – 24 November 1945).

Sikap dan semangat proletar, tani, dan pemuda Indonesia memuncak, sesuai semua karya dan pengharapan saya selama dalam perantauan. Di Shanghai atau Berlin, di Mesir atau Moskow, saya tak menjumpai sikap dan semangat yang lebih tepat-tangkas-tegap.

Tetapi rasanya masih ada kekurangan baik ditilik dari penjuru ideologi ataupun organisasi.

Pengalaman seminggu lamanya di masa Surabaya dihujani dengan pelor dan bom, ditambah pula dengan permohonan dari pihak pemuda yang sedang berjuang dengan hati laksana baja, saya dalam perjalanan ini terpaksa menulis beberapa brosur.

Yang sudah ditulis tergopoh-gopoh dalam perjalanan ini ialah Politik ini, yang berhubungan dengan kemerdekaan. Brosur yang kedua ialah yang berhubungan dengan Rencana Ekonomi. Yang ketiga akan berhubungan dengan Muslihat mempertahankan Republik Indonesia. Kedua buku yang belakangan itu diharap akan dihabiskan dalam perjalanan pula.

****

 

Percakapan tentang politik ini terjadi antara MR. APAL (wakil kaum inteligensia), SI TOKE (wakil pedagang kelas menengah), SI PACUL (wakil kaum tani), DENMAS (wakil kaum ningrat), dan SI GODAM (wakil buruh besi).

I. ARTINYA “MERDEKA”

A. ARTI SEDERHANA

SI PACUL : Selamat pagi, apa kabar ?

SI TOKE : Terlampau panjang ini Saudara! Sekarang masa perang dan masa berontak, ucapkan yang pendek dan tepat saja: “Merdeka” begitu. Pendek, tepat, dimengerti, dan membangunkan perasaan bertarung. Ucapan yang panjang tadi asalnya dari terjemahan Belanda. Kalau nanti berbaubau Nica, tentu engkau dicari buat dibawa ke Batalyon X.

SI PACUL : Memang saya tak tahu yang demikian itu. Tetapi sudah jadi kebiasaan saja. Di sekolah rendah dipelajari dan memang selalu diucapkan begitu. Tetapi sekarang satu dua kali juga saya ucapkan “MERDEKA” kalau berjumpa pengawalan di jalan-jalan. Tetapi terus terang saja, saya sendiri juga belum tahu betul artinya “Merdeka” itu.

SI TOKE : Cul, saya pun tak paham betul akan arti perkataan itu. Tetapi contoh ini bisa memberi penerangan. Engkau lihat itu burung gelatik. Dia bisa terbang kesana kemari, dari pohon ke pohon mencari makan. Alangkah senang hatinya. Di mana ada makanan di sana dia berhenti makan sambil menyanyi. Kalau hari senja dia pulang ke sarangnya. Itu namanya merdeka. Tak ada kesusahan. Selalu riang gembira.

SI PACUL : Betul senang kelihatan dari luar. Tetapi kelihatan dari luar saja. Belum tentu hatinya sang gelatik sendiri selalu senang. Belum tentu pula burung gelatik itu selalu menyenangkan orang lain. Kemerdekaan semacam itu tak begitu memuaskan.

SI TOKE : Bagaimana tak memuaskan, Cul? Bukankah merdeka seperti burung di udara itu selalu dipuji, selalu diambil sebagai contoh?

SI PACUL : Tadi saya bilang belum tentu hatinya sang gelatik itu selalu senang. Bung Toke memang orang kota, memang punya perusahaan buat hidup sendiri. Tak perlu banyak takut sama ini atau itu. Tetapi bung Toke jangan lupa, bahwa sang gelatik selalu diintai musuhnya. Kucing atau berangan ialah musuh besarnya. Burung elang ialah musuhnya yang lebih besar. Sang manusia pun bisa sewaktu-waktu menangkapnya atau menembaknya.

SI TOKE : Sang gelatik toh bisa lari terbang?

SI PACUL : Ya, memang dia bisa lari terbang. Cuma kecakapan yang diperolehnya dari Alam itu saja yang bisa melindungi jiwanya. Tetapi mana ada adat atas undang-undang masyarakat yang melindunginya? Bahkan, mana masyarakatnya sang gelatik?

SI TOKE : Benar juga Cul. Engkau memang dari desa, yang masih hidup di Alam. Memang di Alam itu undang-undang yang berlaku ialah: Besar hendak melanda. Tetapi dalam masyarakat pun begitu juga, bukan?

SI PACUL : Memang masyarakat kita juga belum sempurna. Tetapi jauh lebih sempurna dari masyarakat burung atau hewan yang lain. Barangkali kita manusia pun tak akan sampai kepada masyarakat yang sempurna. Tetapi kita senantiasa, selangkah demi selangkah bisa menghampiri kesempurnaan …

SI TOKE : Aku tak sangka kau seorang ahli filsafat, Cul. Rupanya tadi engkau berlaku pura-pura bodoh saja. Tetapi tunggu dulu! Baik kita kembali ke pokok perkara. Engkau sudah terangkan bahwa sang gelatik belum tentu selalu berhati senang, karena musuh selalu mengintai. Tak ada undang-undang atau adat masyarakat burung yang bisa melindungi masing-masing burung. Tetapi engkau belum terangkan, bagaimanakah sang gelatik yang hina papa itu bisa tidak menyenangkan orang lain, bisa mengganggu orang lan?

SI PACUL : Memang rupa sang gelatik itu hina papa. Tetapi kalau satu rombongan saja gelatik itu sampai ke sawah kami, maka mereka itu merdeka pula memusnahkan hasil pekerjaan kami. Dari masa meluku sampai masa menanam padi, dari waktu padi masih hijau kecil sampai kuning matang, kami mengeluarkan jerih payah dan peluh keringat. Sekarang sesudah jerih payah kami memperlihatkan hasilnya datanglah rombongan gelatik yang tidak mengeluarkan keringat setetespun dan susah gelisah sedikit pun atas hasil pekerjaan kami tadi. Tetapi dengan tidak meminta izin lebih dahulu, dan dengan tak malu-malu mereka bersuka ria, bersenda gurau di atas tangkai padi, memilih buah yang matang dan bernas. Bukankah kemerdekaan semacam itu kemerdekaan orang tak berusaha yang merampas hasil pekerjaan orang lain yang mengeluarkan tenaga? Merdeka semacam itu berarti merdeka merampas. Inilah sebenarnya akibatnya kemerdekaan liar itu. Apa gunanya “merdeka” semacam itu buat masyarakat manusia?

SI TOKE : Wah, Cul. Ini gara-gara “selamat pagi” apa kabar tadi. Tetapi memperbincangkan arti “Merdeka” itu bukan lagi perdamaian yang aku peroleh dalam hatiku. Memang semua perkara yang engkau kemukakan tadi yang berhubungan dengan “kemerdekaan” itu benar belaka. Sekarang saya sendiri dalam kekacauan pikiran. Aku sendiri mau tahu pula “apa merdeka yang sebenarnya”.

SI PACUL : Marilah kita bertanya kepada mereka yang lebih ahli.

B. ARTI LEBIH DALAM (Definisi)

SI TOKE : Sini, Denmas! Denmas, tuan sudah dengar kami belum lagi mendapat kecocokan tentang arti MERDEKA. Tetapi saya sudah yakin, bahwa MERDEKA itu tidak berarti boleh menjalankan kemauan diri sendiri saja, dengan tiada mempedulikan hak dan kemauan orang lain. Bukankah begitu, Cul, sari perundingan kita tadi.

SI PACUL : Memang begitu. Tetapi siapakah dan bagaimanakah cara membatasi kemauan masing-masing orang? Cobalah Denmas kasih jawab! DENMAS : Memang kemauan liar diri sendiri itu mesti dibatasi. Di zaman Majapahit umpamanya kemauan liar tak terbatas itu dikendalikan ke jalan yang baik oleh raja yang adil dan bijaksana.

SI TOKE : Belum terang benar perkataan Denmas itu pada saya. DENMAS : Artinya dikendalikan itu ialah diarahkan ke jurusan yang benar. Kalau seorang warga negara merusak atau mencuri harta warga yang lain, maka si pencuri tadi dihukum. Dengan begitu dia sendiri dan warga lainnya terbatas atau hilang keinginannya merusak atau mencuri harta orang lain. Lagipula, kalau Negara diserang oleh Negara lain maka raja tadi memerintahkan semua warga yang kuat sehat mengangkat senjata mengusir musuh. Kalau ada warga negara yang kuat sehat itu ingkar, maka ia dihukum pula oleh raja.

SI PACUL : Jadi kalau begitu memang kemauan merusak, mencuri, atau lari kalau musuh datang dibatasi atau dibatalkan oleh raja.

MR. APAL : Tetapi bagaimana kalau raja tadi sendiri mau merusak, memperkosa, dan lari diserang musuh dengan tiada mengadakan perlawanan suatu apa? DENMAS : Raja itu mestinya adil, bijaksana, dan berani gagah perkasa.

SI PACUL : Baik kalau kita mendapatkan seorang Raja semacam itu. Selama ada Raja semacan itu memang negara aman dan makmur. Tetapi bagaimana kalau Raja semacam itu tak ada? Atau kalau adik seorang Raja atau adiknya sebapak tetapi tak seibu lebih adil, lebih bijaksana, dan lebih gagah mau menjadi Raja pula? Tentu timbul perang saudara bukan? Atau kalau Raja itu tak punya keturunan sama sekali, tetapi di antara keluarganya yang dekat atau jauh ada yang berani tetapi zalim, atau ada yang adil tetapi lembek penakut? Siapa yang akan menjadi Raja? Tentu bisa timbul perang saudara pula, bukan?

SI TOKE : Rupanya engkau ini betul seorang ahli filsafat jempolan, Cul. Sokrates sendiri akan bangkit dalam kuburnya mendengarkan pertanyaanmu semacam itu. Memang keadaan begitu sering timbul di zaman Sriwijaya ataupun Majapahit. Di masa itu memang Raja itu seringkali zalim, tetapi tak ada aturan yang membatasi kezalimannya. Raja zalim itu cuma bisa ditukar dengan jalan pemberontakan rakyat. Jadi negara pun kacau. Atau kalau ada pertengkaran di antara para calon Raja, maka masing-masing calon memanggil punakawannya buat perang saudara. Betul di bawah perintah seorang Raja, negara bisa aman sentosa, kalau Raja itu sendiri sempurna dalam segala-galanya dan semua Raja turun-temurun sempurna pula. Jadi keamanan dan kemakmuran negara semacam itu bergantung kepada satu keluarga saja.

SI PACUL : Memang negara aman sentosa kalau keluarga Raja itu sempurna, tak ada celanya. Tetapi celakalah Negara kalau keluarga Raja itu tak sempurna atau jahat.

SI TOKE : Kembali kita sebentar pada pokok perkara. Pertama tadi kita mau mengendali kemauan liar seorang warga negara. Si Pengendali itu kita namai Raja. Tetapi di belakangnya kita lihat bahwa Raja itu manusia juga, acapkali perlu dikendali pula. Memang susah mencari seorang atau serombongan manusia buat mengendali Si Pengendali itu. Jadi apa mestinya yang mesti mengendali kemauan warga negara itu, supaya yang dikendali jangan merusak dan Si Pengendali sendiri jangan merusak pula.

MR. APAL : Sekarang kita sampai ke tingkat yang selama kita berunding ini saya simpan saja dalam pikiran saya. Jadi Si Pengendali yang amat sentosa itu ialah aturan atau undangundang. Undang-undang Negara itulah yang menangkap, memeriksa, atau menghukum seorang warga negara yang dianggap salah. Dengan aturan yang sudah ditetapkan itulah negara mesti diperintah. Aturan memerintah negara itu kita namai Undang-Undang Dasar atau konstitusi.

SI TOKE : Jadi kalau begitu Undang-Undang Dasar itulah yang memerintah, bukan lagi manusia, Undang-Undang Dasar itu lebih tetap dari kemauan seorang Raja atau kemauan keluarga Raja. Boleh dituliskan dan diterjemahkan lebih pasti.

SI PACUL : Tetapi siapa yang mesti membikin Undang-Undang Dasar itu?

SI TOKE : Iya, benar, itu kita mau tahu. Siapa yang berkuasa “berdaulat” buat menentukan Undang-Undang Dasar itu?

MR. APAL : Dengan perkataan lain: di tangan siapakah terletak “kedaulatan” itu? Tadi sudah dibicarakan, bahwa kedaulatan itu tak aman tak tetap kalau ditaruhkan di tangan Raja atau satu keluarga Raja. Sekarang marilah kita periksa di tangan siapa kedaulatan itu harus kita taruh, supaya cara memerintah itu tetap, tak berubah-ubah menurut perasaan seorang Raja, menurut baik atau jeleknya hari, menurut suka atau marahnya Raja itu. Buat itu marilah kita periksa bermacam-macam bentuk Negara. Bentuk yang baiklah yang akan kita pakai.

II. BENTUK NEGARA DAN KEDAULATAN

A. BENTUK NEGARA

MR. APAL : Sebenarnya selama ini sudah kita bicarakan bentuk Negara itu, pada permulaan. Sendirinya kita sampai kepada kedaulatan. Memang bentuk Negara itu banyak berhubungan dengan kedaulatan. Sebelum kita selidiki perkara Kedaulatan lebih baik kita tegaskan dahulu perkara “Bentuk Negara”.

SI TOKE : Saya sering dengar Negara bentuk Kerajaan dan Negara berbentuk Republik. Dalam perundingan kita tadi sudah saya rasa perbedaan kedua bentuk itu, tetapi perbedaan yang pasti memang saya minta tegaskan kepada Mr. Apal.

MR. APAL : Dalam suatu kerajaan tulen, Raja itulah yang mempunyai kemauan tertinggi. Raja itulah yang memberi putusan terakhir. Rajalah yang berdaulat. Tidakkah sering kita baca atau dengar dalam komedi setambul: “Daulat Tuanku?”

SI PACUL : Memang. “Daulat Tuanku” sering pula ditambahtambah dengan “digantung tinggi dan dibuang jauh” kalau tuanku menghendaki!

SI TOKE : Tetapi di mana raja Indonesia itu terbatas kekuasaannya oleh rakyat seperti di Sumatera, maka kita dengar pula: “Raja adil Raja disembah, Raja zalim Raja disanggah.” Jadi Raja –terutama di Minangkabau—amat terbatas sekali kekuasaannya.

MR. APAL : Memang kerajaan itu mempunyai beberapa jenis pula. Satu jenis bernama kerajaan tunggal: absolute monarchie. Dalam kerajaan tunggal itu kemauan raja itu tak ada batasnya. Andaikata pagi ini raja itu marah atau cemburu pada seorang gundiknya, maka hari itu juga menterinya dilepas dari pekerjaannya, karena “whim” (buah hati) saja. Atau karena girang gembira mendapatkan selir yang cantik molek, maka Fulan yang tak tahu apa-apa tentang urusan Negara diangkat jadi Menteri, sebab ia sekarang menjadi iparnya Raja. Kerajaan Tunggal itu mudah sekali bertukar menjadi “Kerajaan sewenang-wenang”.

SI PACUL : Balasannya tak lain pemberontakan buat mencari Raja Adil Bijaksana.

SI TOKE : Berapa lama Negara itu beruntung mempunyai seorang Ratu Adil? Seandainya sesudah naik tahta seumur Ratu Adil. Hidup dia terus adil bijaksana, tetapi bagaimana kalau turunannya seorang bangsat atau bodoh?

MR. APAL : Ada pula jenis kerajaan di mana kekuasaan Raja itu amat dibatasi oleh undang-undang. Undang-undang itu dibikin oleh rakyat. Undang-undang itu tak boleh diubahubah oleh siapapun. Jadi Sang Raja berlaku dikendali oleh undang-undang dasar. Keadaan begitu kita dapati di Inggris sekarang dan dahulu kala di Minangkabau. Kerajaan semacam itu dinamai Constitutional Monarchy (Kerajaan terbatas).

SI TOKE : Jadi yang sebenarnya berkuasa pada kerajaan terbatas itu ialah undang-undang dasar. Raja itu cuma satu lambang persatuan saja. Tetapi lambang itu amat mahal. Bukankah rakyat mesti memikul semua ongkos raja dan keluarganya yang sebenarnya kelas nganggur? Apakah tak lebih murah harganya dan tepat-jitu sifatnya kalau undang-undang dasar saja yang memerintah, mengendali Negara?

MR. APAL : Bentuk semacam inilah yang kita sebut sekarang “REPUBLIK”. Dalan suatu republik Raja dan keluarganya itu tak ada sama sekali. Dalam suatu republik Negara itu diperintah menurut undang-undang. Perintah itu terletak di tangan Presiden dan para Menterinya, beserta Sidang Pusat dan Daerah, dan sebagian juga di Mahkamah Tertinggi.

SI TOKE : Saya minta sedikit penjelasan tentang kalimat terakhir ini.

MR. APAL : Seorang ahli filsafat Perancis bernama Montesquieu membagi kerja (function) pemerintahan itu atas tiga bagian : 1. Kekuasaan membikin undang-undang (Legislative Power). 2. Kekuasaan menjalankan undang-undang (Executive Power). 3. Kekuasaan mengawasi undang-undang (Judicial Power). Kekuasaan membikin undang-undang itu ditaruh di tangan sidang perwakilan. Kekuasaan menjalankan undang- undang itu ditaruh di tangan Sidang Para Menteri. Akhirnya pengawasan terhadap Negara membikin dan menjalankan undang-undang itu ditaruh pada Mahkamah Agung.

SI PACUL : Jadi membikin, menjalankan, dan mengawasi undang- undang itu tidak terletak pada satu orang seperti pada raja. Juga tidak pada satu badan melainkan pada tiga badan.

MR. APAL : Memang begitu! Dalam undang-undang dasar Amerika ditegaskan pula, maksudnya tiga pembagian itu ialah buat mengadakan setimbangan (check and balance) dalam pemerintahan Negara. Tiap-tiap bagian itu ditentukan pula kekuasaannya dengan undang-undang dan batas kekuasaannya.

SI TOKE : Apakah tiap-tiap bagian tak akan terlampau merdeka sendiri-sendiri dan menimbulkan kekacauan pula???

MR. APAL : Memang kemungkinan itu ada. Tetapi semua bagian itu dipersatukan dan dikuasai oleh kelas yang terkuasa dalam Negara Republik itu dengan perkakasnya yang dinamai birokrasi. Tetapi baiklah kita diamkan saja perkara ini. Lebih baik kita bicarakan perkara kedaulatan.

B. KEDAULATAN

SI PACUL : Kedaulatan itu sebenarnya apa???

MR. APAL : Kedaulatan itu sebenarnya kekuasaan yang tertinggi, kekuasaan yang memutuskan suatu persoalan. Sovereignity, namanya dalam bahasa asing.

SI TOKE : Jadi kalau suatu undang-undang atau tindakan menimbulkan percekcokan dalam satu Negara, maka kekuasaan tertinggi itulah yang akan menjatuhkan putusan terakhir. Itulah yang terkuasa, yang berdaulat. Memang perkara ini satu perkara yang penting. Seharusnyalah dalam sesuatu Negara ada sesuatu yang memberi putusan terakhir. Tetapi tak pula kurang pentingnya, di tangan siapakah Kedaulatan itu mesti ditaruh?

MR. APAL : Di zaman Kerajaan-Kota memutus itu terletak di tangan raja. Jadi undang-undang itu terletak di ujung lidahnya raja atau di ujung pedangnya saja.

SI PACUL : Benar sekali, bahwa dalam suatu kerajaan, di mana perkataan raja itu adalah satu undang-undang, harta gampang dirampas, kemerdekaan orang gampang diperkosa, dan perempuan orang gampang diambil oleh yang berkuasa.

MR. APAL : Sebab itu menurut dasar republik seharusnyalah kedaulatan itu di tangan rakyat dan pada undang-undang yang dibikin oleh para wakil rakyat. Kalau suatu tindakan menimbulkan kesangsian atas benar atau tidaknya tindakan itu, maka Mahkamah Tertinggi bisa membandingkan tindakan itu dengan Undang-Undang Dasar. Seandainya sesuatu macam ”pajak” yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat menimbulkan kesangsian itu, maka Mahkamah Agung boleh memutuskan cocok atau berlawanankah tindakan itu dengan Undang-Undang Dasar.

SI TOKE : Bagaimana kalau putusan Mahkamah Agung itu sendiri menimbulkan kesangsian pula?

MR. APAL : Dalam hal ini beberapa Negara Republik menaruhkan kedaulatan itu pada Permusyawaratan Rakyat, umpamanya di Swiss. Suara seluruh rakyat dewasa dipungut. Ini dinamai referendum rakyat. Suara terbanyak itulah suara putusan.

SI PACUL : Tiga atau empat juta penduduk Swiss saja tiada mungkin berkumpul pada suatu tempat buat bermusyawarat dan berunding. Apalagi 70 juta rakyat Indonesia, seandainya bisa mereka meninggalkan kota atau desanya masing-masing. Jadi bagaimana mempraktikkan kedaulatan rakyat itu???

MR. APAL : Memang bukan perkara mudah menjalankan referendum itu. Tetapi biasa dijalankan, yakni seperti menjalankan pemilihan juga. Seandainya warga A dalam Republik itu tak setuju dengan tindakan pajak tadi maka ia catatkan saja “tidak setuju” dalam kartu resmi. Kartu itu dimasukkan ke dalam peti umum. Warga B yang setuju, mencatatkan “setuju”. Kalau seandainya di antara 40 juta warga Negara Indonesia yang berhak bersuara, 30 juta tidak setuju dan cuma 10 juta yang setuju, maka undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat tadi jadi “batal”, yaitu tak sah.

SI PACUL : Kalau begitu memang rakyat yang terkuasa karena putusan yang terakhir betul di tangan Rakyat Jelata. Gampang tetapi jitu dan tepat teknik memerintah semacam itu.

SI TOKE : Ingin pula saya hendak mengetahui siapa orangnya mengeluarkan pikiran itu yang bermula sekali? Siapa pemikir besar yang menghasilkan paham yang begitu yang berfaedah buat masyarakat manusia?

MR. APAL : Amat susah mengatakan siapa yang sebenarnya “pada awalnya” memikirkan referendum atau “suara Rakyat” itu. Boleh jadi bukan satu orang pada satu waktu saja yang mendapatkan pikiran itu. Boleh jadi pikiran yang bermula keluar itu belum nyata benar, tetapi sudah mempunyai garis besar atau sifat yang pasti. Boleh jadi pula pikiran itu sudah pasti, tetapi cuma pinjaman dari orang lain atau negara lain. Boleh jadi pula pungutan “Suara Rakyat” itu dijalankan begitu saja, bukan sebagai pelaksanaan satu teori atau paham melainkan sebagai “naluri rakyat murba” belaka (political instinct of the masses).

SI TOKE : Bagaimana juga, tentu “Suara Rakyat” sebagai teknik memerintah itu sejalan dengan sempurna atau tidaknya Suara Rakyat itu mempunyai sejarah. Barangkali bukan sejarah menurut kesempurnaannya.

MR. APAL : Memang “Suara Rakyat” itu bukan saja satu teknik yang penting gampang buat suatu pemerintahan. Tetapi Suara Rakyat itu juga menjadi ukuran jauhnya kemerdekaan Rakyat dalam suatu Negara.

SI TOKE : Dengan obor semacam itu cobalah tuan cantumkan secara sederhana “Suara Rakyat” yang berseluk-beluk dengan Kedaulatan Rakyat dan kena mengena dengan kemerdekaan Rakyat itu.

MR. APAL : Saudara sudahkah mendengar nama Min Tze, artinya guru Ming?

SI TOKE : Belum. Tetapi nama guru Kung Cu, yaitu pemikir Tionghoa memang sudah saya dengar. Hidup kira-kira 2.500 tahun lampau.

MR. APAL : Nah, Guru Kung memang seorang pembentuk masyarakat Tionghoa yang terbesar. Negara bentukan Guru Kung berdasarkan kekeluargaan yang dipuncaki oleh Raja dan keluarganya. Muridnya ialah Guru Ming memberatkan kedaulatan itu bukan kepada Raja seperti gurunya, tetapi kepada Rakyat Jelata. Maksudnya Guru Ming lebih kurang, apabila Raja itu zalim maka Rakyat berhak memberontak.

SI TOKE : Jadi bukanlah Rakyat buat Raja, melainkan Raja buat Rakyat. Seperti pepatah Indonesia di atas: Raja adil Raja disembah, Raja zalim Raja disanggah.

MR. APAL : Baru saja tahun 1789, jadi lebih kurang 22½ abad di belakang Guru Ming, Jean Jacques Rousseau, di samping Montesquieu, mengeluarkan pikiran yang sama artinya dengan pelajaran Guru Ming tadi. Pengaruh Tionghoa memang terang pada Montesquieu tadi. Dan Rosseau itu dianggap Nabinya Pemberontakan Perancis.

SI TOKE : Indonesia tak perlu lari ke negara asing saja. Indonesia sendiri mempunyai “suara rakyat” itu. Di masa luhurnya Minangkabau, abad 14 sampai l6, Minangkabau berdasarkan kekeluargaan juga: Rakyat ber-raja pada Penghulu Penghulu ber-raja pada Mufakat Mufakat ber-raja pada alur dan patut. Jadi raja yang diakui lebih tinggi dari Penghulu sebagai wakil rakyat ialah kata Mufakat. Tetapi “Kata Mufakat” itu mesti diperoleh dengan perundingan yang merdeka, tenang, dan luas. Putusan yang diperoleh tiadalah takluk pada Kata Raja atau laskarnya, melainkan pada Alur (logika) dan Patut (keadilan). Alur dan Patutlah Raja Tertinggi di Minangkabau pada masa jaya. Maharaja di Minangkabau itu takluk pada Kata Mufakat, pernah disalahkan oleh Mahkamah Agung Minangkabau. Disangka kedaulatan Rakyat Minangkabau semacam itu, yang berupa “suara rakyat” itu diturunkan oleh pemikir “Ketumenggungan”.

 

III. ISI KEMERDEKAAN

SI TOKE : Kalau sebentar kita meninjau perundingan kita sampai sekarang, nyatalah sudah bahwa “Bentuk dan Isi Kemerdekaan” itu ada dua perkara yang terpisah.

SI PACUL : Apa yang engkau maksudkan dengan “isi” itu?

SI TOKE : Barangkali saya tak salah, kalau yang isi itu ialah “Kedaulatan” tersebut. Rupanya Kedaulatan itu berarti “kemauan” atau “kekuasaan”. Dan pada kekuasaan itulah terletaknya “hak lahir atau batin” dari seseorang atau golongan orang dalam masyarakat.

SI PACUL : Nah kek, sekarang engkau bawa pulang saya ke tempat yang lebih kurang saya ketahui. Engkau tadi menerangkan “isi” kemerdekaan dengan kata yang sudah dikenal seperti kedaulatan, kemauan, dan kekuasaan. Semua perkataan ini cukup kuketahui tetapi anak kalimat “hak lahir dan batin” itu apa pula maknanya.

SI TOKE : Hak lahir ialah hak atas keperluan hidup, seperti makanan, pakaian, perumahan, gaji, dan sebagainya. Hak batin ialah hak buat merdeka berkumpul, berbicara, menulis, hak buat melindungi harta, kemerdekaan, dan jiwa, yang di zaman Revolusi Perancis dinamai “hak manusia”.

SI PACUL : Kalau begitu engkau memberi pemandangan baru pada saya, kek. Hak lahir dan hak batin itu memang tak terlihat pada buntutnya kemerdekaan, yakni bentuk suatu Negara Merdeka. Dalam negara berbentuk kerajaan boleh jadi lebih besar golongan yang berhak (lahir dan batin) daripada dalam negara berbentuk Republik.

SI TOKE : Engkau ini memang cepat memahami suatu paham! Cepat dan tepat bertanya dan melaksanakan! Sekarang aku sendiri tak cukup mengerti apa yang kau maksudkan dengan kalimat di belakang ini.

SI GODAM : Memang petani itu sering mempunyai pikiran sehat segar seperti buah jeruknya.

SI PACUL : Baru sekarang engkau muncul, Godam. Selama ini engkau menonton saja, diam-diam saja engkau pura-pura tak mengerti! Sekarang sesudah sampai ke perundingan perkara “isi” kemerdekaan baru engkau muncul.

SI TOKE : Biarkanlah dahulu si Godam ini. Nanti tentu dia akan muncul terus. Tetapi cobalah tegaskan apa yang engkau katakan tadi, Cul, bahwa dalam sesuatu kerajaan boleh jadi besar golongan yang berhak (lahir dan batin) daripada dalam suatu republik.

SI PACUL : Contoh yang segar-bugar gampang kita kemukakan. Lihatlah Jerman Nazi adalah satu Republik. Tetapi golongan yang paling besar dalam negara (yakni kaum proletar) digencet sehebat-hebatnya. Gaji buruh diturunkan, lama kerja diperpanjang buat menghasilkan alat perkakas perang. Gestapo bermaharajalela buat membasmi kumpulan dan rapat buruh. Cuma sebagian kecil warga negara Jerman (yakni kaum Fasis) yang mempunyai hak lahir dan batin itu. Sebaliknya di Inggris, negara merdeka berbentuk kerajaan, besar golongan yang berhak lahir dan batin itu daripada di Jerman. Gaji lebih tinggi, lama kerja lebih kurang, dan hak berkumpul, berunding, dan menulis lebih luas.

SI GODAM : Ya benar kalau engkau membandingkan satu kerajaan dengan republik semacam itu. Memang bentuk itu tak memastikan isi. Jadi tidak dalam semua kerajaan hak lahir dan batinnya golongan rakyat itu diperkosa. Tidak dalam semua republik sebaliknya hak lahir dan batinnya golongan terbesar itu terjamin.

SI TOKE : Sekarang saya sudah mengerti. Jadi besarnya kemerdekaan dalam suatu negara merdeka itu mesti diukur dengan besarnya golongan orang dalam negara itu yang mempunyai hak lahir dan batin.

SI PACUL : Kalau begitu dalam Negara Merdeka yang selalu dipuji oleh Denmas tentulah kaum yang sedikit itu yang sebenarnya merdeka.

SI TOKE : Engkau jangan menyindir-nyindir, Pacul. Denmas toh bukan absolutis, penganut kerajaan Tunggal. DENMAS : Memang bukan! Tadi si Pacul sendiri sudah memberi contoh bahwa bentuk itu belum memastikan isinya. Bukankah dalam negeri merdeka berbentuk kerajaan seperti Inggris golongan yang mempunyai hak lahir dan batin cukup besar? Pacul sendiri yang memberikan contoh ini!

SI GODAM : Cukup besar tetapi …………………

SI TOKE : Diam dulu, Dam, aku sudah tahu ke mana engkau mau pergi. Cukup besar, tapi sama sekali belum lagi cukup! Bukankah begitu, Dam?

MR. APAL : Sebenarnya, semenjak ahli pikir Aristoteles sudah banyak perubahan isi dalam bentuk negara merdeka, baik berupa Kerajaan maupun Republik. Dalam kitab kuno memang biasa sekali dianggap bahwa dalam satu kerajaan itu raja dan keluarganya yang berkuasa, berdaulat, jadi berhak lahir dan batin. Tetapi sekarang Inggris memberi contoh yang aneh.

SI TOKE : Bagaimana pula buku kuno itu menjeniskan Republik?

MR. APAL : Banyak pula jenisnya Republik itu. Republik itu bisa aristokratis, artinya di sana kaum ningrat yang berkuasa, seperti Republik Sparta di masa lampau. Republik itu bisa plutokratis Di sana kaum hartawanlah yang memegang tampuk kekuasaan, yakni yang sebenarnya berdaulat. Ada pula yang demokratis! Di sini rakyatlah yang berkuasa. Inilah sebenarnya watak Negara Modern yang besar-besar di zaman sekarang. Contohnya yang nyata ialah Amerika Serikat. Di sinilah Rakyat yang berdaulat, berkuasa, yang menentukan baik atau tidaknya Undang-undang, yang memilih dan melepas Presiden, para Menteri, dan wakil Dewan Negara. Di sinilah hak lahir dan batin hampir seluruh masyarakat terjamin.

SI PACUL : Bagaimana, Dam?

SI GODAM : Kapitalisme dan Birokratis! Itu yang berdaulat di semua negara merdeka di dunia ini, berbentuk Kerajaan ataupun Republik, baik plutokratis ataupun demokratis!

IV. BIROKRASI

SI PACUL : Nah, Dam, sekarang rupanya engkau punya giliran. Lebih dahulu aku mau tanyakan. Birokrasi itu sebenarnya apa?

SI GODAM : Birokrasi itu adalah seekor ular berkepala 10, tersembunyi tempatnya dan dengan begitu dia leluasa menyemburkan racunnya ke arah musuhnya.

SI PACUL : Jangan pakai perumpamaan begitu, Dam! Saya mau keterangan yang pasti. Saya sudah banyak kali mendengar kata birokrasi itu. Tetapi artinya yang sebenarnya saya sampai sekarang belum tahu.

SI GODAM : Birokrasi ialah perkakas memerintah dan administrasi yang di zaman kapitalisme menjadi perkakas menindas kaum pekerja. Mulanya biro, kantor itu memang perlu buat satu pemerintah dan satu administrasi. Tetapi lama kelamaan oleh pengaruh kapitalisme menjadi badan yang terpisah dari Rakyat murba dan dipakai sebagai alat penindas semua gerakan murba yang membahayakan kekayaan dan kekuasaan kaum kapitalis yang di zaman kapitalisme memiliki birokrasi itu.

SI PACUL : Sedikit terang. Tetapi belum cukup terang. Cobalah lanjutkan.

SI GODAM : Administrasi tentulah perlu buat satu negara. Sedangkan buat satu perusahaan saja perlu administrasi itu. Dalam satu perusahaan saja, bukankah perlu dicatatkan keadaan pekerja dalam tiap waktu. Umpamanya perusahaan itu mau tahu berapa pekerjanya. Pada permulaan bulan 4 tadi umpamanya 100 orang. Kalau yang masuk di bulan itu 100 orang dan keluar 50 orang, jadi sisa penghabisan bulan empat itu 150 orang. Nama, bagian pekerjaan, umur, asal, keluarga, sekolah dll tiap-tiap pekerja mesti didaftarkan supaya jangan mendatangkan kekacauan. Gajinya berhubung dengan pengalaman, sekolah dan kecakapannya mesti didaftarkan pula. Buat kesehatan, perpindahan, atau kematian, pekerjaannya mesti ada pula pendaftaran yang cukup. Belum lagi perkara hasil atau produksi perusahaan itu: turun naiknya, masuk keluarnya hasil itu. Perkara gaji buruh halus di kantornya! Perkara keuangan, bahan, penjualan, dan bermacam-macam perkara lain buat beresnya satu perusahaan itu saja.

SI PACUL : Satu perusahaan saja sudah begitu banyak cabang pekerjaan dan cabang administrasi. Apa lagi satu negara.

SI GODAM : Apa lagi satu Negara yang mempunyai cacah jiwa sampai puluhan juta, yang turun naik pula penduduknya, yang mempunyai banyak jabatan dalam Pemerintahan Negara seperti jabatan politik Negara, Pertahanan Negara, Perekonomian, Lalu-Lintas, Perhubungan, Keuangan, Penerangan- penerangan, Pendidikan. Berapa banyaknya cabang pekerjaan dan berapa banyak ranting dan lain-lain, dan anak ranting pekerjaan. Susahnya pula, semua ranting mesti dipusatkan ke cabang dan semua cabang dipusatkan kepada bagian dan semua bagian di pusat, dipusatkan pula ke PUSAT Negara seluruhnya.

SI PACUL : Pusing kepala saya memikirkan. Memang pekerjaan itu menjadi sulit kalau didengar begitu saja. Tetapi tidak begitu sulit kalau tiap-tiap ranting cabang dan pusat mengetahui hak dan kewajiban sendiri dan berani tanggungjawab ke atas dan ke bawah. Salahnya, yang di bawah tak berani tanggung jawab dan yang di atas mau memungut semua kekuasaan untuk memutuskan, tetapi sering pula tak berani menanggungjawab putusannya itu. Yang di bawah yang tak berani tanggung jawab itu menanti-nantikan saja putusan dari Atas, sampai di atas bertimbun-timbun perkara yang mesti diputuskan.

SI TOKE : Sampai perkara tetek-bengek mesti diputuskan di Atas, karena yang bawahan tak berani memutus.

SI GODAM : Begitulah administrasi itu menjadi Berat-Kepala (topheady). Lebih berat kepalanya daripada kakinya. Karena semua putusan mesti datang dari atas, maka semua putusan itu terlambat datangnya ke bawah. Tindakan yang mesti dijalankan dengan cepat mesti ditunda karena menunggu putusan atas. Tindakan itu sering terpaksa ditunda selamanya, karena tidak akan berhasil lagi kalau dijalankan juga, sudah terlewat.

SI PACUL : Apakah semua tindakan mesti ditunda buat semua orang dan semua golongan?

SI GODAM : Tentu tidak! Inilah akibat pertentangan dalam dunia kapitalisme. Kesulitan dalam administrasi itu memberi kesempatan pada kaum hartawan buat menduduki administrasi itu. Mereka adakan sekolah menengah dan tinggi buat mendidik anak yang mampu mengadakan dan menjalankan administrasi yang sulit bertingkat-tingkat (hirarkis).

SI PACUL : Anak yang mampu tentulah anak kaum kapitalis.

SI GODAM : Tepat Cul. Dan anak kapitalislah yang memegang buku, sebagai pemegang Staat ini dan Staat itu, yang diatur secara akademis, yang cuma bisa dimonopoli golongan terpelajar, anaknya kapitalis.

SI PACUL : Begitu semua biro, semua kantor itu jatuh ke tangan golongan kapitalis, sudah tentu kantor itu menjadi perkakasnya golongan kapitalis, terutama golongan bankir.

SI GODAM : Tepat, Cul. Dan karena keperluan Kapitalis dan Buruh bertentangan seperti hidup dan mati, sudah tentu semua undang-undang dan tindakan yang menguntungkan kapitalisme lekas dijalankan oleh birokrasi yang dikepalai oleh Menteri Negara. Pendeknya, tuntutan si kapitalis biasanya tiada ditunda. Tetapi semua undang-undang dan tindakan yang merugikan kaum kapitalis dan menguntungkan kaum pekerja tentulah “gampang disabot”, dimogoki, dimogok “sit-down” oleb kaum birokrat, ular tersembunyi dalam administrasi Negara itu.

SI PACUL : Aku mengerti, Dam, kenapa tadi birokrasi itu engkau namai ular berkepala sepuluh. Tetapi saya harap kepalanya bukan 10 melainkan 13.

SI TOKE : Benar, Cul! Memang dia akan celaka 13. Kalau saja kelak wakil kaum buruh mendapatkan suara lebih dan merebut kursi lebih dalam parlemen. Para wakil buruh akan bisa bikin undang-undang buat mengadakan tindakan yang akan melenyapkan, menghancurluluhkan kapitalisme.

SI GODAM : Tunggu dulu Kek! Tunggu dulu! Tak gampang kaum buruh suatu negara merebut kursi lebih dalam parlemen. Sekalipun dapat, tak bisa ia menghancurkan kapitalisme kalau tak dengan pemberontakan. Si Pacul : Nah lho!

 

 

V. AKSI PARLEMENTER ATAU AKSI MURBA?

A. AKSI PARLEMENTER

SI PACUL : Nah, Godam, masih dalam giliranmu sekarang. Terangkanlah mana yang baik, aksi parlementer atau aksi murba (aksi massa).

SI GODAM : Saya ulangi sekali lagi. Merebut kursi terbanyak dalam parlemen itu adalah satu perkara yang amat susah, walaupun mungkin.

SI PACUL : Terangkan dulu, apa maksudnya merebut kursi terbanyak itu!

SI GODAM : Umpamanya Parlemen mempunyai wakil rakyat 600 orang! Kalau kaum buruh, yang memang terbesar dalam satu negara modern, mendapatkan wakil dalam pemilihan wakil ke Parlemen umpamanya 301 orang saja dalam teori ia sudah mendapat suara lebih, ialah 2 orang lebihnya dari semua golongan lain, yang 299 itu. Dalam hakikatnya kaum buruh di Inggris, Amerika, atau Jerman memang bisa mendapatkan 2/3 atau 3/4 dari seluruh suara, ialah menurut besar kelasnya proletar, yang ada di negara tersebut.

SI PACUL : Jadi dengan kursi terbanyak itu kaum buruh bisa mengadakan undang-undang dalam Parlemen, buat melenyapkan hak milik perseorangan atas industri penting umpamanya. Industri penting bisa dijadikan milik Negara. Produksi dan distribusi diatur secara kolektif. Semuanya dijalankan secara mengusul dan memutuskan dengan suara lebih dalam Parlemen.

SI GODAM : Benar begitu, tetapi walaupun kaum buruh lebih banyak orangnya, ia kalah saja berteriak dalam pemilihan para anggota Parlemen itu.

SI PACUL : Sebab apa, Dam?

SI GODAM : Sebab yang berteriak memajukan dan memuja-muja para calon wakil itu di zaman kapitalisme ini ialah fulus, uang. Siapakah yang bisa mengirimkan propagandis ke kota- kota dan semua pelosok?

SI PACUL : Tentu kapitalis.

SI GODAM : Siapa pula yang bisa menyewa gedung besar-besar buat rapat umum? Mempunyai persuratkabaran, majalah, radio, sandiwara, buat memuja-muji calon sendiri dan mencemoohkan calon lawan.

SI PACUL : Tentu kaum fulus.

SI GODAM : Kepada kaum mana memihaknya profesor, guru, gereja, dan pujangga dalam negara kapitalis?

SI PACUL : Ya, ya, Dam. Engkau tak perlu lanjutkan. Sebab itu di Amerika negara yang modern dan kapitalis tulen itu, sampai sekarang belum pernah kaum buruh mendapat suara terbanyak dalam parlemen walaupun di Amerika itu sebelum perang besar tetap 11 juta buruh menganggur.

SI TOKE : Di Inggris, sekarang kaum buruh ke 3 kalinya mendapat kementerian Negara. Sekarang Partai Buruh mempunyai suara terbanyak pula dalam Parlemen Inggris.

SI GODAM : Yang ketiga kalinya pula partai kaum buruh Inggris akan memperlihatkan kepada proletar Inggris dan dunia lain, bahwa mengadakan undang-undang buat melenyapkan kapitalisme Inggris itu bukanlah perkara menghitung “suara” atau “kursi” dalam parlemen saja. Memang menurut Karl Marx, mungkin sosialisme dijalankan di Inggris dengan jalan parlementer itu. Tetapi di masa Marx, birokrasi Inggris belum begitu kuat, licik, dan ganas seperti di abad ke 20 ini.

SI TOKE : Kalau undang-undang penghapusan kapitalisme sudah diterima dalam Parlemen, maka administrasi yang dikepalai Perdana Menteri Sosialis toh boleh perintahkan kepada administrasi untuk menjalankan penghapusan kapitalisme itu.

SI GODAM : Dalam teori memang begitu. Tetapi jarang manusia yang menghukum mati dirinya sendiri itu. Administrasi itu seperti sudah dibilang di atas dipegang oleh keluarga borjuis, pengikut kaum kapitalis. Semua otak hati jantungnya serta pengalamannya sudah dipusatkan pada Arsip Raja, dalam gedung administrasi itu. Orang lain dari golongan lain susah memasuki gedung arsip yang penuh rahasia itu. Berbenteng pada arsip rahasia itu sang jurutulis gampang mengadakan pemogokan atau sabot terhadap perintah menteri sosialis. Berbenteng pula pada arsip-gaib-rahasia itu sang jurutulis, sang komis kelas satu, kelas dua … sampai tiga belas. Berhubungan pula dengan polisi, kehakiman, tentara, dan terutama dengan bank negara dan bank partikelir. Di zaman kapitalisme ini bank itulah yang menjadi bentengnya kapitalisme, bank itulah yang mengendali perindustrian di dalan negeri dan akhirnya mengendalikan politik negara.

SI PACUL : Jadi sekarang terang kedudukan kekuasaan dalam negara kapitalis itu buat saya, Dam. Kaum kapitalis yang mempunyai benteng lahir pada golongan bankir, mempunyai tukang sulap yang tidak kelihatan pula dalam administrasi, berupa birokrat. Kalau wakil borjuis kalah dalam parlemen ia minta bantuan pada tukang sulapnya, ialah sang birokrat dalam administrasi. Kalau di sini ia kalah pula, ia baru minta bantuan pada polisi, yustisi, dan tentara. Mereka opsir tinggi dari polisi, yustisi, dan tentara itu tentulah anak kaum mampu, yakni kaum borjuis, maka tentulah pula polisi, yustisi, dan tentara –semua badan pembela keamanan negara itu—pembela negara kapitalis. Tegasnya dalam pertentangan Kapitalis-Proletar tentulah polisi, yustisi, dan tentara itu membantu kapitalis dan membasmi proletar.

SI GODAM : Begitu mestinya, Cul! Pada semua pergerakan murba, maka terang benar birokrasi menjadi perkakas kapitalis menindas semua gerakan yang menentang kapitalisme. Begitu di semua negara Eropa. Berhubung dengan itu maka 100 tahun lampau Marx dalam salah satu bukunya yang banyak mengandung sejarah sudah berkata: “Staat itu tak boleh diambil oper begitu saja oleh kaum buruh (revolusioner), tetapi mesti dihancurkan dan diganti dengan administrasi kaum buruh.” Yang dimaksud dengan staat itu, dengan Negara itu, tentulah terutama juga administrasi dan birokrasi tadi.

SI PACUL : Kalau parlemen dan aksi parlementer itu tak boleh dipakai, dan administrasi bersama birokrasinya tak boleh diambil oper begitu saja, bagaimana jalan menghapuskan kapitalisme itu??

SI GODAM : Sekarang kita sampai kepada aksi murba. Memang engkau sebagai wakil proletar tani tertarik ke jalan massa-aksi itu. Tetapi tak mengherankan pula kalau Denmas, Mr. Apal, dan si Toke, burger kecil ini menguap-nguap saja, seperti orang tak peduli.

B. AKSI MURBA

SI GODAM : Aksi murba itu tentulah mengandung beberapa syarat yang penting pula. Sudahlah tentu perkara kalah menang mesti dipikirkan.

SI PACUL : Sudah mestinya kekuatan lahir dan batin yang ada pada lawan kita mesti dibandingkan dengan kekuatan lahir dan batin yang ada pada kita. Seharusnya para pemimpin murba itu tak boleh menyia-nyiakan ribuan jiwa yang diserahkan pada pimpinannya.

SI GODAM : Semestinya kita tidak takut berkorban. Tetapi semestinyalah pula kita tiada boleh berkorban sia-sia. Tiap-tiap tetes darah mengalir, mestinya mendapatkan hasil yang seimbang.

SI PACUL : Kemenangan itu tentulah berupa kemenangan politik dan ekonomi.

SI GODAM : Selain perkara perbandingan kekuatan, mesti pula dipikirkan perkara “tempo dan tempat”. Pada waktu musuh sedang kuat, dan kekuatannya terpusat pula pada suatu tempat, sudahlah tentu kita bodoh sekali kalau menyerang dengan kekuatan kurang, pada “tempo dan tempat” yang baik buat musuh itu.

SI PACUL : Sekurangnya kita mesti tambah tenaga dan susun lebih baik lagi tenaga yang sudah ada. Selain dari itu kita mesti tunggu pula tenaganya musuh yang terpusat itu dicerai-beraikan. Atau tunggu temponya musuh sedang lengah.

SI GODAM : Jadinya, pendek kata carilah gelang yang lemah pada rantai pertahanan musuh. Putuskan rantai itu dan musnahkan tiap-tiap bagian yang lemah itu!!

SI PACUL : Apa lagi yang mesti diperhatikan?

SI GODAM : Memang banyak lagi. Syarat yang penting buat seorang pemimpin –pemimpin apapun juga—ialah pemimpin itu pertama mesti mempunyai kecakapan memimpin. Kedua dia mesti bisa menaksir keadaan sekarang dan besoknya; dan ketiga dia mesti ulet, tidak lekas patah hati, melainkan mempunyai kemauan baja. Ia tak boleh diombangambingkan oleh kemenangan dan kekalahan sementara, melainkan tetap pegang teguh hasratnya berjuang dan kebenaran alasannya buat berjuang. Ketetapan hati itu mesti tergambar di wajahnya kalau berhadapan dengan pengikut dan teman seperjuangannya, apalagi dalam marabahaya.

SI PACUL : Memang pemimpin yang tak melihat garis besar gerakan politik, tak mempunyai hasrat, kemauan, dan iman teguh tak akan bisa mengendalikan pengikutnya, apalagi mengendalikan keadaan.

SI GODAM : Pimpinan mesti mempunyai sumber yang terus mengalir. Artinya itu ia tak boleh pegang satu teori saja kalau menyerang atau mempertahankan. Dia mesti cakap mengadakan muslihat baru pada keadaan baru. Pelajaran yang dihafalkan dari buku saja tiada cukup.

SI PACUL : Jadi engkau sudah majukan: 1. Perkara perhitungan kalah-menang (perbandingan kekuatan), 2. Perkara tempo dan tempat, 3. Syarat pemimpin dan pimpinan, 4. Sumber yang terus mengalir di pihak pimpinan. Apakah persatuan tidak penting???

SI GODAM : Penting sekali, Cul. Itulah jiwanya suatu perjuangan. Walaupun syarat yang empat tadi ada, tetapi kalau persatuan dalam barisan yaag dikerahkan itu lemah atau tak ada sama sekali, sudahlah tentu tak ada harapan buat menang, kecuali kalau lawan itu lebih lemah lagi dalam segala-galanya. Tetapi persatuan itu mesti mempunyai dasar yang teguh.

SI PACUL : Bukannya disiplin dasar yang teguh itu?

SI GODAM : Betul, disiplin adalah satu syarat atau dasar persatuan itu, tetapi disiplin itu sendiri mesti berdasar pula.

SI PACUL : Apakah pula dasarnya disiplin itu?

SI GODAM : Inilah perkara yang penting dalam Aksi Murba. Dalam aksi militer, disiplin itu semata-mata berdasar atas perintah yang kuasa saja. Tetapi dalam Aksi Murba, disiplin itu mesti dimengerti dan dirasa. Jadi dasarnya ialah keperluan bersama, kepentingan bersama di pihak murba. Atas keinsyafan sama kepentingan, sama tujuan, dan sama berjuang itulah dirasa perlunya disiplin. Artinya disiplin dalam aksi murba ialah dengan sejujur-jujurnya dan sebaik-baiknya menjalankan suatu putusan, yang sudah diputuskan bersama-sama menurut suara yang terbanyak.

SI PACUL : Tetapi toh tidak sama keperluan tani, buruh, saudagar, dan penduduk kota?

SI GODAM : Tepat perkataanmu itu, Cul. Betul tidak sama tetapi ada persamaan. Kucing memang tidak sama dengan macan, tetapi banyak persamaannya. Lebih banyak persamaan kucing dan macan daripada antara kucing dan ikan atau kucing dan tongkat.

SI PACUL : Jangan filsafat, Dam! Bentangkanlah persamaan yang praktis!

SI GODAM : Persamaan dari masing-masing orang kelas proletar tentulah nyata. Mereka sama ditindas dengan cara yang sama. Mereka sama-sama menghendaki perubahan yang sama pula. Lebih mudah mengadakan persatuan dan disiplin di antara satu kelas manusia itu. Persatuan dan disiplin bisa didasarkan pada keperluan sama, yakni sama-sama menuntut hak lahir dan batin (gaji, lama kerja, hak berkumpul dan rapat).

SI PACUL : Tetapi di manakah letaknya persamaan keperluan tani, buruh, dan penduduk kota?

SI GODAM : Baik, saya ambil contoh yang tepat saja, Cul. Ambil Rusia di tahun 1917. Susunan masyarakat di masa itu: Di puncak ada Tsar dengan keluarga ningratnya yang memiliki tanah luas-luas sekali. Yang mengerjakan tanah itu ialah tani melarat. Tani melarat itu terbagi pula atas 3 golongan. Kesatu yang hidup memburuh sama sekali; kedua setengah memburuh dan setengah bertani; dan ketiga tani yang membanting tulang buat hidup cukup saja. Ketiga golongan itu revolusioner terhadap Tsar. Selain tiga golongan tani melarat ini ada lagi tani sedang. Tani ini memakai buruh sampai 10 orang. Tetapi masih mau perubahan demokratis. Begitu juga tani besar. Selain tani, ada lagi kelas borjuis besar, tengah, dan kecil. Semuanya menghendaki hak demokratis (perwakilan rakyat dsb). Kelas yang paling terkemuka dalam pemberontakan ialah buruh-industri.

SI PACUL : Bagaimana kaum komunis mengadakan persatuan di antara borjuis, tani, dan proletar itu?

SI GODAM : Itulah keulungan komunis Rusia. Dia tahu bahwa kaum borjuis besar revolusioner terhadap feodalisme, keningratan di bawah Tsar. Selama menentang Tsar dan kaum ningrat itu mereka bikin satu barisan rakyat. Jadi di masa ini persatuan itu mengikat borjuis besar-tengah-kecil, tani besar-tengah-kecil, dan proletar, sampai feodalisme terbengkalai. Baru sekarang ditantang dan dibengkalaikan borjuis besar-tengah-kecil. Akhirnya, tinggalah persatuan kekal antara proletar mesin dan proletar tanah.

SI PACUL : Jadi pada tiap-tiap tingkat pertarungan itu dicari persamaan tuntutan berdasarkan persamaan keperluan. Apakah persamaan tuntutan proletar mesin dan proletar tanah?

SI GODAM : Kedua golongan menghendaki perdamaian. Jadi mereka sama-sama meletakkan senjata menghentikan berperang dengan Jerman. Selanjutnya para proletar pabrik merebut pabrik, dan kaum borjuis dan proletar tanah merebut tanah dari kaum ningrat. Dengan begitu proletar dan tani sama sama menentang kontra-revolusioner dari pihak borjuis dan ningrat.

SI PACUL : Jadi kalau saya mengerti betul, Dam, Komunis Rusia pada tiap-tiap tingkat perjuangan memusatkan pukulannya terhadap satu musuh saja. Dalam hal itu dia menjaga persatuan dalam barisannya sendiri, walaupun terdiri dari berbagai golongan.

SI GODAM : Itulah keulungan Komunis Rusia, Cul!

VI. MERDEKA 100%

SI TOKE : Apa yang dimaksudkan dengan merdeka 100%? Buat saya merdeka itu merdeka tak ada batasnya.

SI GODAM : MERDEKA itu memang selalu ada batasnya. Batasnya itu pertama terhadap ke dalam. Kedua terhadap keluar.

SI TOKE : Apa artinya?

SI GODAM : Terhadap ke dalam! Bukankah tiap-tiap orang dalam negara merdeka itu mesti menghargai kemerdekaan tiaptiap warga lain? Jadi tiada boleh berbuat sekehendak hatinya saja terhadap warga sejawatnya. Di sinilah terletak batasnya.

SI PACUL : Kalau begitu terhadap keluar: tiap-tiap negara merdeka mesti pula mengakui kemerdekaan tiap-tiap Negara Merdeka yang lain, besar atau kecil. Berapa pun kuatnya satu negara merdeka tidaklah dia bisa berbuat sekehendak hatinya saja terhadap negara lain. Dengan begitu maka kemerdekaan satu negara terletak pula pada kemerdekaan negara lain, jadi arti luasnya pada suasana kemerdekaan umumnya.

SI GODAM : Tepat, Cul! Kalau suasana kemerdekaan itu dalam arti umum terganggu, maka lambat laun akan hilang kemerdekaan tiap-tiap negara. Lihatlah contoh di sekitar kita dan dalam sejarah dunia! Berapapun kuat satu Negara Merdeka, yang memperkosa kemerdekaan negara lain akhirnya ia jatuh juga!

SI TOKE : Kalau satu negara merdeka mesti menghargai kemerdekaan negara lain pula tentu satu warga negara merdeka mesti pula menghormati warga negara lain sebagai tamunya. Bukankah begitu?

SI GODAM : Sebenarnya begitu! Di sana teranglah sudah bahwa kemerdekaan manusia itu mengandung “perdamaian” buat seluruh manusia. Perdamaian itulah dasar kemakmuran. Akhirnya kemakmuran itulah pula yang menjadi dasar kemerdekaan.

SI PACUL : Memang kemerdekaan, perdamaian, kemakmuran itu berseluk-beluk. Tetapi kalau kubiarkan engkau melanjutkan perundingan tentang kemerdekaan itu secara begitu, aku takut kita akan selangkah demi selangkah kau bawa ke ‘jurang’ filsafat. Baiklah kita kembali ke tanah yang datar. Berilah contoh yang pasti (konkret) tentang batas kemerdekaan itu.

SI GODAM : Pertama batas itu boleh berupa daerah. Kemerdekaan Spanyol amat terbatas karena Inggris menduduki Karangbatu bernama Gibraltar buat dijadikan benteng. Ini berarti satu pistol mengancam dadanya Spanyol. Begitu pula Terusan Suez, Tanah-Asing di Shanghai dan lain-lain.

SI PACUL : Walaupun daerah itu kecil, tetapi ia amat menguasai politik ke dalam dan ke luar Negara yang diduduki. Apalagi batasnya?

SI GODAM : Batas yang terang tentulah berhubung dengan pembatasan kedaulatan. Tentulah tak ada Negara yang merdeka dalam arti liar. Di atas sudah disebutkan batas tiap-tiap Negara Merdeka itu ke dalam dan keluar. Tetapi itu berlaku buat tiap-tiap negara, dimengerti dan dirasa perlunya oleh tiap-tiap Negara. Tetapi status (kedudukan dalam politik) seperti Dominion Status, Free-State (Irlandia) atau Gemeenebest yaag didengung-dengungkan oleh Belanda itu adalah batasan pincang.

SI PACUL : Sebenarnyalah begitu. Karena Indonesia yang digemeenebest- kan oleh Belanda itu tiadalah meng-gemeene-kan Belanda. Jadi batas itu berlaku buat Indonesia saja. Seolaholah Indonesia kurang dari Belanda.

SI GODAM : Apalagi kalau suatu Negara Merdeka mencampuri administrasinya Negara lain. Keadaan ini terjadi pada semua jajahan. Hal ini tak perlu dilanjutkan. Indonesia sudah tahu bahwa urusan administrasi dari desa sampai ke daerah, ke pulau, dan akhirnya sampai ke semua kepulauan, hingga 17 Agustus 1945 dicampuri oleh Belanda.

SI PACUL : Jadi batasan pasti yang sudah engkau sebutkan ialah: batasan daerah, batasan kedaulatan, dan batasan administrasi. Tidakkah ada batas-batas yang lain-lain?

SI GODAM : Secara lahir tidak-ada lagi. Tetapi secara tertutup ada. Sudahkah engkau mendengar nama-nama Negara Merdeka seperti Meksiko, Honduras, Kuba, Peru, Brasil, juga Tiongkok sebelum Perang Dunia kedua ini?

SI TOKE : Semua negara itu memang Merdeka. Semua negara itu mempunyai Undang-Undang Dasar sendiri dan merdeka memilih dan memecat pemerintahnya sendiri. Selain itu juga merdeka menentukan politiknya ke luar negeri.

SI GODAM : “Rupanya” begitu dipandang dari luar. Ambil saja Meksiko sebagai contoh. Selama pemerintah Meksiko mengakui keleluasaan kongsi minyak Inggris-Amerika di Meksiko, selama itu pula ada pengakuan penuh dari Inggris- Amerika. Tetapi coba timbul pemerintahan Meksiko yang menentang kongsi minyak itu. Sebentar saja timbul revolusi dari golongan Meksiko juga, yang disokong oleh kongsi minyak. Satu jenderal Meksiko diadu dengan jenderal Meksiko yang lain. Barangkali kedua jenderal itu cinta pada Negara dan Rakyatnya. Tetapi mereka sadar atau tidak, gampang dibelit oleh “lasso” (tali pengikat) yang ujungnya berada di kantor pusat kongsi minyak di Amerika yang tentu berhubungan pula dengan birokrasi Amerika. Demikianlah semua pemberontakan di Amerika Tengah dan Selatan, seperti juga dahulu di Tiongkok disebabkan oleh pengaruh busuk kapitalisme asing yang bersarang di Negara yang menurut syarat Undang-Undang Internasional memang merdeka.

SI PACUL : Jadinya kapital-asing itu kalau ditanam begitu saja dalam suatu Negara Merdeka bisa mengacaukan politik Negara Merdeka itu. Bisa mengadudomba sebagian penduduk terhadap bagian lain dari penduduk Negara itu juga.

SI TOKE : Jadinya kita tak perlu kapital-asing? Bukankah Indonesia tak cukup mempunyai mesin dan uang buat mengganti mesin yang sudah rusak dalam peperangan sekarang dan buat menambah mesin yang baru???

SI GODAM : Sebenarnya kita membutuhkan mesin, bahkan juga beberapa ahli. Malah kita membutuhkan berlipat-ganda mesin dan para ahli asing buat mendirikan perindustrian baru dan memperbaiki yang lama. Berapa puluh lokomotif, mesin kapal dan kapal terbang kita butuhkan. Lebih dari itu, tidak saja mesin yang sedia buat dipakai kita perlukan. Tetapi juga mesin yang membikin mesin. Kita perlukan mesin yang akan membikin mesinnya oto, membikin lokomotif, membikin mesin kapal air dan udara, membikin meriam, tank, bom-atom dll, pendeknya “mesin-induk”. Berhubung dengan itu kita perlukan pula para ahli yang kita belum punya.

SI TOKE : Bingung aku mendengarnya. Tetapi di samping itu bukan main girang hatiku mengelamunkan “Indonesia punya atas Mesin-Induk” itu, mempunyai “Industri Berat” itu. Tetapi uangnya???

SI GODAM : Uang tak perlu! Tetapi yang perlu ialah KEMERDEKAAN 100%. Sekali lagi! Uang sebagai kapital-asing tak perlu. Malah membahayakan dan tidak membawa Indonesia ke arah yang kita tuju.

SI TOKE : Sekarang saya bertambah pusing Dam. Membahayakan bagaimana? Tidak membawa kita ke tempat yang kita tuju bagaimana?

SI GODAM : Membahayakan dan tiada menyampaikan maksud, seperti terjadi di Amerika Tengah dan Selatan, Kek. Sekarang Amerika Tengah dan Selatan tak bisa bikin mesin apalagi bikin mesin-induk. Pengaruh kapital-asing di Amerika Tengah dan Selatan tak membenarkan sekalian Republik Merdeka itu mempunyai dan menyelenggarakan sendiri Industri Berat. Sebab kapital-asing itu takut akan persaingan. Takut kalau-kalau kelak industri berat di Amerika Tengah dan Selatan menyaingi atau membunuh industri berat atau ringan negara yang meminjamkan modal. Karena pemerintah Negara di Amerika Tengah dan Selatan terikat oleh uang pinjaman dari Inggris-Amerika, dia tak bisa mengambil tindakan yang tepat buat mendirikan Industri Berat Nasional.

SI TOKE : Baiklah kita tinggalkan dahulu Amerika Tengah dan Selatan itu. Kau bilang tak baik kalau kita menerima modal asing. Baik! Kita butuhkan Industri Berat. Tetapi uang dari mana kita ambil? Para ahli ke mana kita cari di antara bangsa Indonesia?

SI GODAM : Uang? Bukankah minyak tanah kita, arang kita, timah kita, aluminium kita, intan-mas kita, perak-mutiara kita semuanya uang??? Engkau ini seorang toke. Apakah kertas yang kau lipat-lipat itu yang dicetak oleh Jepang sampai 40.000.000.000 dalam 3 tahun itu yang uang??? Bukankah beras, intan berlian, dan mesin yang diangkutnya ke Tokyo dulu yang sebenarnya uang??? Kertas itu cuma wakil dari barang. Kertas itu sendirinya hampir tidak ada harganya. Belum lagi kusebut barang yang berharga seperti teh, kopi, kina, kelapa, gula, getah, dan banyak lagi yang tidak dipunyai Negara lain dan amat dibutuhkan Negara lain.

SI PACUL : Aku tahu maksudmu, Dam! Semua hasil dari dalam dan atas tanah Indonesia ditambah pula dengan hasil lautnya yang kaya raya itu akan kau kirimkan keluar negeri buat “ditukarkan” dengan mesin dan para ahli, dan kalau perlu tentu juga dengan “uang asing”.

SI GODAM : Tepat, Cul! Para ahli itu tidak berada di Amerika saja. Atau di Inggris saja. Di Swedia, Swiss, atau Jerman juga ada. Mereka akan ingin bekerja-sama dengan Republik Indonesia Merdeka. Bukan seperti tuan besar, melainkan sebagai pegawai yang menerima perintah.

SI TOKE : Tetapi kalau engkau membikin industri baru seperti tambang besi, pabrik besi baja dan mesin industri muda, barangkali layu dan mati kalau kelak disaingi oleh barang besi-baja dan mesin dari Eropa dan Amerika. Mereka bermodal besar, tahan bersaing. Mereka berpengalaman. Barangnya murah dan baik!

SI GODAM : Itulah dia Kek! Bayi manusia, walaupun tegap-kokoh mesti dilindungi dahulu dalam beberapa tempo. Begitu pun tumbuhan dan hewan. Itu sudah hukum alam. Pun dalam ekonomi, undang-undang itu berlaku. Dalam ilmu ekonomi namanya itu “perlindungan industri bayi” (protection on infant-industry). Amerika sendiri masih mempunyai cabangindustri yang dilindungi.

SI TOKE : Bagaimana melindungi industri bayi kita itu?

SI GODAM : Mesin atau barang yang sedang kita bikin itu mesti kita batasi masuknya dari luar negeri atau kalau perlu larang sama sekali masuknya. Tentu pada permulaan kita belum bisa membikin semua mesin atau baja yang kita butuhkan. Jadi barang ini masih perlu dimasukkan dari luar. Tetapi dibatasi banyaknya. Cuma buat menambah yang masih kurang saja. Supaya yang perlu dimasukkan itu jangan menjadi saingan buat industri bayi kita, maka mesin atau besi yang masuk itu mesti dipajaki sampai tak bisa merusakkan kemajuan industri kita. Kalau perlu dilarang sama sekali masuknya.

SI PACUL : Buat membatasi masuknya barang asing itu atau melarang masuknya sama sekali kita mesti 100% merdeka buat menguasai keluar-masuknya barang di Indonesia (ekspor dan impor).

SI GODAM : Tepat, Cul! Merdeka 100%! Kalau kita sudah merdeka 100% buat menguasai keluar masuknya barang asing itu, maka barulah kita bisa merdeka 100% menentukan “ARAH” industrialisasi di Indonesia, yakni menuju ke INDUSTRI BERAT seperti kilat. Baru sesudah kita mempunyai dan sanggup menyelenggarakan industri berat, baru kita bisa membikin sendiri alat kemakmuran dan alat pertahanan (seperti meriam, tank, kapal selam – terbang dsb). Barulah pula bisa dijamin Kemerdekaan Indonesia. Selama Indonesia belum mempunyai Industri Berat, selama itu pula INDONESIA MERDEKA terancam sangat Jiwa Kemerdekaannya.

SI TOKE : Rupanya engkau tak mengizinkan sama sekali masuknya kapital-asing dan barang asing?

SI GODAM : Barang asing bisa masuk dan akan tetap bisa masuk. Harapanku sampai hari kiamat kita makin makmur, makin membutuhkan barang asing yakni hasil istimewa di negara asing. Malah modal asing bisa ditanam di sini buat membikin barang yang belum bisa kita bikin sendiri dan tak membahayakan perindustrian, kemakmuran, dan pertahanan Kemerdekaan kita.

SI PACUL : Apa salahnya kalau Tionghoa membuka toko menjual sutera Shantung yang halus yang tak ada pada kita itu. Apa salahnya Tionghoa membuka pabrik sutera di samping pabrik sutera Indonesia? Apa salahnya Tionghoa memasukkan uangnya, sebagai andil dalam perusahaan Indonesia, asal saja terbatas banyaknya? Apa salahnya Jerman mendirikan pabrik Pilsener Bier yang lezat-sehat itu? Atau apa salahnya kawan kita dari Rusia membuka toko menjual kaviar yang sedap sehat itu?

SI GODAM : Yang menjadi ukuran buat semua-mua itu ialah: Rakyat Indonesia jangan terancam kemerdekaan dan kemakmurannya. Bangsa tamu tetap aman dan makmur. Lama kelamaan dengan jalan yang cocok dengan undang-undang dan adat istiadat Indonesia bangsa tamu lebur menjadi rakyat Indonesia yang taat setia kepada Negara Rakyat dan Undang-Undang Indonesia.

SI TOKE : Kaubilang tadi kalau Indonesia Merdeka 100% maka secepat kilat kita bisa menuju ke arah Industri Berat. Bukankah majunya industri itu tak bisa kita perkosa?

SI GODAM : Tak ada sesuatu yang akan kita perkosa, Kek! Kita cuma percepatkan jalannya sesuatu yang bergerak menurut kodratnya sendiri. Kita tahu air itu baru mendidih kalau panasnya sudah sampai kurang lebih 100 derajat. Tetapi derajat setinggi itu baru kita peroleh sesudah dimasak satu jam umpamanya kalau apinya lemah. Tetapi dengan listrik yang tinggi derajatnya bisa kita peroleh dalam beberapa menit saja.

SI PACUL : Perbandingan lagi, Dam! Langsung tepat saja, Dam!

SI GODAM : Kembali pada perindustrian kita! Memang kalau kita biarkan “perseorangan” bermaharajalela dalam perekonomian kita, barangkali 100, 200, atau 500 tahun pun kita takkan sampai ke tingkat Industri Berat Nasional. Tetapi dengan “Rencana” menurut “HUKUM EKONOMI TERATUR” dalam sepuluh tahun saja kita bisa sampai ke tingkat yang mengagumkan.

SI PACUL : Asal pemerintah tetap Merdeka 100% dan rakyat bersatu! Pimpinan tetap tegap, percaya atas diri sendiri dan tetap jujur terhadap rakyat jelata. Pasal bahan memang tak ada yang kurang di Indonesia, baik sebagai “jasmaninya kemesinan” seperti besi aluminium, bauksit dll, baik sebagai “rohaninya kemesinan” (seperti arang, listrik, dan minyak). Mengenai bahan, Indonesia ini, apalagi Indonesia Raya tak kurang dari Negara manapun di bawah kolong langit ini.

SI TOKE : Dam, coba bentangkan “RENCANA” buat Industrilisasi kilat itu!

SI GODAM : Maaf, Kek! Terlampau panjang dan terlampau sulit, kalau kubentangkan di sini. Baiklah kubentangkan nanti dalam brosur istimewa pula! Sekarang baiklah kita meninjau kembali ke belakang, buat membulatkan perundingan.

VII. KEMERDEKAAN DITINJAU KEMBALI

SI PACUL : Cobalah, Dam, engkau berikan beberapa kesimpulan dari perundingan kita sampai sekarang.

SI GODAM : Kesimpulan apa yang mesti kuberikan, Cul! Aku sendiri sudah bingung dibawa ke sana kemari dalam perundingan yang sulit dan panjang itu.

SI TOKE : Seadanya saja. Simpulkan apa yang kau rasa penting saja.

SI GODAM : l) Kemerdekaan itu bukanlah Kemauan Tunggal orang atau negara, melainkan kemauan Terikat (bukan absolut melainkan relatif). Kemerdekaan itu sendiri mestinya berdasarkan pengakuan atas kemerdekaan pihak lain. Sebaliknya kemerdekaan di pihak kita diandaikan atas pengakuan pihak lain terhadap kemerdekaan sendiri. Apabila berkenaan satu sama lainnya itu terganggu, maka kemerdekaan itu tak akan kekal adanya. Dengan adanya pengakuan atas terikatnya kemerdekaan itu satu sama lain, maka kemerdekaan itu menjadi rasional, masuk diakal, berakal. 2) Sudah berabad-abad pemikir semua bangsa memikirkan bentuk Negara yang bisa menjamin kemerdekaan itu. Tetapi bentuk saja tiadalah memberi jaminan kepada kemerdekaan itu. Ada di antara bentuk Republik yang memberi jaminan kemerdekaan lebih daripada beberapa bentuk kerajaan (Rusia di zaman Republik Soviet dibanding dengan Rusia Tsar). Tetapi ada pula bentuk kerajaan yang memberi jaminan kemerdekaan lebih daripada bentuk republik (Kerajaan Inggris dibandingkan dengan Jerman-Nazi). Tetapi nyata sudah, bahwa Republiklah bentuk yang lebih cocok buat menjamin kemerdekaan. Kerajaan- terbatas sebagai bentuk negara adalah keistimewaan sejarah, sebagai sisa yang terpaksa diteruskan saja. 3) Isi kemerdekaan itu ialah kedaulatan, dan kedaulatan itu ialah berupa kekuasaan dan kemakmuran. Pertanyaan tentang “siapakah atau golongan siapakah yang berdaulat pada satu negara merdeka” mesti dilaksanakan atas pertanyaan “siapakah atau golongan manakah yang sebenarnya memegang kekuasaan dan mengecap kemakmuran dalam negara itu”. Dipandang dari penjuru ini maka “demokrasi” yang dibangga-banggakan negara kapitalis itu, kalau diteropong besarnya golongan atau kelas yang sebenarnya memegang kekuasaan dan merasakan kemakmuran itu tiadalah sepadan dengan namanya “kedaulatan rakyat”. Yang benar berkuasa, makmur, dan tenteram kemakmurannya ialah kaum kapitalis, kaki tangannya akal kaum tengah dan sebagian kecil dari proletar atasan. Sebagian besar dari mereka yang tak berpunya itu diombang-ambingkan oleh krisis ekonomi dan peperangan imperialisme. 4) Dalam suasana kemodalan, maka hak pemilihan secara umum, langsung, dan sama itu, ataupun suara rakyat (referendum) tiadalah bisa membayangkan kemauan kelas proletar yang terbanyak itu. Kaum borjuis yang sedikit itu dengan harta perusahaan dan profesor, agamawan dan radionya bisa menukar yang putih menjadi hitam, yang salah menjadi benar. Kaum borjuis bisa merebut suara. Seandainya partai proletar bisa merebut kursi terbanyak dalam parlemen, dan bisa mengadakan undang- undang sosialistis, partai itu akan tergelincir dalam birokrasi kaum borjuis, atau akan tertumbuk pada polisi, justisi, dan tentara yang dipimpin oleh borjuis itu, kalau undang-undang itu dijalankan. 5) Yang berhak menentukan nasib Rakyat Indonesia ialah kemauan, pelor, atau bambu runcingnya Rakyat Indonesia sendiri. Hak Rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu diambilnya dari alam yang didudukinya. Ia hidup atau tenggelam dengan alamnya itu. Selama Indonesia-Merdeka tiada mengganggu kemerdekaan negara lain, selama itulah negara lain tidak berhak mengganggu kemerdekaannya. Pengakuan Republik Indonesia oleh Negara lain bukanlah menjadi syarat adanya Republik Indonesia. Pengakuan itu adalah hal tersambil, satu hal di luar hak Rakyat Indonesia atas kemerdekaannya. Mengambil, merebut, atau melaksanakan kemerdekaannya itu, bukanlah satu perkara antara rakyat Indonesia dengan negara lain, melainkan urusan diri sendiri. 6) “MERDEKA 100%” adalah satu jaminan buat terus merdekanya Indonesia. Tanpa MERDEKA 100% Indonesia takkan bisa mengadakan kemakmuran cukup buat dirinya sendiri. Juga Indonesia walaupun merdeka tak akan bisa mempersenjatai dirinya sendiri, karena tak akan diberi kesempatan oleh kapitalisme asing buat mendirikan “Industri-Berat Nasional”. Kemerdekaan Indonesia abad ke-20 ini tak bisa dipisahkan dari “Industri-Berat Nasional” dan “Rencana Ekonomi”. 7) Indonesia tak bisa, tetapi tak pula perlu mempertahankan kemerdekaanya dengan jalan kemiliteran sejati. Perang kemerdekaan berlainan wataknya dengan perang imperialisme. Dalam perang imperialisme, kalau semua keadaan lain-lain bersamaan, maka tekniklah yang akan menentukan kalah-menangnya. Dalam perang kemerdekaan, kalau syarat teknik sedikit saja memadai, maka jiwa (psikologi) Murba, dan suara dunia umumnyalah (international public opinion) yang akan memberi putusan terakhir. Mungkin Inggris – Belanda – Jepang menjatuhkan Indonesia merdeka, tetapi tak pula mustahil Republik Indonesia bisa menggulingkan Inggris dan Belanda sebagai negara imperialis. Dengan begitu maka Indonesia sekarang berjuang bukan saja buat Rakyat Indonesia sendiri, tetapi juga buat seluruh Rakyat tertindas di dunia.

SI PACUL : Rasanya sudah cukup 7 simpulan itu. Tetapi bagaimanakah muslihat dan daya upaya mempertahankan Indonesia Merdeka kita sekarang?

SI GODAM : Alamnya Rakyat Indonesia, susunan, watak dan hasrat masyarakat Indonesia serta organisasi berjuangnya banyak berlainan dengan negara lain. Muslihat buat mempertahankan dan memperkokoh Republik Indonesia Merdeka terpaksa pula diadakan pada “Brosur Istimewa”

Istimewa.Image